KELUARGA, GERBANG UTAMA ANAK MENYAMBUT DUNIA DENGAN GEMBIRA : (SEKILAS PERINGATAN HARI ANAK NASIONAL 2019)

Malala kali ini adalah perjalanan yang berbeda. Perjalanan yang akan menguras energi, keringat dan air mata serta membutuhkan budget yang tidak sedikit. Sebuah perjalanan yang jika berhasil dilewati dengan baik, Insya Allah, akan berbuah surgaNya kelak. Perjalanan saya menjadi seorang Ibu.
---------------------------------------------------------------------------------------

Apa yang terlintas dibenak kita saat mendengar/membaca kata “anak”?. Gegap gempita kegembiraan, riuh suara tawa kebahagiaan, tingkah polah yang menggemaskan dan tak jarang celotehan mereka yang menakjubkan. Anak, seolah memberikan sebuah dunia lain pada kita selaku orang tua yang diamanahi sosok-sosok mungil itu.
Saya menuliskan tulisan ini sambil memandangi balita saya yang tertidur pulas ditempat tidur setelah sebelumnya kami (saya dan suami) menghantarkan tidurnya dengan cerita-cerita, do’a-do’a dan ciuman. Kehadiran anak adalah anugerah. Namun yang menjadi pertanyaan adalah, seberapa baik kita menjaga anugerah tersebut dan seberapa keras kita belajar untuk bisa mendampingi tumbuh kembangnya.
Bahasan tentang tumbuh kembang anak tidak akan ada habisnya. Termasuk bahasan tentang anak dalam perspektif psikologi. Karena psikologi anak begitu luas untuk mencoba untuk menjawab begitu banyak pertanyaan, salah satu periset dan praktisi psikologi, John W. Santrock dalam bukunya Educational Psychology Fifth Edition, membagi tumbuh kembang anak ke dalam beberapa area yang spesifik. Secara luasnya, ia cenderung memetakan perkembangan anak ke dalam kategori perkembangan fisik (physical development), perkembangan Kognitif dan Bahasa (Cognitive and Language Development), dan Kontek perkembangan sosial dan sosioemosional (Social Contexts and Socioemotional Development).
Para psikolog anak mencoba untuk memahami seluruh aspek pertumbuhan anak, termasuk bagaimanakah seorang anak berpikir belajar, melakukan interaksi dan memberikan tanggapan secara emosional terhadap orang atau benda di sekeliling mereka, berteman, memahami emosi dan bagaimana anak-anak mengembangkan kepribadian, perilaku dan keahlian mereka. Dari berbagai aspek pertumbuhan anak yang tersebut diatas, pada hakikatnya, anak-anak bertumbuh dengan kondisi konteks sosio-kultural, yang dimulai dari keluarga.
Keluarga semestinya menjadi institusi inti dalam mendukung perkembangan anak. Keluarga yang merupakan unit terkecil dari masyarakat, merupakan faktor penentu (determinant factor) yang sangat mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang. Karena Secara psikososiologis keluarga berfungsi sebagai: (1) Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga lainnya; (2) Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis; (3) Sumber kasih sayang dan penerimaan; (4) Model pola perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik; (5) Pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat; (6) Pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan; (7) Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik, verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri; (8) Stimulator bagi pengembangan kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat; (9) Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi; (10) Sumber persahabatan atau teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar rumah. Keluarga seyogyanya adalah tempat perlindungan anak dari semua unsur kekerasan. Baik kekerasan fisik, seksual maupun verbal/emosional.
Secara Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meluncurkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018 (SNPHAR 2018). Hasil Survei menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Satu dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional. Selanjutnya, 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik. Dapat disimpulkan, bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Hasil SNPHAR 2018 juga menunjukkan anak tidak hanya menjadi korban kekerasan, tapi juga menjadi pelaku kekerasan. Faktanya, 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku kekerasan emosional dan kekerasan fisik adalah teman atau sebaya. Bahkan, pelaku kekerasan seksual baik kontak ataupun non kontak paling banyak dilaporkan adalah teman atau sebayanya (47%-73%) dan sekitar 12%-29% pacar menjadi pelaku kekerasan seksual.
Sebagai orang tua, data yang terpampang diatas tentu saja membuat kita miris dan cemas. Miris dengan perlakuan-perlakuan kekerasan terhadapan anak dan cemas, takut anak-anak kesayangan kita mendapat perlakuan-perlakuan kekerasan tersebut dari sekitarnya.
Membaca fakta diatas saya langsung berkaca-kaca dan istighfar, jangan-jangan selama ini kita banyak salah dalam merawat anak, jangan-jangan kitalah pelaku kekerasan terhadap anak, yang meskipun “hanya” kekerasan verbal, akan sangat berdampak pada perkembangan anak. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata yang menyakitkan. Kata-kata yang menyakitkan tersebut biasanya bermakna melecehkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai sumber kesialan, mengecilkan arti si anak, memberikan julukan negative kepada anak, dan memberikan kesan bahwa anak tidak diharapkan akan memiliki dampak jangka panjang terhadap perasaan anak dan dapat mempengaruhi citra diri mereka dan berpengaruh terhadap caranya bergaul. Secara teori, ini disebut Verbal abuse atau biasa disebut emotional child abuse, yaitu tindakan lisan atau perilaku yang menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan. Sehari-hari mungkin banyak dari kita yang mendengar atau bahkan melakukan verbal abuse ini terhadap anak. Baik secara sengaja maupun tanpa disadari. Menghardik anak, mengatainya cerewet, bodoh, kurang ajar dan lain-lain
Menurut sebuah jurnal Psikologi, Bentuk dari verbal abuse adalah sebagai berikut: 1.) Tidak sayang dan dingin. Tindakan tidak sayang dan dingin ini berupa misalnya: menunjukan sedikit atau tidak sama sekali rasa saying kepada anak (seperti pelukan), dan kata-kata sayang. 2.)Intimidasi. Tindakan intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam anak, dan mengertak anak. 3.)Mengecilkan atau mempermalukan anak. Tindakan mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa seperti : merendahkan anak, mencela nama, membuat perbedaan negatif antar anak, menyatakan bahwa anak tidak baik, tidak berharga, jelek atau sesuatu yang didapat dari kesalahan. 4.) Kebiasaan mencela anak. Tindakan mencela anak bisadicontohkan seperti : mengatakan bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak. 5.) Mengindahkan atau menolak anak. Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa : tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli dengan anak. 6.) Hukuman ekstrim. Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di kursi untuk waktu lama dan meneror.
Lalu pertanyaannya, seberapa besar peluang anak kita bebas dari verbal abuse yang dilakukan oleh lingkungannya bahkan oleh keluarga dan orang tuanya sendiri?

