SEBUAH KADO PERJALANAN (PART 1 : Kami menyebutnya "Perjalanan Bermakna")

“Apa yang bisa kita ingat dari sebuah perjalanan dan seberapa lama kita bisa mengingat sebuah kenangan?”
......................................................................................
Tanda tanya ini terus menggelitik saya untuk bersegera menuliskan apa yang masih saya ingat agar kelak saya tak menyesal ketika sudah mulai lupa, meski tak bermaksud melupakan.
Ini perjalanan penting, setidaknya saya harus menyebutnya begitu. Perjalanan yang kami lakukan, “kami” ya kami. Saya dan Uda sudah sah untuk bersama memulai pelayaran kami. Komitmen dan janji bersama untuk menantang badai. Ah, setidaknya hingga tulisan ini dibuat, kami masih di sekitaran pantai, angin masih sepoi-sepoi. Kami memulainya dari Bandara Internasional Minangkabau. Bandara kebanggaan Ranah Minang itu menjadi sebuah saksi perjalanan awal.  Citilink dengan kode penerbangan QG 973, jam 09:25, Padang-Jakarta, seat 23 C dan 23 D. Yap, kami bersebelahan setidaknya begitu yang bisa saya gambarkan. Uda bisa memotret saya dan saya memotretnya pula.  Burung besi itu mengucapkan selamat berpisah pada kami di Bandara Soekarno-Hatta. Nama yang waktu awal SD saya kira hanya nama satu orang saja.
Di Soeta, kami mencari travel ke Bandung, ya kami harus “mancigok” dulu kontrakan saya yang sudah satu semester terabaikan, sekaligus menaruh barang-barang bawaan kami. Backpack Uda, koper, tas kamera, tas hp, kardus oleh-oleh dan tas tangan saya. Di Bandung kami tiba sore. Dari travel Cipaganti kami turun di Pasteur, naik taksi Gemah ripah menuju kontrakan, begitulah hingga kami bisa merebahkan badan pada akhirnya di Bumi Pasundan ini lagi.
Esoknya setelah sarapan kami membeli tiket kereta api di sebuah Mini market.  Kereta api Lodaya Malam No. 82 kelas Bisnis, kursi 14 A-14B. Sabtu, 22 Agustus 2015 pukul 18:55 WIB. Ini pengalaman pertama kami naik kereta di tanah jawa. Uda bahkan menjadikan ini sebagai pengalaman pertamanya naik kereta. Kami tiba di Jogja Minggu  pukul 3. Pagi, tentu saja. Menunggu sebentar di stasiun untuk kemudian disambut double Roland di parkiran. Ya, ada adik sekampung uda yang kuliah disana, Roland namanya. Dia membawa temannya asal Bengkulu bernama Roland pula. Ah suatu kebetulan yang sangat keterlaluan. J
Sebuah hotel yang kami tanyai di dekat stasiun mengaku full booked, harus menunggu jam 12 siang nanti untuk bisa kami booking kembali. Ya, kami bukan turis manca negara di sini. Ada teman, ada abang, ada adik dan tentu saja ada internet di sini. Apa yang patut kami risaukan? Tak beroleh hotel tak jadi masalah, kami dengan menenteng koper besar berboncengan menuju kosan Roland di sekitaran UNY. Kami istirahat dan double Roland menawarkan diri mencarikan hotel untuk siang nanti. Hotel Pules dengan kamar balkon di Jl. Mataram di balik Jl. Malioboro, kami akhirnya menghirup lega udara Jogja.
Apa yang terpikir oleh kalian tentang Jogja? Ah, ini bukanlah suatu pertanyaan konyol pada sebuah kaus dagadu gadungan. Tapi ini adalah apa yang Jogja tanyakan pada kami saat menyeruput Mie Sedap Cup di balkon kamar. Jauh-jauh ke Jogja, kita hanya makan mie instan, saya dan uda menertawakan awan? Kok awan? Ya siapa lagi? Kami tak mau menertawakan diri kami,,hahaha.
Agak sore, ada telpon dari resepsionis, ada tamu untuk Uda. Namanya Doni, teman Uda. Laki-laki dengan rambut ikal gondrong sepunggung -dihari berikutnya menanyakan pada saya sampo apa yang membuat rambut tidak rontok-, kaos putih oblong, celana jeans, sepatu converse dan tas punggung dengan syal batik yang sudah 4 tahun tak dicuci-begitu ceritanya pada kami.
Doni memandu kami jalan-jalan. Kita kemana, tanyanya. Tentu saja ke Malioboro. Tempat wisata dengan pencarian teratas tentang Jogja. 

Sebuah jalan dengan lalu lalang orang dan kendaraan, pedagang kaki lima di sepanjang jalan. Tulisan Malioboro dengan huruf sansakerta, tukang becak yang menawarkan jasa, toko batik di sebelah kanan jalan, pustaka Jogja, pedagang kaos oblong dan turis manca negara. 
Jl. Sepanjang 300 meter itu mengarah lurus hingga ke titik nol, alun-alun dan keraton Jogja. Garis imaginer ke arah utara hingga gunung merapi diujung sana. Tentang garis imaginer ini dimulai dari pantai parang kusumo, panggung Krapyak, Tugu, keraton hingga merapi. Jika garis lurus ini bertemu maka ada sebuah makna yang terkandung di dalamnya, yaitu berawal dari Merapi sebagai gunung api, dan berakhir di Parangkusumo sebagai laut. Air dan Api, sebuah makna filosofis yang tak hanya sebuah garis khayal, namun juga simbolisasi keharmonisan elemen alam, Air dan Api, Yin dan Yang yang terwujud dalam kearifan lokal masyarakat Jogja.
Lalu, Apa yang kami lakukan di Malioboro? Pertanyaan itu sepertinya hanya butuh jawaban dua kata saja. Makan dan Memotret. 

Kami memulai langkah dengan makan di sebuah warung pinggir jalan dengan menu nasi goreng, burung dara bakar dan goreng plus es teh. Meski cukup aneh melihat sajian burung dara lengkap dengan kepalanya di atas piring, tapi hidangan itu sukses kami habiskan.  

Lalu memotret, ya kami memotret jalan, memotret diri sendiri, memotret pejalan kaki, memotret tukang becak, memotret ibu-ibu pedagang  bakso bakar, memotret museum yang sudah tutup, bahkan memotret patung Scrat (tupai) dalam film serial Ice Age dengan buah pohon ek kesayangannya. Saya tidak bisa menyingkronkan apa hubungan Ice Age dengan Jogja. Doni juga menggelengkan kepala.
 Hampir senja, kami memutuskan untuk kembali ke hotel. Mempersiapkan diri untuk tour selanjutnya. FKY, festival kesenian Yogyakarta di Taman Kuliner Condongcatur. FKY adalah bonus, bonus riuh dan riangnya sebuah perjalanan, dan bonus selanjutnya buat saya adalah bertemu mak Indah Harwanti, Director saya di Oriflame Indonesia. 

Kami janjian ketemu di Waroeng Ayam Kampung (Warung Akam) di seberang jembatan dekat gerbang FKY. Ada orderan yang saya titip pada mak Indah dan kami juga belum pernah bertatap muka langsung, maka kemudian selepas dari hotel, Doni mengantar saya duluan ke Condongcatur, saya menunggu mak Indah dengan segelas jus, namun sampai Uda dan Doni ikut bergabung, mak Indah belum juga datang, hingga beberapa waktu kemudian, saya melihat gadis kecil Nayla (anak Mak Indah) celigukan mencari saya. Haaaa,,saya histeris akhirnya bertemu ibu peri kami, director yang baik hati. Kami memesan makanan dan ngobrol apa saja, seperti melepas rindu, padahal kami tak pernah bertemu.
Sudah 20:30 WIB, kami harus menuju panggung sastra di utara komplek FKY. Ada pembacaan cerpen dari Indrian Koto, Naomi Srikandi dan beberapa seniman di sana.
 Ngomong-ngomong tentang Bang Koto, beliau adalah Bos Toko buku online Jual Buku Sastra (JBS) di sana. Owner JBS sekaligus abang kandungnya Doni. Apa yang paling membahagiakan selain bertemu handai taulan di rantau orang? Ya, begitulah, kami disambut dengan hangat oleh Bang Koto, Mbak Salma dan Nak Gadih Rinai yang sudah terlelap di pangkuan mamanya. Malam melarut, selesai menyaksikan penampilan terbaik putri sastrawan W.S Rendra tersebut, kami merapat ke dekat stan JBS di belakang tempat lesehan penonton. Dan Uda pun kemudian menyadarkan saya, ada Joko Pinurbo di samping kami. Tentu saja saya harus berfoto dengannya, Uda juga. “Kau menanamku pada sungaimu dan aku tumbuh menjadi arus yang menyimpan mimpimu”, siapa yang tak kenal sajaknya itu.

Tepat pukul 22.00 acara selesai. Benar-benar acara yang tepat waktu. Saya dan Uda bahkan takjub, sampai-sampai kami bertanya, di Indonesiakah kita? Hehe. Kami kembali diantar ke penginapan oleh Doni dan mba’ Ira, kali ini dengan bekal sebuah motor matic yang bisa kami gunakan untuk “malala” esok harinya.
Prambanan, menjadi destinasi utama kami di hari kedua. Dipandu GPS, kami akhirnya sampai di parkiran Candi. Berjalan ke loket tiket kami ditawarkan paket wisata Prambanan-Ratu Boko HTM 50K  dengan fasilitas obyek Candi Prambanan, Obyek Candi Ratu Boko plus gratis transportasi. Kami setuju, dan sebelum menginjakkan kaki di Prambanan, kami dibawa sebuah mini bus elf menuju kaki tangga candi Ratu Boko, sekitar 3 kilometer sebelah selatan Prambanan.

Konon katanya, tempat tersebut bukanlah candi, tapi sebuah Istana kerajaan Medang (Mataram Hindu). Diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran). Nama "Ratu Boko" berasal dari legenda masyarakat setempat. Bahasa Jawa yang arti harafiahnya "Raja bangau". Ayah dari Roro Jonggrang.
Menurut situs Wikipedia Luas keseluruhan kompleks adalah sekitar 25 ha. Dilihat dari pola peletakan sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana raja). Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks ini bukan candi atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan. Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini. Tapi kenapa sekarang disebut Candi? Sudah buramkah pengkajian sejarah di negeri ini?

Usai mengitari Istana Ratu Boko, kami kembali ke Candi Prambanan. Disebuah spot yang disediakan untuk berfoto, kami bertemu bule yang minta tolong untuk difoto dengan pasangannya. Dan merekapun menawarkan diri untuk memotret saya dan Uda. Foto resmi pertama kami di Candi Prambanan ini.
Matahari sedang menyeringai di atas kepala. Candi yang konon katanya didirikan dengan siasat licik seorang wanita bernama Roro Jonggrang ini berada kurang lebih 30 kilo meter sebelah timur laut kota Jojga. Ketinggiannya mencapai 47 meter. Ditetapkan sebagai cagar budaya abad ke-9 oleh UNESCO. Kami berkeliling, mengabadikan dan kemudian melarikan diri ke sebuah rumah makan Padang. Perut harus segera bersua nasi. Berdamai dengan jam biologis kami.
Usai makan, kami langsung pulang ke penginapan. Lelah menghantam kami. Dan kami harus kembali mempersiapkan diri untuk menonton FKY lagi malam nanti. Uda harus bertemu Puthut EA katanya. J  Malamnya kami melawat ke Tugu. Icon kota Jogja ini akan lebih indah untuk dikunjungi malam hari. 
Photografy menantang maut, ungkapan itu sangat tepat untuk menggambarkan tempat ini. Mengambil foto sambil memperhatikan Traffic light. Lengah sedikit maka bersiaplah ditabrak mobil atau motor dengan pengendara yang tak mengerti apa arti kata ngebut. Bagi mereka kecepatan 80 km/jam adalah hal yang biasa saja. Sungguh kota yang tergesa-gesa.
Saya tak bisa menyembungikan perut yang berontak. Suara kruk-kruknya sangat tak tau malu untuk menggiring saya ke sebuah angkringan di kiri Tugu.  Angkringan Lik Man namanya. Uda memotret sendiri, saya makan sambil menunggu Zakky, adik junior Uda di klub basket dan panitia buku tahunan SMA yang dikelola Uda. Zakky baru semester satu di jurusan komunikasi UGM, baru beberapa bulan di Jogja. Pas Zakky datang, kami mengajaknya ke House of  Raminten
Sebuah restoran dengan atmosfer Jawa yang sangat kental. Alunan musik gending Jawa berpadu dengan bau mawar dan dupa menjadi ciri khas tempat makan yang cukup unik di tengah Kota Jogja ini. Memasuki bagian depan restoran yang terletak di Jalan FM Noto No. 7, Kota Baru ini, kami tidak langsung berhadapan dengan ruangan yang dipadati meja makan. Tapi justru ruang tunggu dengan deretan kursi , dua buah kereta kuno ala Kesultanan Mataram dan beberapa foto sang pemilik restoran. Aksi tak biasa rumah makan ini juga terlihat dari beberapa tulisan di area ruang tunggu. Papan peringatan untuk para tamu misalnya. Tertulis: Mohon perhatian! “Barang” anda (handphone, dompet, sisir, kaca mata, jaket, tas, topi, gergaji, setrika, dll) supaya jangan sampai ketinggalan.
Raminten tampaknya tak ingin para tamunya antri menunggu dengan perasaan bosan. Pelayan restoran juga tak kalah unik. Para pelayan perempuan dengan pakaian kemben dan jarit batik. Pelayan laki-laki mengenakan kaos putih, rompi hitam dan kain batik. Mereka juga saling berkomunikasi menggunakan walkie talkie.
Kami harus antri di bangku yang sudah disediakan, menuggu giliran dengan nomor antrian delapan. Rata-rata menu yang disediakan oleh House of Raminten adalah menu-menu masakan Jawa. Saya memesan nasi liwet, es teh dan ayam koteka. Ayam Koteka, namanya memang nyentrik, mengingatkan kita dengan pakaian adat khas suku di Papua. Menu ini berbahan dasar cacahan ayam yang dicampur dengan telur, kemudian dimasak dan disajikan pada sebilah bambu, sekilas bentuknya mirip-mirip seperti koteka. Menu ayam koteka ini memiliki rasa yang cukup gurih sehingga pas dijadikan sebagai lauk tambahan untuk menemani menu nasi yang telah dipesan. Sangat elegan,,hehehe. Uda dengan Nasi liwet juga plus sate ayam dan lemon tea hangat, Zakki dengan kupat tahu dan es dawet. Serta es krim bakar yang disajikan kemudian membuat kami siap untuk mengitari Jogja kembali.
Usai makan, kami langsung ke lokasi FKY di Condongcatur. Saya bertemu adik, junior di HMI asal Maluku di sana, Dilo namanya. Sengaja ketemu karena ini kali pertama saya ke Jogja. Usai FKY, kami kembali ke hotel, janjian dengan Doni untuk ke Borobudur esok hari.
Dan bangunlah kami pagi-pagi. Saat Jogja mulai mengeliat. Deretan toko sepatu di seberang hotel belum dibuka satupun. Mereka mungkin sedang pulas, berdamai dengan kantuk, agar tak datang dipenghujung sore hingga pertengahan malam. Kami sengaja tak memesan menu breakfas hotel, agar bisa berjalan menyusuri trotoar dan memesan semangkuk soto serta sepiring nasi rames pada ibu-ibu pedagang kaki lima diujung sana. Sangat sederhana dan sangat Jogja, tapi setidaknya kami mencicipi kepingan kota ini disini, hangat dan ramah.
Kami mengemas semua pakaian dan menitipkannya di resepsionis ketika check out. Saat  itu Doni dan Teguh sudah tiba di depan hotel dengan secangkir kopi di samping mereka. Masih hangat dan sangat “mengganggu” Uda dengan aromanya. Sama-sama pecinta kopi membuat kami tahu betapa melegakannya secangkir genangan hitam itu dikala pagi. Hangat dan menggembirakan.
Tujuan hari ini adalah Keraton dan alun-alun.
Dan perjalanan pun dimulai kembali setelah menyerahkan gelas kopi pada Bapak penjualnya. Kami menuju Istana sang Sultan.
Sudah siang dan matahari sudah semakin tinggi saat kami berkeliling dan menikmati udara istana. Tak banyak yang kami lakukan di sana, selain menikmati suasana, memotret beberapa sudur keraton, berfoto dengan abdi dalem dan menikmati gamelan di pendopo. Saya mencuri dengar dari tour guide rombongan wisatawan di sebelah saya, bahwa sebuah pohon besar di depan saya usianya sekitar 300 tahun.

Kami juga mengunjungi museum kereta kencana kerajaan dan galeri tempat dipajangnya foto-foto para sultan. Istana yang damai dan rindang, membuat kami betah berlama-lama di sana. Kami juga sempat “mancigok” ke pabrik batik hingga ke toko penjualannya. 

Menjelang sore kami menghabiskan waktu di Taman sari. Istana Air Tempat Permaisuri dan Putri Raja Mandi. Bangunan kuno ini memiliki arsitektur yang indah perpaduan budaya Eropa, Hindu, Jawa, dan Cina lengkap dengan ruangan dan lorong-lorong rahasia yang menyimpan banyak kisah.
Istana Air Taman Sari terletak di kompleks Njeron Beteng, tak jauh dari Keraton Yogyakarta. Dari Malioboro tempat ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik becak. Lokasinya yang tersebunyi di kompleks perkampungan warga, sehingga sering menjadikan wisatawan sedikit bingung saat ingin mengunjungi Taman Sari. Padahal tempat ini sangat mudah dicapai. Kami dan uda juga sempat kebingungan,  dan melototin GPS yang membuat kami berputar-putar beberapa kali.

Ada dua cara untuk sampai ke tempat ini. Yang pertama adalah melewati Pasar dan Plaza Ngasem. Silahkan masuk dan temukan gang KP III. Dari gang tersebut belok kiri dan jalan kaki sekitar 200 m. Pulo Kenongo sudah menyambut. Sedangkan jika ingin masuk memalui gerbang utama, dari Pasar Ngasem naik becak ke arah Alun-alun Selatan. Kurang lebih 0,5 km akan bertemu dengan Jl. Tamansari.
Hampir menjelang magrib, kami sampai di Rumah Bang Koto. Saya beristirahat, sementara uda dan doni kemudiaan balik ke Hotel mengambil barang yang kami titipkan.
Malamnya, kami ditraktir makan bakmi oleh mbak Sukma, istri bang koto. Jogja adalah negeri asal bakmi, dan saya ingin mencicipi kuliner ini di tempat asalnya. Dan lidah padang saya, ternyata sangat menikmatinya. Usai makan, kami rame-rame pergi nonton teater. Meski agak telat, tapi kami, khususnya saya pulang dengan dada yang sesak. Saya terpukau, saya tersihir, dan saya seperti menemukan apa yang saya cari dikerumunan kota ini.

Kami kembali ke JBS untuk menyiapkan energy untuk keesokan harinya. Esok kami akan mengunjungi sebuah Keajaiban, Borobudur.
Jarak kurang lebih satu jam perjalanan kami tempuh dengan kecepatan yang tak biasa. Uda tak pernah mengendarai motor seperti itu kalau di Padang. Tapi di sini, kami harus mengikuti alur laju kendaraan, tak ada yang tahu angka 40 atau 60 di sini, mereka hanya hafal, bahwa speedometer motor mereka hanya punya angka 80 hingga 200, batas kecepatan minimal dan maksimal menurut mereka. Kamipun was-was kalau sudah begini. Hanya berhenti disebuah SPBU dan kemudian melanjutkan perjalanan, kami akhirnya berlabuh disebuah resto sarapan. Perut harus diisi kembali :D
Bertiga mereka sepakat memesan nasi goreng, dan saya yang sudah makan nasi sebelumnya memesan bakmi jawa plus sambal dan ayam goreng tentunya. Doni dan Uda dengan kopi lagi, saya dan Teguh dengan teh hangat kami. Sarapanpun kami sudahi dan lanjut membelok pada sebuah persimpangan menuju kebun tembakau, tempat yang sangat ingin Uda datangi. 
Kami “memergoki” ibu-ibu sedang mematahkan tangkai-tangkai daun tembakau di sebuah area kebun. “hanya satu atau dua helai daun yang bisa dipetik setiap harinya dari sebatang pohon tembakau dan harus melakukannya denga hati-hati agar tak merusak pohon”, ibu-ibu itu menjelaskan pada kami sambil mempraktekkan cara melepas daun itu dari batangnya. Kalian darimana? Ibu yang lain bertanya. Padang, jawab kami bersamaan. Wah, sangat jauh dari sini. Apa yang kalian cari di sebuah kebun tembakau yang jauhnya  beribu kilometer jaraknya dari rumah kalian. Mungkin itu maksud dari anggukan ibu-ibu tersebut setelah menanyai kami.

Uda menekan tombol shutter kameranya sesering mungkin, seolah tak ada jalan lagi buat kami kembali ke sini. Dia kalap melihat hamparan hijau kebun tembakau yang sangat luas dan kuningnya tembakau yang sedang dijemur warga. Sebagian terlihat sudah ada yang coklat. Los-los wadah penjemuran tembakau tersebut berjejer sepanjang jalan, mengawal kami hingga kembali berbelok menuju Candi. Sampai bertemu lagi. Raja komoditi.
Kami memarkir kendaraan tidak jauh dari gerbang C. Disambut para penjaja souvenir, rental payung dan puluhan penjual topi yang menawarkan kami membeli salah satunya. Tentu saja hanya satu, sebagai satu-satunya perempuan dalam rombongan kecil ini, hanya saya yang mengenakan topi seperti putri, yang lainnya menyiapkan syal sekedar menutupi kepala di tengah teriknya matahari di atas sana. Atas??anggap saja begitu.
 Ada gerbang tempat memesan karcis masuk dengan card yang lucu tapi tak boleh kami bawa pulang. Dan ada penyewaan angkutan taman, sebuah kereta mini  dipojok sana yang siap mengangkut kami ke mulut candi dengan merogok kantong RP. 7.500/orang.
Tiba digerbang candi, kami diminta memakai batik khas Borobudur yang berwarna ungu tua dan putih, sangat indah dan kita akan dibantu petugasnya kalau kesulitan mengenakannya. Welcome to Borobudur.

Kami berjalan menanjak menuju candi, memasang beberapa pose selfie dan wefie. Ini pertama kali kami –saya dan Uda- disini, mengagumi sebuah keajaiban. Mengitari lekuknya dan mengabadikan beberapa sudut yang dipenuhi lalu lalang para wisatawan domestik maupun mancanegara. 
Meski telah dikeluarkan dari tujuh keajaiban dunia, Borobudur masih menjadi sebuah keajaiban dalam hidup kami. sampai di sinipun adalah suatu keajaiban bagi saya pribadi. Menapaki tanah jawa dan menatap salah satu kebanggaannya, sebuah keajaiban atas terwujudkan impian yang selalu saya tanamkan. Ya, sebuah keajaiban.

Setelah puas dan capek berkeliling ke beberapa sudut candi, kami akhirnya menyerah pada panas dan kaki yang pegal. Meski mengenakan sepatu kets, tetap saja kami harus berdamai dengan kaki yang tak sanggup lagi diajak kompromi. Istirahat dibawah pohon usai pintu keluar candi, dan kemudian berjalan kaki menuju jalan masuk kami tadi. Ternyata salah gerbang dan motor kami diparkir nuuun diujung sana, hingga sampai ditempat parkiran, tak satupun dari kami yang mau membuka suara, bicara akan menguras energi kami untuk berjalan menuju pelataran parkir yang jauh. Lebih baik diam, jika tidak, akan diam selama-lamanya,,hehehehe :D
Capek, haus dan lapar membuat kami memacu kendaraan dengan lebih kencang lagi, Rumah Makan Duta Minang melambai-lambaikan tangannya pada kami jauh di Jogja sana. Tak apalah, yang penting lapar ini bisa dituntaskan dengan sepiring nasi Padang berikut lauk khasnya. Jauh-jauh ke Jogja, restoran inilah yang pada akhirnya melunaskan hutang kami pada perut yang sering dicekoki dengan masakan “antahbarantah”. Lapar dan capekpun dibayar lunas. Usai makan, saya tepar di Markas JBS (Jual Buku Sastra).
Sore itu juga kami kembali ke Malioboro, menerobos kios pedagang batik di pasar Beringharjo. Belanja beberapa batik, kaos bejo dan berlabuh di Mirota batik, disambut batu dupa, karena pemiliknya sama dengan House of Raminten, maka suasananyapun tak jauh beda. Mirota Batik ada tiga lantai, katanya lantai tiga adalah kafe, tapi kami tak mampir di sana, saya membeli baju terusan warna toska dilantai dasar dan Uda kembali dengan souvenir topeng di tangannya dari lantai dua. Pasar Beringharjo dan Malioboro adalah surga belanja para pecinta batik dan souvenir. Usai sudah sesi belanja kami. Kami harus kembali ke JBS memilah buku dan merapikan barang-barang. Bersiap untuk perjalanan selanjutnya. Menuju Bromo. 

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

  Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwa...