SETENGAH TAHUN, SETENGAH JALAN

Refleksi Tengah Tahun Seorang Ibu, Dosen, dan Perempuan Biasa yang Masih Belajar

Hy, everyone, welcome to July.

Rasanya baru kemarin ya, kita merayakan euforia tahun baru, sibuk bikin resolusi awal tahun, dan nulis quote harapan-harapan manis di awal Januari. Dan tiba-tiba, taraaa.... setengah tahun sudah kelar aja. Saat kita sibuk “bertahan hidup”, waktu ternyata nggak cuma bergulir, tapi melesat cepat. 

Ibaratnya kita naik sepeda melewati turunan, kita fokus menyeimbangkan diri, menjaga agar nggak jatuh, sampai lupa menikmati pemandangan sekitar. Dan Juli, datang sebagai alarm. “Sudah setengah jalan, mau lanjut kemana?”.

Kalau ditanya, “Apa yang sudah terjadi di paruh pertama tahun ini?” Jawaban saya mungkin tidak akan penuh prestasi besar atau pencapaian luar biasa. Tapi banyak hal yang tetap patut dirayakan dan disyukuri.

Sebagai ibu, ada momen-momen sederhana yang membuat hati hangat. Melihat anak tertawa lepas saat bermain, mendengar ia bertanya hal-hal kecil yang membuat saya berpikir dua kali untuk menjawabnya. Momen remeh yang kadang terlewat, tapi ternyata membuat jiwa saya penuh pelan-pelan.

Sebagai dosen, saya belajar banyak dari mahasiswa sendiri. Dari antusiasme mereka di kelas microteaching, dari hangatnya diskusi dan refleksi di kelas kompetensi guru PAI, dari pandangan mereka tentang kurikulum negara ini di kelas Pengembangan kurikulum. Mereka "memaksa" saya untuk lebih banyak membaca, lebih banyak belajar.

Sebagai perempuan, sebagai Mita, saya melewati hari-hari naik turun emosi, mengatur waktu antara pekerjaan, rumah, dan... diri sendiri. Ada hari-hari di mana saya merasa cukup kuat untuk menaklukkan dunia, dan ada juga hari di mana mencuci piring saja terasa berat. Ada hari-hari saat saya sehat dan stamina saya sanggup mengerjakan banyak pekerjaan rumah dalam satu waktu, ada saatnya saya hanya bisa terbaring tak bisa apa-apa karena asam lambung atau sakit kepala. Tapi semua itu tetap bagian dari hidup saya yang terus berjalan.

Di tengah semua itu, ada juga hal-hal yang belum tercapai. Target menulis blog rutin, misalnya. Atau proyek-proyek kreatif yang masih tersimpan di draft. Tapi semakin ke sini, saya belajar untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri. Karena ternyata, menjadi manusia bukanlah tentang selalu berhasil, tapi tentang selalu mencoba.

Pelajaran yang saya petik

Setengah tahun ini mengajarkan saya bahwa hidup bukan soal seberapa banyak yang kita capai, tapi bagaimana kita hadir penuh dalam setiap langkah yang kita jalani.

Saya juga berdamai dan membuat kesepakatan dengan diri sendiri. Tidak membiarkan diri dan pikiran saya dipenuhi penyesalan tentang masa lalu, tidak mau digundahkan oleh masa depan yang belum saya tahu. Saya membawa diri saya untuk “hadir” di masa sekarang. Fokus pada apa yang ada di depan mata. Fokus untuk menikmati hal-hal baik yang terjadi saat ini.

Menikamati ngobrol random ngalor-ngidul dengan suami, menikmati mengusap kepala dan pillow talk dengan anak kami menjelang tidur, menikmati slow morning dengan menggaruk punggung, memeluk dan menciumnya saat bangun tidur. Menikmati segarnya mandi pagi, hangatnya teh dan roti, ngefansgirl, nonton drakor dan drachin. Menikmati sorot mata anak kami yang berbinar saat ia bercerita tentang game-game yang sedang dimainkan, juga menikmati tawa-tawa receh kami di sebuah kafe di sore hari. Saya ingin menikmati masa sekarang seolah dunia tak perlu tergesa. Menikmati setiap momen kecil, yang justru menjelma jadi kebahagiaan paling utuh.

Saya belajar bahwa istirahat itu bukan bentuk kemunduran, tapi bagian penting dari proses bertumbuh. Saya belajar bahwa membiarkan sesuatu selesai dengan perlahan tidak membuat kita lemah, justru menguatkan. Karena butuh keberanian untuk menolak tekanan dari standar yang seringkali bukan kita yang menciptakannya.

Saya juga belajar bahwa menjadi produktif tidak selalu berarti menghasilkan banyak. Tapi lebih kepada: apakah yang saya lakukan hari ini bermakna? Apakah itu membuat saya lebih baik, lebih tenang, lebih ikhlas?

Dan pelajaran terbesarnya mungkin adalah: menerima. Menerima bahwa saya punya batas. Menerima bahwa tidak semua hal bisa saya kendalikan. Dan di titik itu, saya belajar berserah dengan cara yang sehat, bukan pasrah, tapi tetap bergerak walau pelan.

Harapan untuk 6 Bulan ke Depan

Kalau boleh minta, saya ingin enam bulan ke depan terasa lebih ringan.

Bukan karena bebannya berkurang, tapi karena hati saya lebih lapang.

Bukan karena waktu tiba-tiba jadi longgar, tapi karena saya lebih mampu memilah mana yang penting dan mana yang bisa ditunda.

Saya ingin lebih hadir. Dalam setiap tawa anak saya. Dalam setiap sesi kuliah yang saya ampu. Dalam setiap tulisan yang saya tulis.

Saya juga ingin menepati janji pada diri sendiri. Untuk tetap menulis, bukan demi angka pembaca atau pageviews, tapi demi kewarasan batin. Karena nulis itu memang healing terbaik saya. Setiap kata adalah cara untuk berdamai dengan isi kepala yang ramai.

Dan tentu saja, saya ingin tetap jadi versi terbaik diri saya. Yang bisa menangis saat lelah, tapi juga bisa tersenyum esok harinya dan kembali bersemangat.

Kadang saya merasa neuron-neuron di kepala saya seperti simpang siur, berlomba memikirkan banyak hal dalam satu waktu. Ada saat-saat saya merasa usia 36 ini sudah cukup tua -terlambat untuk mengejar banyak hal, terlambat untuk memulai sesuatu. Tapi di waktu yang lain, hati saya berbisik: forever we are young. Usia 36 bukan tua, apalagi terlambat. Itu justru masa ketika kita mulai benar-benar mengenal diri sendiri: apa yang kita suka, apa yang bikin kita gemetar excited, dan apa yang layak kita perjuangkan.

Saya masih bisa bergembira saat menonton anime kesukaan, masih bisa tertawa dan fangirling seperti remaja, masih gemetar tiap kali membayangkan impian untuk kuliah S3, masih ingin belajar bahasa Inggris, Korea, bahkan Mandarin. Kadang saya merasa aneh dengan diri saya sendiri. Tapi pelan-pelan saya belajar menerima bahwa mungkin...saya bukan sedang bingung, saya hanya sedang mekar -di banyak arah, di waktu yang bersamaan. Dan itu tak apa. Karena menjadi dewasa tidak harus berarti kehilangan sisi anak-anak yang penuh harap. Mungkin, ini yang disebut “hidup sepenuhnya”.

Kalau kamu juga pernah merasa otakmu riuh, itu karena ada banyak cahaya di sana. Banyak keinginan, banyak ide, banyak gairah. Saya ingin mengatakan pada diri saya sendiri, “You’re not lost, Mita. You’re just blooming in all directions at once.”

----------------------

Dan setengah tahun sudah lewat. Tidak apa-apa kalau belum semua tercapai. Tidak apa-apa kalau ada hari-hari yang terasa gagal. Yang penting kita tidak berhenti.

Hidup bukan perlombaan cepat-cepatan. Kadang kita hanya perlu melangkah pelan, tapi konsisten. Kadang kita butuh duduk sebentar, menarik napas dalam, sebelum lanjut lagi.

Juli ini, saya ingin mengajak teman-teman juga untuk refleksi kecil. Apa kabar kamu sejauh ini? Sudah cukupkah kamu memeluk dirimu sendiri?

Dan jika ada satu hal yang bisa kita sepakati hari ini, mungkin ini:

Setengah jalan sudah dilewati. Sisanya akan kita hadapi bersama, dengan semangat baru, dengan harapan baru, dan dengan lebih banyak kasih untuk diri sendiri.

Terima kasih sudah membaca.

Kalau kamu, bagaimana perjalananmu di enam bulan pertama 2025 ini?

JUNI : SAAT SEMUA CINTA KEMBALI

 

Bagi saya, Juni tahun ini terasa seperti rollercoaster emosi yang tak terduga. Bulan yang biasanya cuma lewat begitu saja, kini jadi panggung besar buat momen-momen yang bikin hati bergetar. Bukan bulan kelahiran saya, tapi entah kenapa, Juni 2025 ini terasa begitu personal, begitu hidup, begitu terhubung dengan setiap detiknya. Idul Adha, come back BTS, dan perayaan ulang tahun putri kecil kami yang genap berusia 9 tahun. Semua seperti pelukan hangat dari alam semesta. Saya berharap, kebahagian ini tak ada putus-putusnya.

Idul Adha: Cinta dan Kepasrahan seorang Hamba

Awal Juni, Idul Adha datang menyapa. Idul Adha bukan sekadar hari raya, tapi kisah cinta yang begitu dalam antara manusia dan Tuhannya. Ia bermula dari perjalanan spiritual Nabi Ibrahim yang diuji oleh Allah SWT lewat mimpi: menyembelih anak yang paling dicintainya, Ismail. Dalam dilema antara cinta kepada anak dan ketaatan pada perintah Tuhan, Ibrahim menunjukkan puncak keimanan. Ismail pun menerima dengan penuh keikhlasan. Sebuah kisah yang bukan hanya tentang pengorbanan, tapi tentang totalitas cinta dan kepasrahan.

Setiap hewan kurban yang disembelih bukan hanya ritual fisik semata. Di baliknya ada pesan kuat tentang bagaimana manusia seharusnya “menyembelih” ego, keserakahan, dan keakuan. Idul Adha mengajarkan kita untuk mencintai lebih tulus, memberi tanpa menghitung, juga merendahkan hati.

Di tengah dunia yang makin individualis dan serba cepat, Idul Adha datang bagai momen menenangkan. Ia mengingatkan kita betapa pentingnya kembali pada nilai-nilai dasar kemanusiaan: rela berkorban, peduli pada sesama, dan percaya pada skenario terbaik dari Allah SWT. Seperti Ibrahim yang tidak tahu akhir dari kisahnya, kita pun diajak untuk terus melangkah dengan iman, meski kadang tak tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang.

BTS Come Back Home

2 hari terakhir ini, dunia seolah berhenti sejenak buat ARMY seperti aku. Meski masih minus Yoongi, BTS akhirnya berkumpul lagi di hari kepulangan mereka dari wajib militer. Kemarin Namjoon dan Taehyung, hari ini duo Busan, Jungkook dan Jimin. Aih, tak ada yang lebih membahagiakan dan mengharukan dari kepulangan mereka. Dua tahun lalu, Army berlinang air mata saat satu persatu member pamit melaksanakan tugas negara. Kuat, bertahan, Army ditinggal dengan konten-konten yang mereka siapkan. Tapi tentu saja tak ada yang benar-benar bisa menggantikan kehadiran mereka.

Kemaren dan hari ini, tanpa menunggu lama, mereka langsung menyapa. Live setiba mereka di gedung HYBE menjadi momen yang tidak akan pernah terlupakan. Senyum-senyum malu, tawa-tawa canggung, tapi juga pelukan hangat yang menembus layar. ARMY di seluruh dunia menahan napas. Jantung berdegup tak karuan. Jutaan Army menangis bukan karena sedih, tapi karena bahagia.

Namun di tengah tawa, muncul juga cerita yang menusuk hati. Namjoon, Bapak leader, bercerita tentang perjuangannya selama di militer. Tentang insomnia yang ia alami selama 1 tahun 2 bulan belakangan ini. Tentang malam-malam panjang tanpa tidur yang sunyi dan berat. ARMY tentu saja menangis lagi. Bukan hanya karena sedih, tapi karena cinta. Karena kita tahu betapa kuatnya mereka mencoba terlihat baik-baik saja. Tapi di balik layar, mereka pun manusia yang terluka, yang lelah, yang berusaha sekuat tenaga.

Kita memang tidak bisa menggantikan waktu-waktu sulit itu. Tapi melalui layar kecil, melalui komentar ramdom penuh cinta, melalui kehadiran yang setia, kita ingin mereka tahu:

Kami tidak pernah pergi. Dan kami akan terus di sini. Terima kasih sudah kembali. Terima kasih sudah bertahan.”

Bagi Army, BTS bukan sekadar grup musik. Mereka rumah. Mereka pelukan hangat. Mereka suara di tengah sunyi. Dan sekarang, di bulan yang sama saat mereka dulu debut, mereka kembali. BTS dan Army seperti cinta yang tak butuh logika. Tak hanya ikatan Idol dan penggemar, tapi teman seperjalanan yang melewati hari-hari sulit sampai puncak kejayaan.

Tentu saja saya tidak berada di Seoul. Tapi hati ini ikut berteriak bersama jutaan ARMY di seluruh dunia. Menyambut kepulangan mereka.  Rasanya seperti mimpi. Melihat nama "BTS" muncul lagi di trending, mendengar suara dan tawa mereka lagi. Untuk kami para ARMY, ini lebih dari sekadar momen. Ini seperti titik temu dari perjalanan panjang yang penuh rindu dan kesetiaan. Karena selama mereka pergi, Army tetap di sini.

Welcome back, BTS. ARMY’s home is always yours.

Ulang Tahun Putri Kecilku: 9 Tahun yang Luar Biasa

Juni akan ditutup dengan dua momen spesial di hari yang sama. Ulang tahun putri kecil kami yang ke-9 dan kepulangan Yoongi di 21 Juni nanti.

Aih, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali, kini gadis kecil kami adalah sosok ceria yang penuh tawa dan mimpi. Anak bayi yang sudah bisa diajak curhat random. “Tukang pijit” yang dibayar dengan kecupan. Lucu, cerdas, penuh rasa ingin tahu, dan... sangat pengertian. Kami bersyukur Tuhan mempercayakan makhluk special ini untuk tumbuh di pelukan kami. Kami berdoa agar dunia selalu baik padanya. Agar ia tetap menjadi dirinya yang ceria dan penuh empati. Agar langkahnya selalu diarahkan menuju hal-hal baik yang ia cintai.

Jadi di hari yang sama, dua orang yang sangat saya cintai pulang.

Satu ke pelukanku.

Satu ke rumah yang lebih luas: panggung, musik, dan hati jutaan Army.

Dan aku?

Aku duduk di sini, bersyukur.

Karena cinta, dalam segala bentuknya, selalu tahu jalan pulang.

Cyberbullying dan Kurikulum PAI: Refleksi dari Kelas dan Serial "Adolescence"

 

Kemarin saat mengajar mata kuliah Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, kami berdiskusi hangat tentang pentingnya memasukkan isu-isu kontekstual ke dalam kurikulum. Topiknya mengalir ke satu isu yang sangat dekat dengan keseharian mahasiswa: cyberbullying. Bagaimana nilai-nilai Islam bisa merespons isu kontemporer seperti Cyberbullying ini.

Saya memulai dengan pertanyaan sederhana, “Kalau kalian melihat teman dibully di medsos, apa yang kalian lakukan?” Jawaban mereka beragam. Ada yang bilang akan mendiamkan karena takut ikut kena, ada yang mencoba menasihati lewat DM, bahkan ada yang mengaku pernah mengalami sendiri. Diskusi ini jadi pintu masuk yang sangat relevan untuk membahas bagaimana nilai-nilai Islam harus hadir merespons persoalan kontemporer.

Kami ngobrolin tentang konsep amar ma’ruf nahi munkar, lalu nyambung ke pentingnya menjaga martabat orang lain (hifdz al-‘ird), dan gimana sikap sabar serta tabayyun bisa jadi tameng utama di dunia digital yang serba cepat dan berisik itu.

Buat saya pribadi, kalau kurikulum PAI nggak menyentuh hal-hal seperti ini, berarti dia sedang kehilangan ruhnya. Karena sejatinya, Pendidikan Agama Islam itu harus jadi petunjuk yang dekat, nyata, dan relevan dengan dunia anak-anak zaman sekarang.

Diskusi ini mengingatkan saya pada sebuah serial Netflix berjudul Adolescence.  Saat membaca majalah Tempo, saya mendapati ulasan tentang serial ini, dan memutuskan untuk menontonnya.

Serial ini adalah drama kriminal psikologis asal Inggris yang dirilis di Netflix pada 13 Maret 2025. Menariknya, setiap episodenya direkam dalam sekali jalan tanpa potongan, jadi penonton seperti diajak ikut menyelami kejadian demi kejadian secara langsung, kayak lagi berdiri di tengah-tengahnya, ikut tegang, ikut bingung, ikut sedih. Rasanya real banget, dan itu yang bikin kisahnya makin ngena di hati.

Meski Adolescence tidak didasarkan pada satu kasus nyata, tetapi terinspirasi oleh tren kekerasan remaja yang mengkhawatirkan, termasuk kasus-kasus penikaman oleh remaja di Inggris dan Korea Selatan. Serial ini menyoroti bagaimana media sosial dapat memengaruhi perilaku remaja, terutama dalam konteks tekanan sosial dan ekspektasi gender.

Nggak heran sih kalau serial ini banjir pujian dari kritikus. Adolescence jadi salah satu drama Inggris paling laris di Netflix, ditonton lebih dari 134 juta kali cuma dalam tujuh minggu. Tapi yang lebih penting dari angka itu, serial ini berhasil memantik obrolan serius tentang kekerasan berbasis gender dan betapa besarnya pengaruh media sosial dalam membentuk pola pikir dan perilaku remaja hari ini.

Serial ini membuka luka besar yang mungkin selama ini kita abaikan: tentang anak-anak yang (terlalu) cepat tumbuh, tentang dunia digital yang membentuk karakter tanpa arahan, dan tentang tragedi mengerikan yang seharusnya bisa dicegah.

Sekilas, kita bisa buru-buru menyimpulkan: ini soal kekerasan. Tapi saat kisahnya dikupas pelan-pelan, kita justru diajak menyelami realitas psikologis remaja yang hidup dalam tekanan, kesepian, dan terpapar konten penuh kebencian di media sosial (cyberbullying). Serial terbatas Adolescence di Netflix bukan sekadar tontonan kriminal biasa. Ia adalah semacam tamparan halus, -dan kadang keras- bagi siapa saja yang peduli pada dunia anak dan remaja.

Sekilas ulasan Adolescence

Ceritanya berpusat pada Jamie, anak laki-laki berusia 13 tahun yang didakwa membunuh teman sekolahnya, Katie Leonard. Tapi serial ini bukan hanya tentang ‘siapa pelakunya’, melainkan tentang bagaimana sebuah tragedi bisa tumbuh diam-diam di balik layar kehidupan yang tampak biasa saja.

Adolescence berhasil menangkap fragmen-fragmen realitas remaja yang selama ini sering kita anggap remeh. Dunia digital, tekanan sosial, keluarga yang hampa secara emosional, hingga bias gender yang mengakar. Semua diramu tanpa menggurui, tapi justru membuat kita merenung: sudahkah kita benar-benar hadir untuk anak-anak kita? Atau kita hanya sibuk mengurung mereka dalam ekspektasi dan perintah saja?

Siapa sangka, di balik tragedi itu, ternyata ada satu hal yang kelihatan sepele tapi dampaknya luar biasa: emoji.

Yup, emoji-emoji yang sering banget dipakai anak-anak seusia Jamie di Instagram, jadi salah satu pemicu ledakan emosinya. Hal-hal kecil yang tampak lucu dan biasa, ternyata bisa membentuk persepsi, bahkan jadi pemantik tindakan, apalagi kalau nggak ada yang membimbing mereka untuk memahami maknanya secara utuh.

Di episode kedua, ada satu momen yang cukup ngena. Luke Bascombe, detektif yang menangani kasus Jamie, yang ternyata juga ayah dari teman sekolah Jamie bernama Adam datang ke sekolah anaknya. Di sana, Adam bantu ayahnya memahami sesuatu yang selama ini mungkin dianggap remeh oleh orang dewasa, si emoji.

Dengan polos tapi tajam, Adam menjelaskan bahwa setiap emoji punya makna, bukan sekadar simbol lucu. Emoji yang dikirim Katie ke profil Instagram Jamie ternyata menyiratkan sesuatu yang jahat, bahkan menjurus ke perundungan. Dan Jamie yang merasa dirinya diremehkan dan dibully oleh Katie, akhirnya memutuskan untuk membunuh Katie dengan banyak tusukan pisau.

-------------------------

Buat anak-anak seusia mereka, pesan bullying itu nggak harus lewat kata-kata. Emoji saja bisa jadi senjata yang menyakitkan. Dan sayangnya, banyak dari kita yang nggak pernah benar-benar melihat itu sebagai alarm.

Serial ini membuat kita berhenti sejenak dan melihat lebih dalam soal kekerasan berbasis gender, peran media sosial, dan betapa rentannya anak-anak di masa transisi menuju remaja.

Bahwa di balik layar HP remaja kita, mungkin ada kesepian yang tidak mereka tahu cara menyampaikannya. Bahwa di balik emosi yang meledak, ada luka yang tidak pernah sempat dibalut. Dan bahwa pendidikan, termasuk Pendidikan Agama Islam, tidak boleh lagi hanya bicara tentang yang ideal, tapi juga tentang yang nyata. Tidak boleh berhenti pada doktrin, hafalan, atau sekadar materi fiqih dan akidah saja.

Kenapa Serial Ini Relevan dengan Pendidikan di Indonesia?

Indonesia sedang mengalami krisis yang serupa. Bullying, kekerasan seksual, penyimpangan perilaku, dan kecanduan media sosial menjadi isu nyata di kalangan pelajar. Bahkan, data Komnas Perlindungan Anak dan KPAI menunjukkan tren kekerasan yang meningkat di lingkungan sekolah, banyak di antaranya bermula dari interaksi digital.

Tapi mari jujur, seberapa banyak guru PAI yang membicarakan soal toxic masculinity, cyberbullying, atau literasi digital dari perspektif Islam? Kurikulum Pendidikan Agama Islam masih kaku, jauh dari dunia nyata remaja, dan tidak memberikan ruang refleksi sosial yang dalam.

Saatnya PAI Jadi Cermin, Bukan Sekadar Ceramah

Kurikulum PAI seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa untuk bertanya dan berpikir kritis. Mengapa remaja bisa begitu kejam? Apa makna amar ma’ruf nahi munkar di dunia digital? Bagaimana Islam memandang kehormatan manusia dalam interaksi media sosial?

Adolescence mengajarkan bahwa ketika anak tidak memiliki nilai yang tertanam kuat, ketika keluarga dan sekolah gagal jadi ruang tumbuh yang sehat, maka dunia digital akan dengan senang hati mengambil alih. Kita bisa punya anak-anak pintar, rajin, tapi kosong secara spiritual dan sosial.

Menuju Kurikulum PAI yang Humanis dan Kontekstual

Maka, pengembangan kurikulum PAI di Indonesia perlu bergerak dari content-based menjadi value-based yang kontekstual. Kurikulum harus membuka ruang diskusi tentang realitas sosial, memberi siswa kemampuan “ijtihad” untuk merespons zaman dengan nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin. PAI bukan sekadar mata pelajaran, tapi proses pembentukan manusia yang sadar, peduli, dan bijak.

Serial Adolescence seharusnya menjadi cermin bagi kita. Bukan untuk ditakuti, tapi untuk direspon. Karena tragedi yang menimpa Jamie dan Katie bisa terjadi di mana saja, termasuk di sekolah-sekolah kita, jika pendidikan terus menutup mata terhadap kenyataan yang sesungguhnya.

MENGULAS JUMBO : SEBUAH CATATAN PENONTON

 

https://id.pinterest.com/

Setiap film animasi punya daya tariknya sendiri, baik itu dari visual yang menawan atau pesan yang mendalam. Jumbo menawarkan segalanya, dari dunia yang penuh warna hingga karakter yang menarik. Tapi, apakah film ini benar-benar berhasil membawakan pesan yang ingin disampaikan?

---------------------------------------------------------------

Kemarin kami menemani gadis kecil semata wayang kami menonton film Jumbo. Film yang digadang-gadangkan sebagai film animasi keren karya anak negeri sejak beberapa bulan lalu. Tentu saja kami excited sekali. Sebagai orang tua, kami ingin memberikan pengalaman terbaik dan berkesan untuk putri kami. Memperlihatkan “dunia” padanya, baik lewat buku maupun film-film keren.

Kami harus berkendara hampir tiga jam untuk bisa nonton bioskop di ibukota provinsi. Dan tentu saja, itu butuh effort dan biaya yang “lebih” dari sekedar nonton aja. Jadi setiap tontonan, tentu saja harus ditimbang layak pantasnya dengan effort dan biaya yang dibutuhkan.

Akhir-akhir ini, dunia perfilman Indonesia lagi rame banget dengan kehadiran film animasi berjudul Jumbo. Sebagai pecinta film animasi, tentu saya penasaran. Apalagi banyak media yang bilang kalau Jumbo ini jadi film animasi Indonesia terlaris sepanjang masa. Wow, keren, kan? Dan melihat besarnya minat penonton pada film Jumbo, kami merasa film ini mungkin layak menjadi bagian perjalanan dan pembelajaran buat anak kami.

Dan berangkatlah kami dari rumah jam delapan pagi. Nyampe kota Padang jam sebelas siang. Jajan, dan makan siang, kemudian nonton jam 13.10. Filmnya berdurasi 1 jam 42 menit. Usai nonton, beli beberapa keperluan, kemudian kami pulang dan nyampe rumah jam 7 malam.

Tapi, apakah ekspektasi sesuai dengan realita? Apakah film ini memenuhi ekspektasi saya?

Yuk saya ceritain.

Info Dasar Film

Jumbo adalah sebuah film animasi yang dirilis pada tahun 2025, disutradarai oleh Ryan Adriandhy. Film ini menampilkan jajaran pemeran suara yang cukup menarik, seperti Prince Poetiray yang mengisi suara karakter utama Don, Quinn Salman, Bunga Citra Lestari, Cinta Laura Kiehl, Ariel NOAH dan yang lainnya. Dengan genre animasi, petualangan, dan fantasi.

Sinopsis Singkat

Jumbo bercerita tentang Don, seorang anak yatim piatu berusia 10 tahun yang sering dipandang sebelah mata karena tubuhnya yang besar. Don menemukan kekuatan dari buku dongeng warisan orang tuanya, yang membawanya ke dunia petualangan penuh imajinasi dan makna.

Awal yang Menjanjikan

Di menit-menit pertama, saya sempat excited.

Visualnya lumayan menarik, warna-warnanya hidup, desain karakternya juga rapi dan menggemaskan.

Bahkan, suara-suara yang mengisi karakter terdengar cocok dan natural.

Kalau dari teknis visual, Jumbo memang sudah naik level dibanding beberapa animasi lokal sebelumnya. Saya acungi jempol untuk effort para animatornya.

Tapi sayangnya, excitement itu nggak bertahan lama.

Cerita yang Membingungkan

Awalnya, saya sempat berpikir, ini bisa jadi kisah yang penuh petualangan dan pelajaran hidup. Namun, begitu mulai menonton, pertanyaan itu muncul: apa sebenarnya inti dari cerita ini? Meskipun visual yang ditampilkan memukau, saya merasa film ini belum sepenuhnya menemukan arah yang jelas.

Di balik gambaran dunia yang cerah dan penuh warna, saya merasa ada bagian-bagian cerita yang hilang atau mungkin belum digali lebih dalam. Saya bertanya-tanya sepanjang film. Apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Jumbo? "Sebenarnya Jumbo ini mau cerita tentang apa, sih?"

Saya kira ceritanya bakal fokus ke perjuangan warga menghadapi penggusuran karena pembangunan jalan layang. Tapi konflik itu kayak cuma lewat sekilas aja.

Lalu, saya pikir, mungkin ini tentang persahabatan Don dengan kawan-kawannya.
Tapi hubungan mereka juga terasa “dangkal”, kayak sekadar pelengkap cerita tanpa ikatan emosional yang kuat.

Belum selesai bertanya-tanya, tiba-tiba muncul unsur "hantu" Meri dan keluarganya.
Seriusan, ini twist yang bikin aku makin bingung. Apakah mau masuk ke unsur supranatural? Apakah itu metafora? Tapi kalau iya, kurang build up yang cukup buat bikin penonton paham atau merasa terhubung.

Bahkan konflik tentang Don yang harus bertahan hidup sendirian setelah orang tuanya meninggal, yang harusnya bisa jadi landasan emosional kuat, terasa setengah matang. Saya nggak benar-benar merasakan kesedihan atau perjuangan berat dari Don. Semua terkesan ringan dan terlalu cepat dilewati.

Mungkin Ekspektasi Saya Ketinggian

Saya sadar, mungkin ekspektasi saya memang ketinggian. Soalnya, sebagai pecinta film, saya cukup terbiasa nonton animasi dengan narasi yang rapi dan mendalam, seperti Raya and the Last Dragon, Ice Age, atau bahkan Up dari Pixar yang bisa bikin air mata netes tanpa terasa.

Film animasi yang kuat itu, menurut saya, bukan cuma soal visual yang keren, tapi bagaimana ceritanya "ngena" ke hati.

Sayangnya, Jumbo belum sampai ke tahap itu.

Saya merasa film ini punya banyak potensi besar, ide tentang mimpi, keluarga, persahabatan, tapi semua itu hanya disentuh di permukaan. Tidak ada satu pun tema yang benar-benar diperdalam.

Visual yang Menolong, Tapi Tidak Menyelamatkan

Kalau soal visual, saya tetap kasih pujian. Animasi Indonesia semakin berkembang, dan Jumbo adalah buktinya. Pemilihan warna, pergerakan karakter, sampai setting dunianya terasa matang. Dunia imajinasi dari buku dongeng Don dibuat menarik, penuh warna, dan terasa "hidup".

Tapi sebagus apapun visualnya, tetap saja, tanpa narasi yang kuat, film ini terasa hampa. Seperti makan kue tart yang cantik banget, tapi begitu digigit... hambar.

Musik dan Suara: Aman Tapi Nggak Wow

Buat bagian soundtrack, aku merasa cukup aman dan bagus. Cukup berkesan, dan menyentuh. Beberapa lagu latar terasa mengiringi cerita dengan lembut. Namun, saya juga nggak menemukan momen musik yang bikin merinding atau ingin aku putar lagi setelah nonton. Dan buat suara karakter, pengisi suara berhasil membawa energi yang cukup hidup.

Catatan tentang Industri Animasi Lokal

Nggak bisa dipungkiri, film Jumbo tetap menjadi tonggak sejarah penting untuk industri animasi Indonesia. Visinema Studios, Anami Films, dan Springboard benar-benar menunjukkan kalau kreator lokal kita mampu menghasilkan karya yang secara teknis membanggakan.

Di sisi produksi, Jumbo bahkan katanya menggerakkan lebih dari 400 kreator lokal, angka yang luar biasa untuk sebuah proyek animasi.

Ini bukan pencapaian kecil. Ini lompatan besar. Dan untuk itu, saya tetap salut.

Cuma ya, kalau bicara sebagai penonton, saya tetap harus jujur soal rasa yang saya rasakan.

Tetap Layak Dihargai, Tapi Masih Banyak PR

Film Jumbo mungkin nggak memberikan pengalaman emosional sekuat film animasi “luar” yang sering kita tonton, tapi sebagai upaya memperkaya dunia film anak-anak Indonesia, ini tetap langkah penting yang patut dihargai.

Semoga ke depan, karya-karya animasi lokal bisa lebih berani untuk menggali cerita yang dalam, bukan hanya sekadar membangun dunia yang cantik.
Saya pribadi tetap support, dan berharap Jumbo bisa jadi pijakan untuk karya-karya lebih kuat berikutnya.

Kalau kamu suka animasi ringan yang menghibur dan ingin mendukung karya anak bangsa, Jumbo tetap layak untuk ditonton, tapi kalau kamu mencari cerita yang emosional dan kompleks, mungkin kamu akan ngerasa "B aja" kayak yang saya rasain.

Sebagai pecinta animasi, saya tetap bangga melihat karya anak bangsa seperti Jumbo berani tampil di layar lebar. Tapi sebagai penonton yang menginginkan cerita yang menggetarkan hati, saya berharap akan ada lebih banyak karya lokal ke depan yang bukan hanya indah dipandang, tapi juga penuh nyawa, rasa, dan makna yang menggugah jiwa.

Tabik!

Milkcheese Strawberry: Manis, Creamy, dan Bikin Nagih!


Bulan Ramadhan selalu membawa suasana yang berbeda. Selain ibadah yang lebih khusyuk, momen berbuka puasa juga jadi saat yang paling dinantikan. Dan di momen spesial ini, aku memutuskan untuk kembali menjual takjil kecil-kecilan di rumah seperti Ramadhan 2022 lalu.

Kenalin, Milkcheese Strawberry! Takjil manis dan creamy yang siap jadi teman berbuka puasa kamu. Sesuai namanya, Milkcheese Strawberry ini memadukan segarnya susu UHT 100% fresh milk, susu kental manis Indom**k, dan keju Cheddar. Kebayang kan, gimana creamy dan legitnya?

Untuk isian, ada Nutri*el Strawberry yang kenyal dan manis, Nata de Coco yang bikin sensasi kriuk asyik, dan selai Strawberry segar yang bikin sensasi seolah lagi nikmatin cheese cake strawberry tapi versi minuman.

Harga per cup-nya cuma Rp. 15.000 aja, kok! Bisa banget jadi teman manis berbuka yang nggak bikin kantong bolong.

Aku nggak buka lapak atau jualan di pasar "Pabukoan". Semua orderan dilakukan via DM Instagram atau WhatsApp, dan nanti aku sendiri yang akan antar langsung ke rumah costumer kalau lokasinya masih di sekitaran Painan. Pengantaran setiap hari jam 16.30 WIB, jadi pas banget buat persiapan buka puasa.

Ramadhan buatku selalu jadi bulan yang penuh cerita. Menjual takjil seperti Milkcheese Strawberry ini bukan sekadar mencari tambahan penghasilan, tapi juga bentuk kesenangan kecilku melihat orang-orang menikmati takjil buatanku. Rasanya senang banget saat ada yang bilang, "Kak, takjilnya enak banget!" atau ada yang repeat order buat keluarganya. Aku percaya, berbagi kebahagiaan di bulan Ramadhan itu punya keistimewaan tersendiri.

Ada rasa nostalgia juga, sih. Ramadhan 2022 lalu, saat pertama kali aku jualan Milkcheese Strawberry, itu momen aku nekat coba-coba. Resep ini aku dapat dari seorang teman, aku cobain dan tes rasa sampai dapat rasa yang pas. Terus iseng aku share di WhatsApp Story dan Instagram, eh ternyata banyak yang tertarik! Dari situ mulai deh orderan berdatangan, dan jadi pengalaman yang seru banget.

Tahun ini aku memutuskan untuk jualan lagi karena banyak yang nanyain, bahkan ada yang bilang sudah kangen sama Milkcheese Strawberry-ku. Makanya, walaupun cuma jualan dari rumah dan mengantarkan sendiri, aku tetap semangat. Buatku, bisa melihat senyum orang-orang yang menikmati Milkcheese Strawberry adalah kebahagiaan tersendiri.

Jadi, kalau kamu butuh takjil yang manis, creamy, dan segar untuk berbuka puasa, langsung aja pesan. Pengantaran hanya untuk sekitaran Kota Painan, setiap hari jam 16.30 WIB. Yuk, buat buka puasamu lebih spesial dengan Milkcheese Strawberry!

#MilkcheeseStrawberry #TakjilRamadhan #TakjilKekinian #CemilanBukaPuasa #Painan

MENULIS DI RAMADHAN: SEBUAH PERCAKAPAN DENGAN DIRI SENDIRI

 

Sudah masuk Episode kedua Bulan Ramadhan. Dalam setiap fasenya, Ramadhan selalu punya cara untuk membawa kita kembali ke dalam diri sendiri. Bulan ini bukan hanya soal menahan lapar dan haus, tapi juga tentang merawat hati, menenangkan pikiran, dan menemukan makna di setiap detik yang berjalan.

Di tengah kesibukan sehari-hari, Ramadhan datang seperti jeda yang menenangkan. Ada sesuatu yang berbeda dalam ritmenya, lebih pelan, lebih dalam, dan lebih reflektif. Puasa tidak hanya membersihkan tubuh, tetapi juga memberi kesempatan bagi jiwa untuk beristirahat. Saat perut kosong, hati terasa lebih peka. Ketika kita mengurangi distraksi duniawi, ada lebih banyak ruang untuk merenung.

Healing bukan selalu tentang bepergian ke tempat-tempat indah atau melakukan self-care dengan cara-cara kekinian. Healing juga bisa terjadi dalam keheningan sahur, dalam sholat malam yang khusyuk, atau dalam dzikir yang mengalir pelan di antara detik-detik menjelang berbuka. Dan tentu saja, juga dalam tulisan-tulisan yang kita buat sebagai bentuk refleksi diri.

Menulis sering kali jadi cara terbaik untuk berdialog dan mengenal diri sendiri. Jika membaca mengasah otak, maka menulis adalah jalan bagi jiwa kita untuk menemukan bentuknya sendiri. Tulisan yang kita buat adalah peta perjalanan, karena di sanalah kita menemukan siapa diri kita. Kadang, ada hal-hal yang tak bisa kita katakan dengan suara, tetapi bisa kita bisikan lewat tulisan. Menulis membukakan pintu ke dalam diri kita sendiri. Menulis bukan hanya soal merangkai kata, tetapi tentang merawat ingatan. Menulis bukan soal menjadi hebat, tapi tentang menjadi jujur. Dan Ramadhan, dengan segala ketenangannya, menjadi waktu yang tepat untuk merenung dan menuliskan apa yang kita rasakan.

Menulis tak hanya tentang membuat narasi ratusan kata. Kita bisa saja menulis tentang tentang rasa syukur yang selama ini jarang disadari, tentang harapan yang ingin dipanjatkan, atau sekadar mencatat dan menceklis perubahan kecil dalam diri kita lewat jurnal Ramadhan yang kita print. Tantangannya, tentu saja, adalah menjaga konsistensi. Di tengah jadwal yang berubah selama Ramadhan, menyisihkan waktu untuk menulis bisa jadi terasa sulit. Tapi sebenarnya, justru dalam keterbatasan itulah tulisan bisa menjadi lebih jujur dan penuh makna. Tidak perlu sempurna, yang penting ada.

Pada akhirnya, Ramadhan adalah perjalanan yang sangat personal. Setiap orang punya cara sendiri untuk mengisinya, tapi jika ada satu hal yang bisa membuatnya lebih bermakna, mungkin itu adalah menulis. Dengan menulis, kita bisa merekam perasaan, mencatat doa-doa yang terucap dalam hati, dan menemukan perubahan diri sekecil apa pun.

Jadi, bagaimana kalau tahun ini kita coba menulis lebih banyak selama Ramadhan? Tidak perlu muluk-muluk. Cukup selembar catatan kecil setiap hari. Sebuah jurnal yang mungkin suatu hari akan kita baca kembali, lalu tersenyum, dan berkata, "Ramadhan tahun ini berlalu dengan indah, dan saya pernah merasakannya dengan sepenuh hati."

#INDONESIAGELAP DAN #KABURAJADULU

 

instagram.com/bbcindonesia

Sejak Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) menggelar aksi demonstrasi pada Senin, 17 Februari 2025 hingga Rabu, 19 Februari 2025 lalu, tagar #IndonesiaGelap menggema di seluruh jagat maya. Tagar ini tak sekedar ungkapan viral, namun menjadi tema unjuk rasa menyuarakan kegelisahan akan masa depan bangsa dan menuntut pertanggungjawaban presiden Prabawo Subianto atas seluruh kebijakannya yang tak berpihak pada rakyat.

Sebelumnya juga ada tagar #KaburAjaDulu yang sudah mulai digaungkan sejak Januari lalu. Tagar yang menyuarakan keresahan anak bangsa atas sulitnya mendapat penghidupan yang layak di negeri sendiri. Tagar ini menjadi bentuk satire kekecewaan dan kemarahan atas pendidikan berkualitas yang mahal, kurangnya lapangan kerja dan rendahnya gaji di Indonesia.

Dua tagar yang viral ini mengungkapkan keresahan, kekecewaan, kemarahan, keputusasaan dan protes anak bangsa akan kebijakan yang amburadul di negeri ini.

Sebagai Ibu rumah tangga dan pendidik, saya tentu saja tak mau tutup mata dengan peristiwa-peristiwa tersebut. Agar tak lupa, saya ikut ”berisik” dengan mengabadikan rentetannya di sini.

Seperti yang kita ketahui bersama, kebijakan (yang tidak bijak) presiden Prabowo tentang Makan Bergizi Gratis (MBG) dimulai sejak 6 Januari 2025. Namun kebijakan ini dinilai oleh lembaga riset ekonomi dan hukum, Celios, sebagai kebijakan yang boros dan tidak tepat sasaran. BGN (Badan Gizi Nasional) menyebutkan anggaran Makan Bergizi Gratis mencapai Rp 1,2 Triliun Per Hari, kalikan saja jika sebulan, setahun atau lima tahun. Dan contoh tak tepat sasarannya tak usah jauh-jauh. Di kota kecil kami, Sekolah Dasar yang mendapatkan jatah MBG adalah sekolah dasar di “pusat kota” yang peserta didiknya notabene adalah anak-anak pegawai dan pejabat yang terbiasa kenyang dengan makan enak. Sedangkan sekolah yang agak “kepinggiran” masih belum kebagian.

instagram.com/bbcindonesia

Tanggal 20 Januari 2025, KontraS, LSM HAM, menerbitkan laporan kekebalan hukum pada 100 hari kepemimpinan Prabowo-Gibran. 

22 Januari 2025, Presiden mengesahkan Inpres nomor 1 tahun 2025 tentang efisiensi anggaran. Tentu saja banyak kementerian yang terkena penyusutan. Namun mirisnya Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan juga ditargetkan. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah disunat Rp. 8 triliun, Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi dipangkas Rp. 22,54 Triliun, dan anggaran Kementerian Kesehatan dipotong Rp. 19,63 triliun. Tahu sendiri kan, apa yang akan terjadi jika anggaran pendidikan dan kesehatan yang tidak pernah cukup itu dipangkas juga? huuuuufff..

4 februari 2025, kebijakan baru dibuat lagi. DPR mengesahkan RUU BUMN yang memuat soal Danantara. Lembaga pengelola investasi milik negara yang katanya akan mengelola Rp. 1400 triliun uang negara. 4 kali lebih besar dari APBN Indonesia tahun 2025.

18 Februari 2025, UU Minerba disahkan DPR. Ya memang terkesan tergesa. Dihari yang sama, DPR bilang kalau mereka akan memproses RUU TNI. Di revisian RUU ini, nggak ada lagi larangan TNI berbisnis, dan TNI bisa kerja dibanyak kementerian dan lembaga. Pasal 47 yang tadinya cuma ngebolehin TNI punya jabatan di 10 kementerian/lembaga, sekarang diusulkan bisa lebih bebas sesuai kebijakan presiden. Dihari yang sama juga, Ribuan pelajar di Papua menggelar aksi masa menolak Makan Bergizi Gratis. Aksi yang dibubarin secara paksa oleh aparat dan menuai banyak pelanggaran HAM.

17-21 Februari 2025, ribuan Mahasiswa dan masyarakat sipil melalukan demonstrasi di berbagai daerah di Indonesia. Tuntutan mereka? Salah banyaknya : efisiensi Kabinet Merah Putih secara struktural dan teknis, mendesak Prabowo keluarkan Perpu Perampasan Aset, tolak revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan, evaluasi total pelaksanaan Makan Bergizi Gratis, penciptaan pendidikan gratis, tolak revisi UU Minerba, hapuskan dwifungsi militer di sektor, dan reformasi Polri. Juga menolak revisi peraturan tata tertib DPR, hingga realisasikan anggaran tunjangan kinerja dosen. Lengkapnya di sini

instagram.com/trendingbuzz.id

Hari ini, 24 Februari 2025, Danantara launching. Presiden Prabowo Subianto menandatangani keputusan presiden Nomor 30 Tahun 2025 mengenai pengangkatan Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana, Badan Pengelola Investasi ini di Istana Kepresidenan. Sekaligus menekan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara. 

Kalau teman-teman mau tahu lebih mudah dan simplenya tentang Danantara, silahkan tonton di sini ya.

Sebagai ibu rumah tangga, kebijakan-kebijakan yang tak pro rakyat ini tentu saja akan berdampak besar sekali. Baik secara finansial, sosial maupun psikologis. Kenaikan biaya hidup tak akan bisa dihindari. Efisiensi yang menyunat anggaran pendidikan dan kesehatan akan membuat biaya pendidikan dan akses kesehatan lebih mahal lagi.

Dan dengan berkurangnya anggaran untuk pendidikan tinggi, peluang beasiswa bisa menipis dan biaya kuliah makin melambung. Bagi ibu-ibu, yang setiap hari menabung sedikit demi sedikit demi melihat anaknya duduk di bangku kuliah, ini akan jadi “pertarungan” yang panjang dan luar biasa sekali.

instagram.com/pramudyakevin

Pada akhirnya, kebijakan bukan sekadar deretan angka di atas kertas atau wacana yang lalu-lalang di ruang rapat para pejabat. Ia adalah denyut kehidupan yang dirasakan langsung oleh jutaan rakyat, oleh ibu yang mengkhawatirkan masa depan pendidikan anaknya, oleh ayah yang berjuang agar dapur tetap mengepul, oleh generasi muda yang bertanya-tanya apakah negeri ini masih punya tempat untuk mimpi-mimpi mereka.

Jika negara terus melangkah tanpa mendengar suara rakyatnya, akankah kita hanya menjadi saksi bisu yang perlahan terbiasa? Ataukah kita akan tetap bersuara, mengingatkan bahwa keadilan bukan sekadar janji, tapi hak yang seharusnya dirasakan oleh setiap lapisan masyarakat? 

Sebab, dalam gelap kita menyadari pentingnya menyalakan cahaya.

SETENGAH TAHUN, SETENGAH JALAN

Refleksi Tengah Tahun Seorang Ibu, Dosen, dan Perempuan Biasa yang Masih Belajar Hy, everyone, welcome to July. Rasanya baru kemarin ya, k...