Menjadi orang tua yang berilmu
Teori, fakta dan realita yang sudah kita sebut diatas, tentu saja tak akan kita dapatkan jika kita bersikap acuh dan tak mau tau tentang hal tersebut. Padahal semua ada rambu-rambunya, padahal semua, ada teorinya. Hanya saja kita sebagai orang tua yang kurang ilmu dan tidak mau belajar.
Membaca kembali teori-teori perkembangan anak, membuat saya jadi lebih "kuat mental" dalam menghadapi masa-masa tumbuh kembang anak. Semua pengetahuan tentang tumbuhkembang anak sebenarnya bertebaran disekitar kita, sebagai orang tua kita hanya tinggal ngulik dan membaca. Memang harus Ngelmu sebagai orang tua, biar tak salah arah dan tak salah konsep dalam mendidik anak. Anak juga berkembang dan bertumbuh dengan baik, terbebas dari beragam kekerasan yang tak semestinya mereka dapatkan. Sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan bahagia, tumbuh dengan gembira.
Selamat belajar dan bereksplorasi bersama anak-anak di rumah, wahai para orang tua. Jadikan keluarga, sebagai gerbang utama anak-anak kita menyambut dunia dengan gembira. 
Selamat Hari Anak Nasional 2019. Tabik.

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

  Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwa...