“Apa yang bisa kita ingat dari
sebuah perjalanan dan seberapa lama kita bisa mengingat sebuah kenangan?”
......................................................................................
Tanda tanya ini terus
menggelitik saya untuk bersegera menuliskan apa yang masih saya ingat agar
kelak saya tak menyesal ketika sudah mulai lupa, meski tak bermaksud melupakan.
Ini perjalanan penting,
setidaknya saya harus menyebutnya begitu. Perjalanan yang kami lakukan, “kami”
ya kami. Saya dan Uda sudah sah untuk bersama memulai pelayaran kami. Komitmen
dan janji bersama untuk menantang badai. Ah, setidaknya hingga tulisan ini
dibuat, kami masih di sekitaran pantai, angin masih sepoi-sepoi. Kami
memulainya dari Bandara Internasional Minangkabau. Bandara kebanggaan Ranah
Minang itu menjadi sebuah saksi perjalanan awal. Citilink dengan kode penerbangan QG 973, jam
09:25, Padang-Jakarta, seat 23 C dan 23 D. Yap, kami bersebelahan setidaknya begitu yang bisa saya gambarkan. Uda bisa
memotret saya dan saya memotretnya pula.
Burung besi itu mengucapkan selamat berpisah pada kami di Bandara
Soekarno-Hatta. Nama yang waktu awal SD saya kira hanya nama satu orang saja.
Di Soeta, kami mencari travel
ke Bandung, ya kami harus “mancigok” dulu kontrakan saya yang sudah satu
semester terabaikan, sekaligus menaruh barang-barang bawaan kami. Backpack Uda,
koper, tas kamera, tas hp, kardus oleh-oleh dan tas tangan saya. Di Bandung
kami tiba sore. Dari travel Cipaganti kami turun di Pasteur, naik taksi Gemah
ripah menuju kontrakan, begitulah hingga kami bisa merebahkan badan pada
akhirnya di Bumi Pasundan ini lagi.
Esoknya setelah sarapan kami
membeli tiket kereta api di sebuah Mini market. Kereta api Lodaya Malam No. 82 kelas Bisnis,
kursi 14 A-14B. Sabtu, 22 Agustus 2015 pukul 18:55 WIB. Ini pengalaman pertama
kami naik kereta di tanah jawa. Uda bahkan menjadikan ini sebagai pengalaman pertamanya
naik kereta. Kami tiba di Jogja Minggu
pukul 3. Pagi, tentu saja. Menunggu sebentar di stasiun untuk kemudian
disambut double Roland di parkiran. Ya, ada adik sekampung uda yang kuliah
disana, Roland namanya. Dia membawa temannya asal Bengkulu bernama Roland pula.
Ah suatu kebetulan yang sangat keterlaluan. J
Sebuah hotel yang kami tanyai
di dekat stasiun mengaku full booked, harus menunggu jam 12 siang nanti untuk
bisa kami booking kembali. Ya, kami bukan turis manca negara di sini. Ada
teman, ada abang, ada adik dan tentu saja ada internet di sini. Apa yang patut
kami risaukan? Tak beroleh hotel tak jadi masalah, kami dengan menenteng koper
besar berboncengan menuju kosan Roland di sekitaran UNY. Kami istirahat dan
double Roland menawarkan diri mencarikan hotel untuk siang nanti. Hotel Pules
dengan kamar balkon di Jl. Mataram di balik Jl. Malioboro, kami akhirnya
menghirup lega udara Jogja.
Apa yang terpikir oleh kalian
tentang Jogja? Ah, ini bukanlah suatu pertanyaan konyol pada sebuah kaus dagadu
gadungan. Tapi ini adalah apa yang Jogja tanyakan pada kami saat menyeruput Mie
Sedap Cup di balkon kamar. Jauh-jauh ke Jogja, kita hanya makan mie instan, saya
dan uda menertawakan awan? Kok awan? Ya siapa lagi? Kami tak mau menertawakan
diri kami,,hahaha.
Agak sore, ada telpon dari
resepsionis, ada tamu untuk Uda. Namanya Doni, teman Uda. Laki-laki dengan
rambut ikal gondrong sepunggung -dihari berikutnya menanyakan pada saya sampo
apa yang membuat rambut tidak rontok-, kaos putih oblong, celana jeans, sepatu
converse dan tas punggung dengan syal batik yang sudah 4 tahun tak
dicuci-begitu ceritanya pada kami.
Doni memandu kami jalan-jalan.
Kita kemana, tanyanya. Tentu saja ke Malioboro. Tempat wisata dengan pencarian
teratas tentang Jogja.
Sebuah jalan dengan lalu lalang orang dan kendaraan,
pedagang kaki lima di sepanjang jalan. Tulisan Malioboro dengan huruf
sansakerta, tukang becak yang menawarkan jasa, toko batik di sebelah kanan
jalan, pustaka Jogja, pedagang kaos oblong dan turis manca negara.
Jl.
Sepanjang 300 meter itu mengarah lurus hingga ke titik nol, alun-alun dan
keraton Jogja. Garis imaginer ke arah utara hingga gunung merapi diujung sana.
Tentang garis imaginer ini dimulai dari pantai parang kusumo, panggung Krapyak,
Tugu, keraton hingga merapi. Jika garis lurus ini bertemu maka ada sebuah makna
yang terkandung di dalamnya, yaitu berawal dari Merapi sebagai gunung api, dan
berakhir di Parangkusumo sebagai laut. Air dan Api, sebuah makna filosofis yang
tak hanya sebuah garis khayal, namun juga simbolisasi keharmonisan elemen alam,
Air dan Api, Yin dan Yang yang terwujud dalam kearifan lokal masyarakat Jogja.
Lalu, Apa yang kami lakukan di
Malioboro? Pertanyaan itu sepertinya hanya butuh jawaban dua kata saja. Makan
dan Memotret.
Kami memulai langkah dengan makan di sebuah warung pinggir jalan
dengan menu nasi goreng, burung dara bakar dan goreng plus es teh. Meski cukup
aneh melihat sajian burung dara lengkap dengan kepalanya di atas piring, tapi
hidangan itu sukses kami habiskan.
Lalu
memotret, ya kami memotret jalan, memotret diri sendiri, memotret pejalan kaki,
memotret tukang becak, memotret ibu-ibu pedagang bakso bakar, memotret museum yang sudah
tutup, bahkan memotret patung Scrat (tupai) dalam film serial Ice Age dengan
buah pohon ek kesayangannya. Saya tidak bisa menyingkronkan apa hubungan Ice
Age dengan Jogja. Doni juga menggelengkan kepala.
Hampir senja, kami memutuskan
untuk kembali ke hotel. Mempersiapkan diri untuk tour selanjutnya. FKY,
festival kesenian Yogyakarta di Taman Kuliner Condongcatur. FKY adalah bonus,
bonus riuh dan riangnya sebuah perjalanan, dan bonus selanjutnya buat saya
adalah bertemu mak Indah Harwanti, Director saya di Oriflame Indonesia.
Kami
janjian ketemu di Waroeng Ayam Kampung (Warung Akam) di seberang jembatan dekat
gerbang FKY. Ada orderan yang saya titip pada mak Indah dan kami juga belum
pernah bertatap muka langsung, maka kemudian selepas dari hotel, Doni mengantar
saya duluan ke Condongcatur, saya menunggu mak Indah dengan segelas jus, namun
sampai Uda dan Doni ikut bergabung, mak Indah belum juga datang, hingga
beberapa waktu kemudian, saya melihat gadis kecil Nayla (anak Mak Indah)
celigukan mencari saya. Haaaa,,saya histeris akhirnya bertemu ibu peri kami,
director yang baik hati. Kami memesan makanan dan ngobrol apa saja, seperti
melepas rindu, padahal kami tak pernah bertemu.
Sudah 20:30 WIB, kami harus
menuju panggung sastra di utara komplek FKY. Ada pembacaan cerpen dari Indrian
Koto, Naomi Srikandi dan beberapa seniman di sana.
Ngomong-ngomong tentang Bang
Koto, beliau adalah Bos Toko buku online Jual Buku Sastra (JBS) di sana.
Owner JBS sekaligus abang kandungnya Doni. Apa yang paling membahagiakan selain
bertemu handai taulan di rantau orang? Ya, begitulah, kami disambut dengan
hangat oleh Bang Koto, Mbak Salma dan Nak Gadih Rinai yang sudah terlelap di
pangkuan mamanya. Malam melarut, selesai menyaksikan penampilan terbaik putri
sastrawan W.S Rendra tersebut, kami merapat ke dekat stan JBS di belakang
tempat lesehan penonton. Dan Uda pun kemudian menyadarkan saya, ada Joko
Pinurbo di samping kami. Tentu saja saya harus berfoto dengannya, Uda juga. “Kau
menanamku pada sungaimu dan aku tumbuh menjadi arus yang menyimpan mimpimu”,
siapa yang tak kenal sajaknya itu. ☺
Tepat pukul 22.00 acara
selesai. Benar-benar acara yang tepat waktu. Saya dan Uda bahkan takjub,
sampai-sampai kami bertanya, di Indonesiakah kita? Hehe. Kami kembali diantar
ke penginapan oleh Doni dan mba’ Ira, kali ini dengan bekal sebuah motor matic
yang bisa kami gunakan untuk “malala” esok harinya.
Prambanan, menjadi destinasi
utama kami di hari kedua. Dipandu GPS, kami akhirnya sampai di parkiran Candi.
Berjalan ke loket tiket kami ditawarkan paket wisata Prambanan-Ratu Boko HTM
50K dengan fasilitas obyek Candi
Prambanan, Obyek Candi Ratu Boko plus gratis transportasi. Kami setuju, dan
sebelum menginjakkan kaki di Prambanan, kami dibawa sebuah mini bus elf menuju
kaki tangga candi Ratu Boko, sekitar 3 kilometer sebelah selatan Prambanan.
Konon katanya, tempat tersebut
bukanlah candi, tapi sebuah Istana kerajaan Medang (Mataram Hindu).
Diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra
(Rakai Panangkaran). Nama "Ratu Boko" berasal dari legenda
masyarakat setempat. Bahasa Jawa yang arti harafiahnya "Raja bangau".
Ayah dari Roro Jonggrang.
Menurut situs Wikipedia Luas
keseluruhan kompleks adalah sekitar 25 ha. Dilihat dari pola peletakan
sisa-sisa bangunan, diduga kuat situs ini merupakan bekas keraton (istana
raja). Pendapat ini berdasarkan pada kenyataan bahwa kompleks ini bukan candi
atau bangunan dengan sifat religius, melainkan sebuah istana berbenteng dengan
bukti adanya sisa dinding benteng dan parit kering sebagai struktur pertahanan.
Sisa-sisa permukiman penduduk juga ditemukan di sekitar lokasi situs ini. Tapi
kenapa sekarang disebut Candi? Sudah buramkah pengkajian sejarah di negeri ini?
Usai mengitari Istana Ratu
Boko, kami kembali ke Candi Prambanan. Disebuah spot yang disediakan untuk
berfoto, kami bertemu bule yang minta tolong untuk difoto dengan pasangannya.
Dan merekapun menawarkan diri untuk memotret saya dan Uda. Foto resmi pertama
kami di Candi Prambanan ini.
Matahari sedang menyeringai di
atas kepala. Candi yang konon katanya didirikan dengan siasat licik seorang
wanita bernama Roro Jonggrang ini berada kurang lebih 30 kilo meter sebelah
timur laut kota Jojga. Ketinggiannya mencapai 47 meter. Ditetapkan sebagai
cagar budaya abad ke-9 oleh UNESCO. Kami berkeliling, mengabadikan dan kemudian
melarikan diri ke sebuah rumah makan Padang. Perut harus segera bersua nasi.
Berdamai dengan jam biologis kami.
Usai makan, kami langsung
pulang ke penginapan. Lelah menghantam kami. Dan kami harus kembali
mempersiapkan diri untuk menonton FKY lagi malam nanti. Uda harus bertemu
Puthut EA katanya. J Malamnya kami melawat ke Tugu. Icon kota
Jogja ini akan lebih indah untuk dikunjungi malam hari.
Photografy menantang
maut, ungkapan itu sangat tepat untuk menggambarkan tempat ini. Mengambil foto
sambil memperhatikan Traffic light. Lengah sedikit maka bersiaplah ditabrak
mobil atau motor dengan pengendara yang tak mengerti apa arti kata ngebut. Bagi
mereka kecepatan 80 km/jam adalah hal yang biasa saja. Sungguh kota yang
tergesa-gesa.
Saya tak bisa menyembungikan
perut yang berontak. Suara kruk-kruknya sangat tak tau malu untuk menggiring
saya ke sebuah angkringan di kiri Tugu.
Angkringan Lik Man namanya. Uda memotret sendiri, saya makan sambil
menunggu Zakky, adik junior Uda
di klub basket dan panitia buku tahunan SMA yang dikelola Uda. Zakky baru semester
satu di jurusan komunikasi UGM, baru beberapa bulan di Jogja. Pas Zakky datang, kami
mengajaknya ke House of Raminten.
Sebuah
restoran dengan atmosfer Jawa yang sangat kental. Alunan musik gending Jawa
berpadu dengan bau mawar dan dupa menjadi ciri khas tempat makan yang cukup unik
di tengah Kota Jogja ini. Memasuki bagian depan restoran yang terletak di Jalan
FM Noto No. 7, Kota Baru ini, kami tidak langsung berhadapan dengan ruangan
yang dipadati meja makan. Tapi justru ruang tunggu dengan deretan kursi , dua
buah kereta kuno ala Kesultanan Mataram dan beberapa foto sang pemilik
restoran. Aksi tak biasa rumah makan ini juga terlihat dari beberapa tulisan di
area ruang tunggu. Papan peringatan untuk para tamu misalnya. Tertulis: Mohon
perhatian! “Barang” anda (handphone, dompet, sisir, kaca mata, jaket, tas,
topi, gergaji, setrika, dll) supaya
jangan sampai ketinggalan”.
Raminten tampaknya tak ingin
para tamunya antri menunggu dengan perasaan bosan. Pelayan restoran juga tak
kalah unik. Para pelayan perempuan dengan pakaian kemben dan jarit batik.
Pelayan laki-laki mengenakan kaos putih, rompi hitam dan kain batik. Mereka juga
saling berkomunikasi menggunakan walkie talkie.
Kami harus antri di bangku yang
sudah disediakan, menuggu giliran dengan nomor antrian delapan. Rata-rata menu
yang disediakan oleh House of Raminten adalah menu-menu masakan Jawa. Saya memesan
nasi liwet, es teh dan ayam koteka. Ayam Koteka, namanya memang nyentrik,
mengingatkan kita dengan pakaian adat khas suku di Papua. Menu ini berbahan
dasar cacahan ayam yang dicampur dengan telur, kemudian dimasak dan disajikan
pada sebilah bambu, sekilas bentuknya mirip-mirip seperti koteka. Menu ayam
koteka ini memiliki rasa yang cukup gurih sehingga pas dijadikan sebagai lauk
tambahan untuk menemani menu nasi yang telah dipesan. Sangat elegan,,hehehe. Uda
dengan Nasi liwet juga plus sate ayam dan lemon tea hangat, Zakki dengan kupat
tahu dan es dawet. Serta es krim bakar yang disajikan kemudian membuat kami
siap untuk mengitari Jogja kembali.
Usai makan, kami langsung ke
lokasi FKY di Condongcatur. Saya bertemu adik, junior di HMI asal Maluku di
sana, Dilo namanya. Sengaja ketemu karena ini kali pertama saya ke Jogja. Usai
FKY, kami kembali ke hotel, janjian dengan Doni untuk ke Borobudur esok hari.
Dan bangunlah kami pagi-pagi.
Saat Jogja mulai mengeliat. Deretan toko sepatu di seberang hotel belum dibuka
satupun. Mereka mungkin sedang pulas, berdamai dengan kantuk, agar tak datang
dipenghujung sore hingga pertengahan malam. Kami sengaja tak memesan menu
breakfas hotel, agar bisa berjalan menyusuri trotoar dan memesan semangkuk soto
serta sepiring nasi rames pada ibu-ibu pedagang kaki lima diujung sana. Sangat
sederhana dan sangat Jogja, tapi setidaknya kami mencicipi kepingan kota ini
disini, hangat dan ramah.
Kami mengemas semua pakaian dan
menitipkannya di resepsionis ketika check out. Saat itu Doni dan Teguh sudah tiba di depan hotel
dengan secangkir kopi di samping mereka. Masih hangat dan sangat “mengganggu”
Uda dengan aromanya. Sama-sama pecinta kopi membuat kami tahu betapa
melegakannya secangkir genangan hitam itu dikala pagi. Hangat dan
menggembirakan.
Tujuan hari ini adalah Keraton
dan alun-alun.
Dan perjalanan pun dimulai
kembali setelah menyerahkan gelas kopi pada Bapak penjualnya. Kami menuju Istana sang Sultan.
Sudah siang dan
matahari sudah semakin tinggi saat kami berkeliling dan menikmati udara istana.
Tak banyak yang kami lakukan di sana, selain menikmati suasana, memotret
beberapa sudur keraton, berfoto dengan abdi dalem dan menikmati gamelan di
pendopo. Saya mencuri dengar dari tour guide rombongan wisatawan di sebelah
saya, bahwa sebuah pohon besar di depan saya usianya sekitar 300 tahun.
Kami juga
mengunjungi museum kereta kencana kerajaan dan galeri tempat dipajangnya
foto-foto para sultan. Istana yang damai dan rindang, membuat kami betah
berlama-lama di sana. Kami juga sempat “mancigok”
ke pabrik batik hingga ke toko penjualannya.
Menjelang sore kami menghabiskan
waktu di Taman sari. Istana Air Tempat Permaisuri dan Putri Raja Mandi. Bangunan
kuno ini memiliki arsitektur yang indah perpaduan budaya Eropa, Hindu, Jawa,
dan Cina lengkap dengan ruangan dan lorong-lorong rahasia yang menyimpan banyak
kisah.
Istana Air Taman
Sari terletak di kompleks Njeron Beteng, tak jauh dari Keraton Yogyakarta. Dari
Malioboro tempat ini bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik becak.
Lokasinya yang tersebunyi di kompleks perkampungan warga, sehingga sering
menjadikan wisatawan sedikit bingung saat ingin mengunjungi Taman Sari. Padahal
tempat ini sangat mudah dicapai. Kami dan uda juga sempat kebingungan, dan melototin GPS yang membuat kami
berputar-putar beberapa kali.
Ada dua cara untuk
sampai ke tempat ini. Yang pertama adalah melewati Pasar dan Plaza Ngasem.
Silahkan masuk dan temukan gang KP III. Dari gang tersebut belok kiri dan jalan
kaki sekitar 200 m. Pulo Kenongo sudah menyambut. Sedangkan jika ingin masuk
memalui gerbang utama, dari Pasar Ngasem naik becak ke arah Alun-alun Selatan.
Kurang lebih 0,5 km akan bertemu dengan Jl. Tamansari.
Hampir menjelang
magrib, kami sampai di Rumah Bang Koto. Saya beristirahat, sementara
uda dan doni kemudiaan balik ke Hotel mengambil barang yang kami titipkan.
Malamnya, kami
ditraktir makan bakmi oleh mbak Sukma, istri bang koto. Jogja adalah negeri
asal bakmi, dan saya ingin mencicipi kuliner ini di tempat asalnya. Dan lidah
padang saya, ternyata sangat menikmatinya. Usai makan, kami rame-rame pergi
nonton teater. Meski agak telat, tapi kami, khususnya saya pulang dengan dada
yang sesak. Saya terpukau, saya tersihir, dan saya seperti menemukan apa yang
saya cari dikerumunan kota ini.
Kami kembali ke JBS
untuk menyiapkan energy untuk keesokan harinya. Esok kami akan mengunjungi sebuah
Keajaiban, Borobudur.
Jarak kurang lebih satu jam
perjalanan kami tempuh dengan kecepatan yang tak biasa. Uda tak pernah
mengendarai motor seperti itu kalau di Padang. Tapi di sini, kami harus
mengikuti alur laju kendaraan, tak ada yang tahu angka 40 atau 60 di sini,
mereka hanya hafal, bahwa speedometer motor mereka hanya punya angka 80 hingga
200, batas kecepatan minimal dan maksimal menurut mereka. Kamipun was-was kalau
sudah begini. Hanya berhenti disebuah SPBU dan kemudian melanjutkan perjalanan,
kami akhirnya berlabuh disebuah resto sarapan. Perut harus diisi kembali :D
Bertiga mereka sepakat memesan
nasi goreng, dan saya yang sudah makan nasi sebelumnya memesan bakmi jawa plus
sambal dan ayam goreng tentunya. Doni dan Uda dengan kopi lagi, saya dan Teguh
dengan teh hangat kami. Sarapanpun kami sudahi dan lanjut membelok pada sebuah
persimpangan menuju kebun tembakau, tempat yang sangat ingin Uda datangi.
Kami
“memergoki” ibu-ibu sedang mematahkan tangkai-tangkai daun tembakau di sebuah
area kebun. “hanya satu atau dua helai daun yang bisa dipetik setiap harinya
dari sebatang pohon tembakau dan harus melakukannya denga hati-hati agar tak
merusak pohon”, ibu-ibu itu menjelaskan pada kami sambil mempraktekkan cara
melepas daun itu dari batangnya. Kalian darimana? Ibu yang lain bertanya.
Padang, jawab kami bersamaan. Wah, sangat jauh dari sini. Apa yang kalian cari
di sebuah kebun tembakau yang jauhnya
beribu kilometer jaraknya dari rumah kalian. Mungkin itu maksud dari
anggukan ibu-ibu tersebut setelah menanyai kami.
Uda menekan tombol shutter kameranya sesering mungkin, seolah tak ada jalan lagi buat kami kembali ke
sini. Dia kalap melihat hamparan hijau kebun tembakau yang sangat luas dan
kuningnya tembakau yang sedang dijemur warga. Sebagian terlihat sudah ada yang
coklat. Los-los wadah penjemuran tembakau tersebut berjejer sepanjang jalan,
mengawal kami hingga kembali berbelok menuju Candi. Sampai bertemu lagi. Raja
komoditi.
Kami memarkir kendaraan tidak
jauh dari gerbang C. Disambut para penjaja souvenir, rental payung dan puluhan
penjual topi yang menawarkan kami membeli salah satunya. Tentu saja hanya satu,
sebagai satu-satunya perempuan dalam rombongan kecil ini, hanya saya yang
mengenakan topi seperti putri, yang lainnya menyiapkan syal sekedar menutupi
kepala di tengah teriknya matahari di atas sana. Atas??anggap saja begitu.
Ada gerbang tempat memesan
karcis masuk dengan card yang lucu tapi tak boleh kami bawa pulang. Dan ada
penyewaan angkutan taman, sebuah kereta mini
dipojok sana yang siap mengangkut kami ke mulut candi dengan merogok
kantong RP. 7.500/orang.
Tiba digerbang candi, kami
diminta memakai batik khas Borobudur yang berwarna ungu tua dan putih, sangat
indah dan kita akan dibantu petugasnya kalau kesulitan mengenakannya. Welcome
to Borobudur.
Kami berjalan menanjak menuju
candi, memasang beberapa pose selfie dan wefie. Ini pertama kali kami –saya dan
Uda- disini, mengagumi sebuah keajaiban. Mengitari lekuknya dan mengabadikan
beberapa sudut yang dipenuhi lalu lalang para wisatawan domestik maupun
mancanegara.
Meski telah dikeluarkan dari tujuh keajaiban dunia, Borobudur
masih menjadi sebuah keajaiban dalam hidup kami. sampai di sinipun adalah suatu
keajaiban bagi saya pribadi. Menapaki tanah jawa dan menatap salah satu
kebanggaannya, sebuah keajaiban atas terwujudkan impian yang selalu saya tanamkan.
Ya, sebuah keajaiban.
Setelah puas dan capek
berkeliling ke beberapa sudut candi, kami akhirnya menyerah pada panas dan kaki
yang pegal. Meski mengenakan sepatu kets, tetap saja kami harus
berdamai dengan kaki yang tak sanggup lagi diajak kompromi. Istirahat dibawah
pohon usai pintu keluar candi, dan kemudian berjalan kaki menuju jalan
masuk kami tadi. Ternyata salah gerbang dan motor kami diparkir nuuun diujung
sana, hingga sampai ditempat parkiran, tak satupun dari kami yang mau membuka suara,
bicara akan menguras energi kami untuk berjalan menuju pelataran parkir yang
jauh. Lebih baik diam, jika tidak, akan diam selama-lamanya,,hehehehe :D
Capek, haus dan lapar membuat
kami memacu kendaraan dengan lebih kencang lagi, Rumah Makan Duta Minang
melambai-lambaikan tangannya pada kami jauh di Jogja sana. Tak apalah, yang
penting lapar ini bisa dituntaskan dengan sepiring nasi Padang berikut lauk
khasnya. Jauh-jauh ke Jogja, restoran inilah yang pada akhirnya melunaskan
hutang kami pada perut yang sering dicekoki dengan masakan “antahbarantah”.
Lapar dan capekpun dibayar lunas. Usai makan, saya tepar di Markas JBS (Jual
Buku Sastra).
Sore itu juga kami kembali ke
Malioboro, menerobos kios pedagang batik di pasar Beringharjo. Belanja beberapa
batik, kaos bejo dan berlabuh di Mirota batik, disambut batu dupa, karena pemiliknya
sama dengan House of Raminten, maka suasananyapun tak jauh beda. Mirota Batik
ada tiga lantai, katanya lantai tiga adalah kafe, tapi kami tak mampir di sana,
saya membeli baju terusan warna toska dilantai dasar dan Uda kembali dengan
souvenir topeng di tangannya dari lantai dua. Pasar Beringharjo dan Malioboro
adalah surga belanja para pecinta batik dan souvenir. Usai sudah sesi belanja kami. Kami harus kembali ke JBS memilah buku dan
merapikan barang-barang. Bersiap untuk perjalanan selanjutnya. Menuju Bromo.