ADA “MALALA”, ADA MAKANAN


      Ya, banyak hal di dunia manusia ini yang terjadi bagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Sederhananya,  seperti ada siang, ada malam. Ada susah, ada senang. Ada sehat, ada sakit. Ada ....., ada..... Banyak lagi deh pokoknya yang semua orang pasti bisa ngisi titik-titik itu sendiri dengan yang mereka inginkan. Intinya ada banyak pasangan yang meskipun memiliki perbedaan, tapi tetep aja mereka  pacaran. Aaaih,,,apa hubungannya? Hahaha.. Tauk ah, pokoknya  yang saya maksud adalah dua hal yang  perlu ada untuk menjaga keseimbangan semesta..cihaaa..haha..salah satunya adalah : ada “malala”, ada “makanan”. Dua hal ini bagai dua sisi mata uang (dan pasti membutuhkan uang) yang tak terpisahkan. 
       Yap, “malala” yang defenisi mudahnya “jalan-jalan”, tak terpisahkan dari yang namanya makanan. Di “Malala” kali ini saya mau share tentang makanan rekomended untuk temen-temen icip-icip jika kelak “malala” ke Padang.
    Kemaren, setelah pulang nonton film Filosofi kopi-nya Dee, hujan mengguyur Kota Padang. Berhubung saya dan Uda belom punya si arvi, (**yang member Oriflame, pasti tau maksud saya,,hahaha), kita terpaksa menepi ke sebuah warung pinggir jalan untuk berteduh. Punya mantel sih, tapi Uda yang bawa istri keduanya, **baca : kamera- nggak mau nerobos gitu aja, karna dampaknya akan sangat signifikan bagi kelangsungan hidup kita berdua,,hehe. Redaan, baru kita memberanikan diri untuk melarikan perut keroncongan pada sebuah resto ramen di Jl. Ulak Karang – Padang. Noki Ramen & Resto, namanya. 
Ramennya menurut kami porsinya cukup besar. Ayam pada Ramen katsunya cukuplah untuk bikin susah berdiri, saking kenyangnya..hehe. Ramen seafoodnya juga enak banget, cuminya mateng sempurna, nggak terlalu keras dan nggak lembut banget.
Sebelum ramennya disajiiin, yuk seruput lemontea panas dulu, penyogok kepala yang tiba-tiba sakit. Aah..segeeeer..badan langsung berasa hangat ngat ngat. Eeh, ada buku puisinya Aan Mansyur juga. Lemontea dan Puisi. Bissalaaaah.. :)


Malala” dilanjutkan siang tadi, ceritanya sih pingin liat pameran photo di Taman Budaya Sumatera Barat, tapi kudu isi “amunisi” dulu. Meluncurlah kita ke Jl. HOS cokroaminoto, arah Pecinan, Kota Padang. Ikan Bakar Pak Tris.
Beeeeh, pilih-pilih ikannya, tunggu mereka bakar, daaaan,,taraaa,,,,menu kece badai ini terhidang di meja. Lengkap ama Kangkung dan sambal terasinya yang aaah,,,jika saya bahasakan, saya kawatir manteman langsung pesen tiket dan ileran sampai Padang..hehe

Bumbu yang dipaduin ama ikan segernya, bener-bener bikin nggak nyadar kalau sudah nambah nasi sekali. “tambuah ciek , ni”. Manteman akan terbiasa dengan “pameo” itu disana. Putihnya daging ikan segar, celupin ke sambalnya ya super lezat, aaah..kata orang minang mah, "Ndak nampak mintuo lalu"..hehe


Ikan bakarnya juga disajikan bareng ama kecap dan sambal. Tapi kerennya, ini bukan sambal siap saji lho, tapi kayaknya diramu langsung ama kokinya, jadi enak pake banget.

Ikan bakar , sayur kangkung dan sambal terasi. Sempurna.  Dadaaaaaa.... :)


                                                                                                                      Padang, 23-24 April 2015

Pasar Seni ITB 2014

(Tulisan ini saya tulis November lalu setelah acara pasar seni ITB, tapi baru sempat posting sekarang, yaaa,,seperti postingan lainnya di blog ini, saya menulisnya beberapa waktu lalu, saat amnesia, kalau saya ternyata punya blog)

Hujan mulai merintik saat saya mengunci pintu kosan menuju jalanan komplek perumahan yang langsung menikung untuk berakhir pada sebuah gang kecil dekat Universitas Pasundan.”Track” ini sengaja kami –saya dan Fou- sepakati untuk mepersingkat waktu menuju jalan raya menunggu angkot Cicaheum-Ledeng. Baru beberapa langkah berjalan, hujan mengguyur deras seolah air yang terbendung diatas terpal plastik yang tiba-tiba dihembus angin kencang dan akhirnya tumpah ruah ke jalanan. Memaksa saya buru-buru mengembangkan payung hijau yang tentu saja agak lamban terbuka karna beberapa jahitan kasaunya lepas dan belum sempat saya jahit ulang. Payung ini sudah banyak berjasa menemani hari-hari saya sejak awal kuliah s1, hujan atau pun panas, Padang butuh payung untuk melewati jalanannya.

Sedikit lagi menuju ujung gang, hujan masih saja beradu deras dengan langkah panjang kami. Tak mau “dandanan”nya berantakan, Fou mengembangkan payungnya juga. Jadilahlah kami dua sahabat dengan payungnya masing-masing. Saya dengan payung hijau tua, Fou dengan payung hitam Boyish-nya. Kaki yang sudah berlumpur kita lupakan saja, karena ujung gang sudah di depan mata. Tiba dijalan raya, belum ada angkot yang mau kami tumpangi. Tentu saja harus pilih-pilih angkot, semua orang tau itu, beda tujuan pasti beda angkotnya. Tapi bukan berarti beda warnanya. Angkot Kalapa-Ledeng dan Cicaheum-Ledeng sama-sama berwarna hijau, maka pastikan baik-baik untuk membaca tulisan dikaca angkot meskipun hujan sedang deras.
Kami menyeberang untuk menunggu angkot ke arah bawah,beberapa angkot Cicaheum-Ledeng penuh penumpang, tapi tak begitu lama akhirnya ada angkot yang menyisakan bangku basahnya untuk kami. Tentu saja harus melewati “tragedi” terhuyung beberapa waktu saat saya berusaha mengeringkan bangku dengan tissu. Hujan masih belum mau berhenti. Biarkan saja, itu berkah namanya.
Jalanan sekitas Jl.Ganesa macet, mungkin efek dari pengunjung pasar seni juga, saya tak bisa memastikannya. Kami memutuskan turun dari angkot untuk berjalan di trotoar hingga ke lokasi pesta seni. Tak begitu jauh, dibandingkan harus terus kegerahan ditengah kemacetan.
Tiba di kampus ITB, tentu saja saya merasa “berbeda”. Bukan, bukan karena saya termasuk golongan pendikotomi ilmu pengetahuan, kampus A lebih bagus dari kampus B, jurusan A lebih baik dari jurusan B, sekali lagi bukan. Tapi semata-mata perasaan sesak ini muncul karena nilai sejarah yang telah diukir oleh kampus tua ini. Berapa banyak ilmuwan yang dihasilkannya, berapa banyak riset yang bermanfaat buat banyak orang. Semata-mata hanya karena sejarah yang panjang itu. Sejarah yang juga melibatkan Soekarno turut andil di kampus ini. Sejarah, yang mengukirnya sebagai kampus vokasi pertama di Indonesia. Sejarah memang menempati tempat tersendiri dihati saya.
Namanya juga pasar, penuh sesak, kami berusaha menembus kerumunan untuk bisa melihat-lihat sekitar. Berpose diantara lalu-lalang orang. Lalu menengadah mempelajari peta raksasa yang terpajang di sudut dekat kolam yang tidak saya tau namanya. Kami memutuskan untuk langsung ke stan pameran produk. Tentu saja bukan hanya sekedar dipamerkan, barang-barang kerajinan handmade tersebut juga dijual dengan kisaran harga yang membuat saya harus beranjak dari stan satu ke stan lain tanpa membeli apa-apa. Kantong mahasiswa saya benar-benar miris teriris. **sakitnya itu dimana-mana. :P
Hanya mengumpulkan photo dan kartu nama, itu yang kami lakukan sepanjang mengitari stan dari utara ke selatan kemudian menyebrang mulai lagi dari selatan ke utara. Aih,,apalah namanya jika kami hanya mengitarinya dengan gigit jari saja,,hahhaha. Hingga akhirnya lelah, kami beranjak ke stan makanan, lalu tiba-tiba tercengang dengan harga kebab yang bikin kesal dan blingsatan. Hahahaha. Sungguh suatu ujian keikhlasan ditengah kecapek-an dan hujan. Sempurna.
Lalu kembali ke denah raksasa lagi, memikirkan kemana kami akan melangkah selanjutnya. Diputuskan kami akan ke stan seniman dan lanjut ke stan komunitas. Kabarnya di pasar seni ini ada 370 stan yang dipamerkan. Melibatkan  lebih dari 50 seniman dan 5 galeri serta berbagai wahana. Cerita tentang wahana, kami melewatkan Museum satu dan Semestarium ketika melihat antrian yang mengular dan ularnya sedang kekenyangan. Panjang dan bergerak lamban.
Di stan seniman tersebut, karya seniman-seniman besar terpampang disana. Maestro-maestro lukisan memamerkan keahlian mereka. Sungguh sebuah adikarya yang melampaui batas imajinasi dangkal saya. Membuat saya bergumam,saya tak ada apa-apanya, kawan.
Saya melakukan hal ceroboh dengan bersandar pada lukisan ketika berphoto pada salah satu lukisan seharga $250.000. tentu saja saya langsung dihadang sama sang penjaga lukisan. Saya pasti sedang kerasukan waktu itu, mohon maafkan dan maklumkan kebodohan saya. Ayo kita lupakan saja tragedi memalukan itu. :p
Hujan lagi-lagi turun, seolah sedang memberkati dan “malimaukan” karya-karya seni ini. Kami berlari kesamping gedung tua, hitam, kokoh, mistis, dan sudah pasti saya tak tahu namanya. Yang penting bisa berteduh sambil selonjoran di lantainya. Memotret Fou dengan beberapa pose kerennya. Lalu kami melanjutkan menyisiri stan komunitas. Terpaku sejenak pada stan wayangart mahasiswa UPI, memotret sambil ngakak di stan film-film jadul yang tayang sebelum saya lahir, bernostalgia pada kartu pos disebuah stan unik, dilanjutkan sok jadi reporter ketika mewawancarai seorang seniman robot dan anime yang membuat berbagai tokoh tersebut dari kertas. Sungguh hasil karya yang menakjubkan. Bla bla bra..aih..akhirnya “malala” ini pun selesai. Waktunya pulang dan mengenang. Sampai ketemu di pasar seni berikutnya. Empat tahun mendatang. Bye....bye... :)

Imlek dan Pendidikan Multikultural : Antara kesadaran berbudaya dan alternatif pemecahan konflik



(Postingan ini saya buat usai “malala” ke sebuah perayaan Cap Go Meh di Pecinan Kampung Pondok Padang Februari lalu)



Tulisan ini lahir, karena dalam sebuah media sosial saya melihat beberapa orang saling mengcibir dan saling menghakimi satu sama lain ketika salah satu mereka mengucapkan “Gong xi fa cai, Selamat tahun baru imlek  2566”, pada teman etnis Tionghoa, meskipun mereka bukan bagian dari yang merayakannya. Tudingan itu malah berlanjut pada saling menuding bahkan konyolnya malah sampai mengkafirkan si pengucap.
Gong xi fa cai memiliki arti “semoga berbahagia dan cepat kaya”. Do’a atau harapan yang bisa kita lontarkan pada kerabat yang kita sayangi. Mengharapkan kebahagiaan dan kesejahteraan untuk mereka. Sebuah do’a yang seharusnya terucap dengan penuh ketulusan untuk kebahagian orang lain yang meskipun memiliki perbedaan kebudayaan dengan kita.
Imlek adalah sebuah perayaan tahun baru sesuai dengan penanggalan Tionghoa. Perayaan tahun baru  imlek dimulai dihari pertama bulan pertama Tionghoa, Pinyin, Zheng yu, dalam penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke 15. Hitungan tahun dalam kalender Tionghoa juga berarti tentang pergantian musim. Dalam kalender Tionghoa, titik balik matahari musim dingin harus terjadi di bulan 11, yang berarti tahun baru imlek biasanya jatuh pada bulan baru kedua setelah titik balik matahari musim dingin dan kadang pada bulan ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat. Imlek menandakan dimulainya musim semi yang menandakan kemakmuran.
Imlek adalah bagian dari budaya. Koentjaraningrat berikutnya menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. 

Hidup dalam masyarakat Indonesia yang multietnis dan budaya, seharusnya setiap individu kita harus memiliki sikap toleransi yang tinggi. Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu untuk membangun rasa persatuan dan kesatuan sekaligus menjawab beberapa problematika keberagaman  seperti yang digambarkan di atas dibutuhkan langkah sistematis. Salah satunya melalui pendidikan multikultural.
Pendidikan multikultural bukan hal yang baru dalam dunia kependidikan kita. Suatu langkah yang sistemik untuk membelajarkan generasi kita bagaimana cara hidup ditengah budaya yang beragam dan menghormati perbedaan.
Pendidikan multikultural, Seperti pendapat Andersen dan Cusher (1994) sebagaimana dikutip Mahfud (2008), bahwa pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan Hernandez (1989 ), mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial, politik, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya, ras, seksualitas dan gender, etnisitas, agama, status social, ekonomi, dan pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
Paparan tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan multikultural menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diimplementasikan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan multikultural dapat berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Melalui pembelajaran yang berbasis multikultural, generasi muda diharapkan tidak tercerabut dari akar budaya dan keyakinannya, tapi tetap menghormati budaya dan keyakinan orang lain.
Pendidikan multikultural memiliki nilai-nilai inti seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, output generasi yang dihasilkan mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan yang ada.
Lalu, bagaimana proses implementasi pendidikan multikultural tersebut dalam pendidikan kita hari ini?. James Banks dalam buku Multicultural Education (1993) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki lima dimensi yang saling berkaitan dalam proses pelaksanaannya, yaitu : (1) Content integration. Mengintegrasikan berbagai budaya dalam mata pelajaran atau disiplin ilmu pengetahuan. Implementasi  pendidikan  multikultural  pada  jenjang  pendidikan  dasar  dan  menengah, dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya melalui pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Agama, juga dapat  dilakukan  melalui  pemberdayaan  slot-slot  kurikulum  tentang keberagaman. (2) The Knowledge Construction Process. Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran. (3) An Equity Paedagogy. Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial. (4) Prejudice Reduction. Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. (5) Exercise. Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu generasi kita mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman pendidikan multikultural di sekolah-sekolah, akan menjadi media pelatihan dan penyadaran bagi generasi kita untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai, sehingga dapat menjadi suatu alternatif pemecahan konflik yang kerap terjadi disekitar kita.  Melalui momen Imlek, kita bisa menyadari sepenuhnya, bahwa Imlek adalah bagian dari budaya dari sekian banyaknya  budaya yang ada di Indonesia. Yang harus kita jaga dan hormati bersama. Dengan mengimplementasikan pendidikan multikultural sebagai tataran ideal pendidikan dan menyadari  bahwa imlek adalah bagian dari kebudayaan, maka ke depannya diharapkan konflik kebudayaan seperti diungkapkan diatas tidak terjadi lagi.
Hingga pada akhirnya pendidikan multikultural tidak hanya berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka. Namun juga memupuk rasa persaudaraan dan keberagaman demi meminimalisir konflik antara kita yang hidup dalam negara yang sama.  

Lain lubuak lain ikannyo, 
lain padang lain ilalang. 
Padang, 20 Februari 2015

“Malala” ke Braga.

Postingan ini saya tulis diawal semester saat saya mulai lanjut kuliah lagi di Bandung.
Setelah dua minggu di Kota Kembang, saya masih belum kemana-mana –selain ke kampus dan ke rumah bibi- . Janjian ama temen, tapi selalu batal melulu. Boring dikosan sendirian, saya memutuskan untuk ber ”solo traveling”...haha..keren banget kan,, J. Gimana nggak, rasanya sia-sia aja ngabisin akhir pekan di tempat tidur. Awalnya, saya nggak tau mau kemana, wong jalanan Bandung aja saya gak hafal, belom lagi ketakutan setelah denger banyak berita kriminal diangkot-angkot yang yang terjadi belakangan ini. Tapi dasar “Palala yang penting keluar dari kosan. Hehe..
Dapat kabar kalau di Braga lagi ada pameran buku Bandung 2014. Setelah cek-cek internet, ternyata beneran. Ada pameran di Landmark Building, Jl. Braga. Cocok banget buat hunting-hunting buku murah di Bandung. 
 
Saya pikir begitu. Bbmin  temen yang udah duluan kuliah di Bandung, gimana cara pergi kesana, dianya malah bilang gak tau pasti juga, gak tau tuh, selama ini di Bandung dia kemana aja. (^_^). Ya udah, akhirnya beraniin diri untuk tanya langsung ama si mamang angkotnya. Dan taraaaa....akhirnya nyampe lokasi dengan naek angkot jurusan Kalapa-Ledeng. Alhamdulillaaah...

Lumayan besar pamerannya, dan kebanyakan emang didominasi ama buku-buku religi. Tak ada “Pram” disana. 


Tapi setelah hampir capek berkeliling sendiri ada National Geographic edisi tahun 2007 di stan yang saya gak ingat lagi namanya...(**kebiasaan)





Azan zuhur seakan menjadi alarm kalau perut pun harus diisi. Gak tau tempat makan yang enak dimana, karena takut kesasar, saya mutusin makan siomay aja di depan gedung pameran, dan tentu saja ujung-ujungnya saya harus minta tambahan cabe ke si mamang penjualnya, lidah Padang saya belom terbiasa dengan beberapa masakan sunda yang “pelit” cabe.

Di bagian belakang pameran ada panggung acara. Ternyata ada acara kopdar (kopi darat) para bloger Bandung dan acara bedah buku. Masih siang, dan saya masih malas pulang. Iseng-iseng mantengin acara para bloger. Acaranya ternyata seru banget, banyak tips-tips ngeblog yang saya dapatin disana. Inspiratif banget.



Eits..di sudut belakang acara kopdar, ada stan camilan tradisional, banyak deh macam-macamnya, saya beli permen panjang-panjang seperti digambar, dan berakhir dengan gigi sakit dan lidah yang mati rasa beberapa saat,,nggak lagi-lagi..hihi

Ampe jam 14.00, sesi bloger selesai. Oiya, saya yang tadinya duduk di kursi belakang, pindah ke kursi depan. Deketan ama seorang cewek manis, jilbaber yang low profile banget dan kenalan. Teh Intan namanya. Dan ternyata, dia Alumni UPI jurusan Psikologi. Seorang bloger yang aktif di LSM pemberdayaan perempuan juga. Cakep kan??. Orangnya juga asyik diajak ngobrol.
Abis sesi bloger, ada bedah dua buah novel remaja, dan lanjut dengan bedah buku religi. Pasti pada mikirnya, aku tuch betah banget duduk manis lama-lama gitu...? Bukaaaaaan, bukan gitu. Aku tuh berdiam diri disana karna ntar jam 18.30 ada Trinity,,,you know Trinity kaaaaan,,,,(travel writer favoritnya akiuu..). 
Bosan duduk mulu,--nah kan, mulai bosan--, saya bilang ama si teteh mau ngirup udara seger keluar, eeh,,ternyata ditawarin buat jalan-jalan sepanjang Jl. Braga. Cuma 300 meter sech sebenarnya..tentu saja saya seneng banget, dapat temen seperjalanan, dan yang lebih excited nya lagi, saya dapat temen plus tour guide yang tau banget seluk beluk Braga, ya bangunannya, ya sejarah.. Oh iya,,,sepanjang jalan Braga terbuat dari paving blok dari batuan andesit lho. Keren. Tapi sayang, jalan yang keren itu harus dilalui ama kendaraan bermotor yang bikin saya kawatir bebatuan jalanan itu akan cepat rusak. Maunya saya sih, ada car free disana,,hehe.
Nama “Braga” sendiri sech masih menimbulkan beberapa kontroversi. Ada kalangan yang mengatakan, Braga berasal dari sebuah perkumpulan drama Bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot, seorang Asisten Residen, yang bermarkas di salah satu bangunan di Jalan Braga. Diduga sejak saat itulah nama Jalan Braga digunakan. Pemilihan nama “Braga” oleh perkumpulan drama ini diperkirakan berasal dari beberapa sumber yang erat kaitannya dengan kegiatan drama, antara lain nama Theotilo Braga (1834 -1924), seorang penulis naskah drama, dan Bragi, nama dewa puisi dalam mitologi Bangsa Jerman. Sementara itu ada versi lain dari nama “Braga”.
Menurut ahli Sastra Sunda, Baraga adalah nama jalan di tepi sungai, sehingga berjalan menyusuri sungai disebut ngabaraga. Sesuai dengan perkembangan Jalan Braga (terletak di tepi Sungai Cikapundung), yang kemudian menjadi tersohor ke seluruh Hindia Belanda bahkan ke manca negara, Jalan Braga menjadi ajang pertemuan dari orang-orang, dan ngabaraga tadi berubah menjadi ngabar raga, yang lebih kurang artinya adalah pamer tubuh atau pasang aksi. Memang di masa-masa sebelum PD II, disaat Jalan Braga sedang jaya jayanya, jalan ini dijadikan ajang memasang aksi menjual tampang sehingga dikenal juga istilah khas Bragaderen. Perkataan deren dalam kamus Bahasa Belanda kurang menjelaskan arti kata penggabungan Braga dan deren sehingga disimpulkan, Bragaderen berasal dari kata paraderen yang artinya berparade, jadi Bragaderen lebih kurang berarti berparade di Jalan Braga. Getoooo....
Menyusuri Jl. Braga yang hanya 300 meter, saya dikasih liat toko roti yang jadi inspirasi Dee menulis Madre. Dikasih tau beberapa bangunan lama yang udah mulai dialih fungsikan, dulunya tempat apa dan sekarang berfungsi seperti apa.  
Melangkahkan kaki hingga ke depan museum Asia Afrika, melihat saksi sejarah bagaimana bangsa ini sudah besar sejak dahulunya. 
 Di depan Museum Asia-Afrika ada sebuah bangunan tua yang keren banget, Namanya “Warenhuis De Vries”, dulunya itu adalah “Mall/supermarket” nya Nederland Indie. Dulu, Gak sembarangan pedagang bisa berjualan di jalan Braga. Hanya toko-toko yang sudah lulus seleksi yang boleh berada disana. Toko-toko disana menyediakan produk-produk impor bermerk dari luarnegeri. Di jalan itu terdapat antara lain distributor Chrysler, Plymouth dan Renault. Toko juwelier (perhiasan) dengan arloji bermerk, rumah mode, toko buku, dan restauran. Contohnya juga FButik Au Bon Marche yang hanya menjual pakaian impor dari Paris. Keberadaan butik inilah yg kemudian membuat Bandung dijuluki Parisj van Java.
Dikiri Warenhuis, ada Savoy Homann, hotel yang dianugerahi titel bintang lima, mewah dan megah untuk ukuran zaman sekarang, membuat saya bertanya-tanya, bagaimana rasanya bisa menginap di hotel semewah itu di zaman tempoe doeloe ya??apa yang dirasakan peserta konfrensi Asia Afrika ketika menginap disana?? Dan hingga kini tak ada yang berubah dari Savoy Homann. 

Diseberang sang hotel, ada titik nolnya Bandung, katanya sech, dari titik ini, diukur kearah manapun sekota Bandung, pasti jaraknya sama ketitik ini.
Dibelakang tugu Nol Bandung, ada prasasti yang menuliskan tentang pembangunan jalan Anyer-Panarukan oleh Daendels Tahun 1808-1811. 

“Malala” hari ini ditutup dengan beberapa jepret yang “harap maklum saja”. Diskusi ama Trinity dan Pulang. Dan tahukah kalian, saya salah naek angkot pas pulangnya,,hihihi, tapi dasar Bandung yang ramah yaaa,, saya diantar si mamang angkotnya sampai ke angkot yang sebenarnya menuju kosan saja di Setia Budi. Sampai jumpa :)

Ngeblog lagi..Setelah amnesia pada beberapa blog lama

Aiiih,,,,apa yang harus saya posting kembali, setelah beberapa tahun saya amnesia password dengan beberapa blog yang saya kelola. yaaa..saya bilang beberapa, karna seingat saya ini adalah blog keempat saya sejak mengenal aplikasi ini. hahahaha..saya memang keterlaluan. Tapi takapalah, setidaknya saya punya "lahan" lagi untuk menulis kembali.

Silahkan menganggap ini postingan sambutan atau sambungan dari postingan-postingan saya sebelumnya. 
Saya belom akan menulis apa-apa, hanya berterima kasih pada jaringan internet di sebuah warnet, tempat saya memulai lagi. Kalian tahu, malam-malam begini saya bela-belain ke warnet karna jaringan internet di laptop saya yang pake modem jadul, membuat saya emosi saking lo-lanya. Sekali lagi, Tak apalah.. :D

Yang jelas, Selamat Datang kembali, Mita. :D

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

  Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwa...