Pasar Seni ITB 2014

(Tulisan ini saya tulis November lalu setelah acara pasar seni ITB, tapi baru sempat posting sekarang, yaaa,,seperti postingan lainnya di blog ini, saya menulisnya beberapa waktu lalu, saat amnesia, kalau saya ternyata punya blog)

Hujan mulai merintik saat saya mengunci pintu kosan menuju jalanan komplek perumahan yang langsung menikung untuk berakhir pada sebuah gang kecil dekat Universitas Pasundan.”Track” ini sengaja kami –saya dan Fou- sepakati untuk mepersingkat waktu menuju jalan raya menunggu angkot Cicaheum-Ledeng. Baru beberapa langkah berjalan, hujan mengguyur deras seolah air yang terbendung diatas terpal plastik yang tiba-tiba dihembus angin kencang dan akhirnya tumpah ruah ke jalanan. Memaksa saya buru-buru mengembangkan payung hijau yang tentu saja agak lamban terbuka karna beberapa jahitan kasaunya lepas dan belum sempat saya jahit ulang. Payung ini sudah banyak berjasa menemani hari-hari saya sejak awal kuliah s1, hujan atau pun panas, Padang butuh payung untuk melewati jalanannya.

Sedikit lagi menuju ujung gang, hujan masih saja beradu deras dengan langkah panjang kami. Tak mau “dandanan”nya berantakan, Fou mengembangkan payungnya juga. Jadilahlah kami dua sahabat dengan payungnya masing-masing. Saya dengan payung hijau tua, Fou dengan payung hitam Boyish-nya. Kaki yang sudah berlumpur kita lupakan saja, karena ujung gang sudah di depan mata. Tiba dijalan raya, belum ada angkot yang mau kami tumpangi. Tentu saja harus pilih-pilih angkot, semua orang tau itu, beda tujuan pasti beda angkotnya. Tapi bukan berarti beda warnanya. Angkot Kalapa-Ledeng dan Cicaheum-Ledeng sama-sama berwarna hijau, maka pastikan baik-baik untuk membaca tulisan dikaca angkot meskipun hujan sedang deras.
Kami menyeberang untuk menunggu angkot ke arah bawah,beberapa angkot Cicaheum-Ledeng penuh penumpang, tapi tak begitu lama akhirnya ada angkot yang menyisakan bangku basahnya untuk kami. Tentu saja harus melewati “tragedi” terhuyung beberapa waktu saat saya berusaha mengeringkan bangku dengan tissu. Hujan masih belum mau berhenti. Biarkan saja, itu berkah namanya.
Jalanan sekitas Jl.Ganesa macet, mungkin efek dari pengunjung pasar seni juga, saya tak bisa memastikannya. Kami memutuskan turun dari angkot untuk berjalan di trotoar hingga ke lokasi pesta seni. Tak begitu jauh, dibandingkan harus terus kegerahan ditengah kemacetan.
Tiba di kampus ITB, tentu saja saya merasa “berbeda”. Bukan, bukan karena saya termasuk golongan pendikotomi ilmu pengetahuan, kampus A lebih bagus dari kampus B, jurusan A lebih baik dari jurusan B, sekali lagi bukan. Tapi semata-mata perasaan sesak ini muncul karena nilai sejarah yang telah diukir oleh kampus tua ini. Berapa banyak ilmuwan yang dihasilkannya, berapa banyak riset yang bermanfaat buat banyak orang. Semata-mata hanya karena sejarah yang panjang itu. Sejarah yang juga melibatkan Soekarno turut andil di kampus ini. Sejarah, yang mengukirnya sebagai kampus vokasi pertama di Indonesia. Sejarah memang menempati tempat tersendiri dihati saya.
Namanya juga pasar, penuh sesak, kami berusaha menembus kerumunan untuk bisa melihat-lihat sekitar. Berpose diantara lalu-lalang orang. Lalu menengadah mempelajari peta raksasa yang terpajang di sudut dekat kolam yang tidak saya tau namanya. Kami memutuskan untuk langsung ke stan pameran produk. Tentu saja bukan hanya sekedar dipamerkan, barang-barang kerajinan handmade tersebut juga dijual dengan kisaran harga yang membuat saya harus beranjak dari stan satu ke stan lain tanpa membeli apa-apa. Kantong mahasiswa saya benar-benar miris teriris. **sakitnya itu dimana-mana. :P
Hanya mengumpulkan photo dan kartu nama, itu yang kami lakukan sepanjang mengitari stan dari utara ke selatan kemudian menyebrang mulai lagi dari selatan ke utara. Aih,,apalah namanya jika kami hanya mengitarinya dengan gigit jari saja,,hahhaha. Hingga akhirnya lelah, kami beranjak ke stan makanan, lalu tiba-tiba tercengang dengan harga kebab yang bikin kesal dan blingsatan. Hahahaha. Sungguh suatu ujian keikhlasan ditengah kecapek-an dan hujan. Sempurna.
Lalu kembali ke denah raksasa lagi, memikirkan kemana kami akan melangkah selanjutnya. Diputuskan kami akan ke stan seniman dan lanjut ke stan komunitas. Kabarnya di pasar seni ini ada 370 stan yang dipamerkan. Melibatkan  lebih dari 50 seniman dan 5 galeri serta berbagai wahana. Cerita tentang wahana, kami melewatkan Museum satu dan Semestarium ketika melihat antrian yang mengular dan ularnya sedang kekenyangan. Panjang dan bergerak lamban.
Di stan seniman tersebut, karya seniman-seniman besar terpampang disana. Maestro-maestro lukisan memamerkan keahlian mereka. Sungguh sebuah adikarya yang melampaui batas imajinasi dangkal saya. Membuat saya bergumam,saya tak ada apa-apanya, kawan.
Saya melakukan hal ceroboh dengan bersandar pada lukisan ketika berphoto pada salah satu lukisan seharga $250.000. tentu saja saya langsung dihadang sama sang penjaga lukisan. Saya pasti sedang kerasukan waktu itu, mohon maafkan dan maklumkan kebodohan saya. Ayo kita lupakan saja tragedi memalukan itu. :p
Hujan lagi-lagi turun, seolah sedang memberkati dan “malimaukan” karya-karya seni ini. Kami berlari kesamping gedung tua, hitam, kokoh, mistis, dan sudah pasti saya tak tahu namanya. Yang penting bisa berteduh sambil selonjoran di lantainya. Memotret Fou dengan beberapa pose kerennya. Lalu kami melanjutkan menyisiri stan komunitas. Terpaku sejenak pada stan wayangart mahasiswa UPI, memotret sambil ngakak di stan film-film jadul yang tayang sebelum saya lahir, bernostalgia pada kartu pos disebuah stan unik, dilanjutkan sok jadi reporter ketika mewawancarai seorang seniman robot dan anime yang membuat berbagai tokoh tersebut dari kertas. Sungguh hasil karya yang menakjubkan. Bla bla bra..aih..akhirnya “malala” ini pun selesai. Waktunya pulang dan mengenang. Sampai ketemu di pasar seni berikutnya. Empat tahun mendatang. Bye....bye... :)

No comments:

Post a Comment

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

  Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwa...