“Malala” ke Braga.

Postingan ini saya tulis diawal semester saat saya mulai lanjut kuliah lagi di Bandung.
Setelah dua minggu di Kota Kembang, saya masih belum kemana-mana –selain ke kampus dan ke rumah bibi- . Janjian ama temen, tapi selalu batal melulu. Boring dikosan sendirian, saya memutuskan untuk ber ”solo traveling”...haha..keren banget kan,, J. Gimana nggak, rasanya sia-sia aja ngabisin akhir pekan di tempat tidur. Awalnya, saya nggak tau mau kemana, wong jalanan Bandung aja saya gak hafal, belom lagi ketakutan setelah denger banyak berita kriminal diangkot-angkot yang yang terjadi belakangan ini. Tapi dasar “Palala yang penting keluar dari kosan. Hehe..
Dapat kabar kalau di Braga lagi ada pameran buku Bandung 2014. Setelah cek-cek internet, ternyata beneran. Ada pameran di Landmark Building, Jl. Braga. Cocok banget buat hunting-hunting buku murah di Bandung. 
 
Saya pikir begitu. Bbmin  temen yang udah duluan kuliah di Bandung, gimana cara pergi kesana, dianya malah bilang gak tau pasti juga, gak tau tuh, selama ini di Bandung dia kemana aja. (^_^). Ya udah, akhirnya beraniin diri untuk tanya langsung ama si mamang angkotnya. Dan taraaaa....akhirnya nyampe lokasi dengan naek angkot jurusan Kalapa-Ledeng. Alhamdulillaaah...

Lumayan besar pamerannya, dan kebanyakan emang didominasi ama buku-buku religi. Tak ada “Pram” disana. 


Tapi setelah hampir capek berkeliling sendiri ada National Geographic edisi tahun 2007 di stan yang saya gak ingat lagi namanya...(**kebiasaan)





Azan zuhur seakan menjadi alarm kalau perut pun harus diisi. Gak tau tempat makan yang enak dimana, karena takut kesasar, saya mutusin makan siomay aja di depan gedung pameran, dan tentu saja ujung-ujungnya saya harus minta tambahan cabe ke si mamang penjualnya, lidah Padang saya belom terbiasa dengan beberapa masakan sunda yang “pelit” cabe.

Di bagian belakang pameran ada panggung acara. Ternyata ada acara kopdar (kopi darat) para bloger Bandung dan acara bedah buku. Masih siang, dan saya masih malas pulang. Iseng-iseng mantengin acara para bloger. Acaranya ternyata seru banget, banyak tips-tips ngeblog yang saya dapatin disana. Inspiratif banget.



Eits..di sudut belakang acara kopdar, ada stan camilan tradisional, banyak deh macam-macamnya, saya beli permen panjang-panjang seperti digambar, dan berakhir dengan gigi sakit dan lidah yang mati rasa beberapa saat,,nggak lagi-lagi..hihi

Ampe jam 14.00, sesi bloger selesai. Oiya, saya yang tadinya duduk di kursi belakang, pindah ke kursi depan. Deketan ama seorang cewek manis, jilbaber yang low profile banget dan kenalan. Teh Intan namanya. Dan ternyata, dia Alumni UPI jurusan Psikologi. Seorang bloger yang aktif di LSM pemberdayaan perempuan juga. Cakep kan??. Orangnya juga asyik diajak ngobrol.
Abis sesi bloger, ada bedah dua buah novel remaja, dan lanjut dengan bedah buku religi. Pasti pada mikirnya, aku tuch betah banget duduk manis lama-lama gitu...? Bukaaaaaan, bukan gitu. Aku tuh berdiam diri disana karna ntar jam 18.30 ada Trinity,,,you know Trinity kaaaaan,,,,(travel writer favoritnya akiuu..). 
Bosan duduk mulu,--nah kan, mulai bosan--, saya bilang ama si teteh mau ngirup udara seger keluar, eeh,,ternyata ditawarin buat jalan-jalan sepanjang Jl. Braga. Cuma 300 meter sech sebenarnya..tentu saja saya seneng banget, dapat temen seperjalanan, dan yang lebih excited nya lagi, saya dapat temen plus tour guide yang tau banget seluk beluk Braga, ya bangunannya, ya sejarah.. Oh iya,,,sepanjang jalan Braga terbuat dari paving blok dari batuan andesit lho. Keren. Tapi sayang, jalan yang keren itu harus dilalui ama kendaraan bermotor yang bikin saya kawatir bebatuan jalanan itu akan cepat rusak. Maunya saya sih, ada car free disana,,hehe.
Nama “Braga” sendiri sech masih menimbulkan beberapa kontroversi. Ada kalangan yang mengatakan, Braga berasal dari sebuah perkumpulan drama Bangsa Belanda yang didirikan pada tanggal 18 Juni 1882 oleh Peter Sijthot, seorang Asisten Residen, yang bermarkas di salah satu bangunan di Jalan Braga. Diduga sejak saat itulah nama Jalan Braga digunakan. Pemilihan nama “Braga” oleh perkumpulan drama ini diperkirakan berasal dari beberapa sumber yang erat kaitannya dengan kegiatan drama, antara lain nama Theotilo Braga (1834 -1924), seorang penulis naskah drama, dan Bragi, nama dewa puisi dalam mitologi Bangsa Jerman. Sementara itu ada versi lain dari nama “Braga”.
Menurut ahli Sastra Sunda, Baraga adalah nama jalan di tepi sungai, sehingga berjalan menyusuri sungai disebut ngabaraga. Sesuai dengan perkembangan Jalan Braga (terletak di tepi Sungai Cikapundung), yang kemudian menjadi tersohor ke seluruh Hindia Belanda bahkan ke manca negara, Jalan Braga menjadi ajang pertemuan dari orang-orang, dan ngabaraga tadi berubah menjadi ngabar raga, yang lebih kurang artinya adalah pamer tubuh atau pasang aksi. Memang di masa-masa sebelum PD II, disaat Jalan Braga sedang jaya jayanya, jalan ini dijadikan ajang memasang aksi menjual tampang sehingga dikenal juga istilah khas Bragaderen. Perkataan deren dalam kamus Bahasa Belanda kurang menjelaskan arti kata penggabungan Braga dan deren sehingga disimpulkan, Bragaderen berasal dari kata paraderen yang artinya berparade, jadi Bragaderen lebih kurang berarti berparade di Jalan Braga. Getoooo....
Menyusuri Jl. Braga yang hanya 300 meter, saya dikasih liat toko roti yang jadi inspirasi Dee menulis Madre. Dikasih tau beberapa bangunan lama yang udah mulai dialih fungsikan, dulunya tempat apa dan sekarang berfungsi seperti apa.  
Melangkahkan kaki hingga ke depan museum Asia Afrika, melihat saksi sejarah bagaimana bangsa ini sudah besar sejak dahulunya. 
 Di depan Museum Asia-Afrika ada sebuah bangunan tua yang keren banget, Namanya “Warenhuis De Vries”, dulunya itu adalah “Mall/supermarket” nya Nederland Indie. Dulu, Gak sembarangan pedagang bisa berjualan di jalan Braga. Hanya toko-toko yang sudah lulus seleksi yang boleh berada disana. Toko-toko disana menyediakan produk-produk impor bermerk dari luarnegeri. Di jalan itu terdapat antara lain distributor Chrysler, Plymouth dan Renault. Toko juwelier (perhiasan) dengan arloji bermerk, rumah mode, toko buku, dan restauran. Contohnya juga FButik Au Bon Marche yang hanya menjual pakaian impor dari Paris. Keberadaan butik inilah yg kemudian membuat Bandung dijuluki Parisj van Java.
Dikiri Warenhuis, ada Savoy Homann, hotel yang dianugerahi titel bintang lima, mewah dan megah untuk ukuran zaman sekarang, membuat saya bertanya-tanya, bagaimana rasanya bisa menginap di hotel semewah itu di zaman tempoe doeloe ya??apa yang dirasakan peserta konfrensi Asia Afrika ketika menginap disana?? Dan hingga kini tak ada yang berubah dari Savoy Homann. 

Diseberang sang hotel, ada titik nolnya Bandung, katanya sech, dari titik ini, diukur kearah manapun sekota Bandung, pasti jaraknya sama ketitik ini.
Dibelakang tugu Nol Bandung, ada prasasti yang menuliskan tentang pembangunan jalan Anyer-Panarukan oleh Daendels Tahun 1808-1811. 

“Malala” hari ini ditutup dengan beberapa jepret yang “harap maklum saja”. Diskusi ama Trinity dan Pulang. Dan tahukah kalian, saya salah naek angkot pas pulangnya,,hihihi, tapi dasar Bandung yang ramah yaaa,, saya diantar si mamang angkotnya sampai ke angkot yang sebenarnya menuju kosan saja di Setia Budi. Sampai jumpa :)

No comments:

Post a Comment

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

  Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwa...