(Tulisan ini saya tulis November lalu setelah acara pasar seni ITB, tapi baru sempat posting sekarang, yaaa,,seperti postingan lainnya di blog ini, saya menulisnya beberapa waktu lalu, saat amnesia, kalau saya ternyata punya blog)
Hujan mulai merintik saat saya mengunci pintu kosan menuju jalanan komplek perumahan yang langsung menikung untuk berakhir pada sebuah gang kecil dekat Universitas Pasundan.”Track” ini sengaja kami –saya dan Fou- sepakati untuk mepersingkat waktu menuju jalan raya menunggu angkot Cicaheum-Ledeng. Baru beberapa langkah berjalan, hujan mengguyur deras seolah air yang terbendung diatas terpal plastik yang tiba-tiba dihembus angin kencang dan akhirnya tumpah ruah ke jalanan. Memaksa saya buru-buru mengembangkan payung hijau yang tentu saja agak lamban terbuka karna beberapa jahitan kasaunya lepas dan belum sempat saya jahit ulang. Payung ini sudah banyak berjasa menemani hari-hari saya sejak awal kuliah s1, hujan atau pun panas, Padang butuh payung untuk melewati jalanannya.
Hujan mulai merintik saat saya mengunci pintu kosan menuju jalanan komplek perumahan yang langsung menikung untuk berakhir pada sebuah gang kecil dekat Universitas Pasundan.”Track” ini sengaja kami –saya dan Fou- sepakati untuk mepersingkat waktu menuju jalan raya menunggu angkot Cicaheum-Ledeng. Baru beberapa langkah berjalan, hujan mengguyur deras seolah air yang terbendung diatas terpal plastik yang tiba-tiba dihembus angin kencang dan akhirnya tumpah ruah ke jalanan. Memaksa saya buru-buru mengembangkan payung hijau yang tentu saja agak lamban terbuka karna beberapa jahitan kasaunya lepas dan belum sempat saya jahit ulang. Payung ini sudah banyak berjasa menemani hari-hari saya sejak awal kuliah s1, hujan atau pun panas, Padang butuh payung untuk melewati jalanannya.
Sedikit lagi menuju ujung gang, hujan masih saja beradu deras
dengan langkah panjang kami. Tak mau “dandanan”nya berantakan, Fou mengembangkan
payungnya juga. Jadilahlah kami dua sahabat dengan payungnya masing-masing.
Saya dengan payung hijau tua, Fou dengan payung hitam Boyish-nya. Kaki yang
sudah berlumpur kita lupakan saja, karena ujung gang sudah di depan mata. Tiba dijalan
raya, belum ada angkot yang mau kami tumpangi. Tentu saja harus pilih-pilih
angkot, semua orang tau itu, beda tujuan pasti beda angkotnya. Tapi bukan
berarti beda warnanya. Angkot Kalapa-Ledeng dan Cicaheum-Ledeng sama-sama
berwarna hijau, maka pastikan baik-baik untuk membaca tulisan dikaca angkot
meskipun hujan sedang deras.
Kami menyeberang untuk menunggu angkot ke arah bawah,beberapa
angkot Cicaheum-Ledeng penuh penumpang, tapi tak begitu lama akhirnya ada
angkot yang menyisakan bangku basahnya untuk kami. Tentu saja harus melewati
“tragedi” terhuyung beberapa waktu saat saya berusaha mengeringkan bangku
dengan tissu. Hujan masih belum mau berhenti. Biarkan saja, itu berkah namanya.
Jalanan sekitas Jl.Ganesa macet, mungkin efek dari pengunjung
pasar seni juga, saya tak bisa memastikannya. Kami memutuskan turun dari angkot
untuk berjalan di trotoar hingga ke lokasi pesta seni. Tak begitu jauh,
dibandingkan harus terus kegerahan ditengah kemacetan.
Tiba di kampus ITB, tentu saja saya merasa “berbeda”. Bukan,
bukan karena saya termasuk golongan pendikotomi ilmu pengetahuan, kampus A
lebih bagus dari kampus B, jurusan A lebih baik dari jurusan B, sekali lagi
bukan. Tapi semata-mata perasaan sesak ini muncul karena nilai sejarah yang
telah diukir oleh kampus tua ini. Berapa banyak ilmuwan yang dihasilkannya,
berapa banyak riset yang bermanfaat buat banyak orang. Semata-mata hanya karena
sejarah yang panjang itu. Sejarah yang juga melibatkan Soekarno turut andil di
kampus ini. Sejarah, yang mengukirnya sebagai kampus vokasi pertama di
Indonesia. Sejarah memang menempati tempat tersendiri dihati saya.
Namanya juga pasar, penuh sesak, kami berusaha menembus
kerumunan untuk bisa melihat-lihat sekitar. Berpose diantara lalu-lalang orang.
Lalu menengadah mempelajari peta raksasa yang terpajang di sudut dekat kolam
yang tidak saya tau namanya. Kami memutuskan untuk langsung ke stan pameran produk.
Tentu saja bukan hanya sekedar dipamerkan, barang-barang kerajinan handmade
tersebut juga dijual dengan kisaran harga yang membuat saya harus beranjak dari
stan satu ke stan lain tanpa membeli apa-apa. Kantong mahasiswa saya
benar-benar miris teriris. **sakitnya itu dimana-mana. :P
Hanya mengumpulkan photo dan kartu nama, itu yang kami lakukan
sepanjang mengitari stan dari utara ke selatan kemudian menyebrang mulai lagi
dari selatan ke utara. Aih,,apalah namanya jika kami hanya mengitarinya dengan gigit
jari saja,,hahhaha. Hingga akhirnya lelah, kami beranjak ke stan makanan, lalu
tiba-tiba tercengang dengan harga kebab yang bikin kesal dan blingsatan.
Hahahaha. Sungguh suatu ujian keikhlasan ditengah kecapek-an dan hujan.
Sempurna.
Lalu kembali ke denah raksasa lagi, memikirkan kemana kami akan
melangkah selanjutnya. Diputuskan kami akan ke stan seniman dan lanjut ke stan
komunitas. Kabarnya di pasar seni ini ada 370 stan yang dipamerkan.
Melibatkan lebih dari 50 seniman dan 5
galeri serta berbagai wahana. Cerita tentang wahana, kami melewatkan Museum
satu dan Semestarium ketika melihat antrian yang mengular dan
ularnya sedang kekenyangan. Panjang dan bergerak lamban.
Di stan seniman tersebut, karya seniman-seniman besar terpampang
disana. Maestro-maestro lukisan memamerkan keahlian mereka. Sungguh sebuah
adikarya yang melampaui batas imajinasi dangkal saya. Membuat saya bergumam,saya
tak ada apa-apanya, kawan.
Saya melakukan hal ceroboh dengan bersandar pada lukisan ketika
berphoto pada salah satu lukisan seharga $250.000. tentu saja saya langsung
dihadang sama sang penjaga lukisan. Saya pasti sedang kerasukan waktu itu,
mohon maafkan dan maklumkan kebodohan saya. Ayo kita lupakan saja tragedi
memalukan itu. :p
Hujan lagi-lagi turun, seolah sedang memberkati dan “malimaukan”
karya-karya seni ini. Kami berlari kesamping gedung tua, hitam, kokoh, mistis,
dan sudah pasti saya tak tahu namanya. Yang penting bisa berteduh sambil
selonjoran di lantainya. Memotret Fou dengan beberapa pose kerennya. Lalu kami
melanjutkan menyisiri stan komunitas. Terpaku sejenak pada stan wayangart
mahasiswa UPI, memotret sambil ngakak di stan film-film jadul yang tayang
sebelum saya lahir, bernostalgia pada kartu pos disebuah stan unik, dilanjutkan
sok jadi reporter ketika mewawancarai seorang seniman robot dan anime yang
membuat berbagai tokoh tersebut dari kertas. Sungguh hasil karya yang
menakjubkan. Bla bla bra..aih..akhirnya “malala” ini pun selesai.
Waktunya pulang dan mengenang. Sampai ketemu di
pasar seni berikutnya. Empat tahun mendatang. Bye....bye... :)
No comments:
Post a Comment