Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwal kelas saya selalu setelah zhuhur. Jadi saya memaklumi banyak diantara mereka yang fokusnya mulai terbagi dengan kantuk dan energi yang sudah terkuras sejak pagi. Namun kemudian, saat jadwal saya pindahkan ke jam pagi sekitar pukul 09.00-12.00 WIB, masih banyak diantara mereka yang menguap disela-sela penjelasan saya yang “sedikit bersemangat”. Hal ini membuat saya merefleksi kembali cara saya mengajar. Slide-slide yang panjang –karena memang butuh penjelasan detail- saya persingkat dan diselingi dengan kuis atau “maota”, ngobrol ngalor ngidul diluar tema sekalipun. Saat mengajar di mata kuliah Desain Pembelajaran Berbasis IT, alih-alih saya sendiri yang “berbusa-busa” mengajari sebuah tutorial, saya merasa lebih efektif menampilkan video tutorial 5-9 menit yang dapat diulang putar lagi. Awalnya saya bertanya-tanya, mengapa rentang fokus atau perhatian mereka makin singkat? Toh mereka bukan anak-anak usia 6-8 tahun yang rentang fokusnya hanya 10-15 menit. Mereka adalah mahasiswa dengan rentang umur 16 tahun ke atas yang menurut brainbalancecenters.com harusnya punya rentang fokus 32 hingga 48 menit.
Setelah “membaca” -maksudnya juga mendengar pendapat para ahli via beberapa diskusi podcast- saya mulai dapat kesimpulannya. Generasi yang sedang ada di depan saya adalah generasi yang terbiasa dengan informasi instan. Generasi Youtube short, generasi reel Intagram, generasi konten yang sering kali dibatasi hanya beberapa menit. Saya kemudian juga mendapati data bahwa rentang perhatian dalam konteks media sosial atau konten digital, GenZ hanya memiliki rentang perhatian rata-rata 8 detik, mirip dengan ikan mas. Sedangkan dalam konteks pembelajaran atau pembicaraan yang lebih mendalam atau presentasi yang lebih panjang, usia 16 tahun ke atas mungkin bisa bertahan lebih lama (30-40 menit) dengan fokus penuh, meskipun tetap ada penurunan perhatian setelah beberapa saat.
Artinya apa? Artinya sebagai dosen, saya harus memutar otak bagaimana caranya memanfaatkan durasi yang lebih pendek (5-10 menit) agar pembelajaran tetap menarik dan sesuai dengan rentang perhatian yang lebih singkat yang dimiliki generasi muda, tanpa kehilangan kualitas materi. Salah satu metode yang lagi populer adalah microlearning, atau pembelajaran singkat.
Apa Itu Microlearning?
Microlearning adalah teknik
pembelajaran yang memecah materi besar menjadi potongan-potongan kecil, yang
mudah dicerna dalam waktu singkat. Biasanya materi microlearning disajikan
dalam video singkat, infografis, atau modul interaktif yang dapat diakses kapan
saja.
Contoh sederhananya, jika kita
mengajar tentang perkembangan kurikulum, daripada langsung membahas semua teori
dalam satu jam, kita bisa memecahnya jadi beberapa bagian pendek, seperti
“Teori Kurikulum Tradisional” dan “Teori Kurikulum Modern”.
Terus untungnya apa kalau
gaya ngajar kita pakai teknik Microlearning?
Yang Pertama, Fokus Lebih Terarah.
Dengan durasi pendek, mahasiswa lebih mudah fokus pada satu topik
spesifik. Ini mengurangi kemungkinan mereka merasa kewalahan dengan informasi
yang berlebihan.
Kedua, Mudah Diakses dan Diulang
Jika menggunakan video singkat misalnya, memungkinkan mahasiswa untuk mengulang materi kapan saja. Jika ada konsep yang belum mereka pahami, mereka bisa dengan mudah menonton lagi.
Lalu teknis/implementasi Microlearning itu seperti apa?
Untuk mengintegrasikan teknik
microlearning dalam proses pengajaran, saya biasanya seperti ini :
1.
Pecah Materi Menjadi Modul Kecil
Memecah materi besar menjadi bagian kecil dan
interaktif, sambil memanfaatkan berbagai media pembelajaran berbasis IT.
2.
Gunakan Slide dan Infografis Ringkas
Saya menggunakan slide presentasi yang padat
dan infografis untuk mengilustrasikan konsep-konsep yang lebih kompleks dalam
pengembangan kurikulum. Setiap slide bisa menyoroti satu poin penting, dengan
visual yang menarik.
3.
Kuis Interaktif
Setelah setiap modul, buat kuis singkat
(misalnya 3-5 pertanyaan) menggunakan platform seperti Google Form, Kahoot, Quizizz
atau Baamboozle. Kuis ini akan mengukur pemahaman mahasiswa dan membuat mereka
lebih terlibat dalam pembelajaran.
4.
Video Tutorial tentang Desain Pembelajaran Digital
Saat mengajar Mata Kuliah Desain pembelajaran
berbasis IT, saya biasanya menayangkan video tutorial pendek (5-10 menit) yang
menunjukkan cara mendesain pembelajaran berbasis teknologi. Misalnya, bagaimana
menggunakan LMS (Learning Management System) atau tools seperti Google
Classroom, Moodle, atau Edmodo dalam desain pembelajaran. Juga memperkenalkan
berbagai tools pembelajaran yang bisa digunakan, seperti padlet, canva, kahoot,
atau aplikasi untuk membuat kuis. Video-video ini tidak lebih dari 5-10 menit,
memberikan penjelasan praktis tentang bagaimana cara menggunakannya di kelas.
5.
Sesi Interaktif dengan Mind Mapping
Saat mengajar Mata kuliah Strategi Pendidikan Anak Usia Dini
misalnya, saya sering membuat peta konsep strategi pembelajaran. Misalnya : Strategi pembelajaran metakognitif, Strategi Jigsaw, Strategi pembelajaran diferensiasi, dan lain sebagainya. Lalu melakukan Pembahasan Studi Kasus karena banyak diantara mereka yang juga
sudah menjadi guru di PAUD.
6. Video contoh
cara mendongeng.
Dibandingkan ”berceramah” cara mendongeng yang
baik untuk anak usia dini, saya biasanya menampilkan video youtube dongeng
anak-anak singkat, seperti Video Kak Ojan. Dan membahas tekniknya bersama
mahasiswa.
7.
Menggunakan AI secara Real-time.
Contohnya saat mata kuliah Kewirausahaan. Alih-alih menampilkan slide yang panjang pada sub materi Studi kasus kewirausahaan, saya biasanya langsung membukan ”Scribd”, mendowload artikel studi kasus dan pemasalahannya, dan langsung membahasnya bersama dengan ChatGPT atau perplexity atau Claude dan meminta mahasiswa menanyakan apa saja untuk langsung dijawab oleh AI tersebut. Memang tidak ada yang sempurna, tapi cukup membantu agar mereka tetap melek dan fokus.
Masa Depan Microlearning dalam
Pendidikan
Microlearning tampaknya akan terus
mengalami perkembangan, terutama dengan preferensi generasi digital saat ini
yang lebih menyukai konten singkat, padat, dan mudah dipahami. Teknologi
seperti Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Kecerdasan Buatan
(AI) diperkirakan akan memperluas cakupan microlearning secara signifikan.
Dengan adanya teknologi ini, bukan hanya memungkinkan pembelajaran menjadi
lebih interaktif, tetapi juga dapat memberikan pengalaman yang seolah-olah
"membawa" peserta didik ke dalam materi. Misalnya, siswa dapat
menjelajahi lingkungan virtual yang relevan dengan topik yang mereka pelajari
atau bahkan menggunakan simulasi AI yang berfungsi sebagai asisten pembelajaran
pribadi, memberikan panduan atau kuis sesuai kebutuhan mereka. Dengan
perkembangan ini, microlearning bisa menawarkan pengalaman yang jauh lebih
menarik dan personal, menjadikan pembelajaran tidak hanya efektif tetapi juga
lebih immersif bagi siswa.
Setiap teknik pembelajaran punya
kelebihan dan kekurangannya. Begitu pula Teknik Microlearning ini. Namun, upaya
ini semoga bisa menjadi salah satu solusi efektif di tengah tantangan
pendidikan modern. Harapannya, ini bisa membuka pintu bagi banyak peserta didik
untuk belajar dengan cara yang lebih relevan dan “nyambung” dengan gaya hidup
mereka.