Malala kali ini adalah perjalanan yang berbeda. Perjalanan yang akan menguras energi, keringat dan air mata serta membutuhkan budget yang tidak sedikit. Sebuah perjalanan yang jika berhasil dilewati dengan baik, Insya Allah, akan berbuah surgaNya kelak. Perjalanan saya menjadi seorang Ibu.
---------------------------------------------------------------------------------------
Apa
yang terlintas dibenak kita saat mendengar/membaca kata “anak”?. Gegap gempita
kegembiraan, riuh suara tawa kebahagiaan, tingkah polah yang menggemaskan dan
tak jarang celotehan mereka yang menakjubkan. Anak, seolah memberikan sebuah
dunia lain pada kita selaku orang tua yang diamanahi sosok-sosok mungil itu.
Saya
menuliskan tulisan ini sambil memandangi balita saya yang tertidur pulas
ditempat tidur setelah sebelumnya kami (saya dan suami) menghantarkan tidurnya
dengan cerita-cerita, do’a-do’a dan ciuman. Kehadiran anak adalah anugerah.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, seberapa baik kita menjaga anugerah
tersebut dan seberapa keras kita belajar untuk bisa mendampingi tumbuh
kembangnya.
Bahasan
tentang tumbuh kembang anak tidak akan ada habisnya. Termasuk bahasan tentang
anak dalam perspektif psikologi. Karena psikologi anak begitu luas untuk mencoba
untuk menjawab begitu banyak pertanyaan, salah satu periset dan praktisi
psikologi, John W. Santrock dalam bukunya Educational
Psychology Fifth Edition, membagi tumbuh kembang anak ke dalam beberapa
area yang spesifik. Secara luasnya, ia cenderung memetakan perkembangan anak ke
dalam kategori perkembangan fisik (physical
development), perkembangan Kognitif dan Bahasa (Cognitive and Language Development), dan Kontek perkembangan sosial
dan sosioemosional (Social Contexts and
Socioemotional Development).
Para
psikolog anak mencoba untuk memahami seluruh aspek pertumbuhan anak, termasuk
bagaimanakah seorang anak berpikir belajar, melakukan interaksi dan memberikan
tanggapan secara emosional terhadap orang atau benda di sekeliling mereka,
berteman, memahami emosi dan bagaimana anak-anak mengembangkan kepribadian,
perilaku dan keahlian mereka. Dari berbagai aspek pertumbuhan anak yang
tersebut diatas, pada hakikatnya, anak-anak bertumbuh dengan kondisi konteks
sosio-kultural, yang dimulai dari keluarga.
Keluarga
semestinya menjadi institusi inti dalam mendukung perkembangan anak. Keluarga yang
merupakan unit terkecil dari masyarakat, merupakan faktor penentu (determinant factor) yang sangat
mempengaruhi kualitas generasi yang akan datang. Karena Secara psikososiologis
keluarga berfungsi sebagai: (1) Pemberi rasa aman bagi anak dan anggota
keluarga lainnya; (2) Sumber pemenuhan kebutuhan, baik fisik maupun psikis; (3)
Sumber kasih sayang dan penerimaan; (4) Model pola perilaku yang tepat bagi
anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik; (5) Pemberi bimbingan
bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat; (6) Pembentuk
anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya
terhadap kehidupan; (7) Pemberi bimbingan dalam belajar keterampilan motorik,
verbal dan sosial yang dibutuhkan untuk penyesuaian diri; (8) Stimulator bagi pengembangan
kemampuan anak untuk mencapai prestasi, baik di sekolah maupun di masyarakat;
(9) Pembimbing dalam mengembangkan aspirasi; (10) Sumber persahabatan atau
teman bermain bagi anak sampai cukup usia untuk mendapatkan teman di luar
rumah. Keluarga seyogyanya adalah tempat perlindungan anak dari semua unsur
kekerasan. Baik kekerasan fisik, seksual maupun verbal/emosional.
Secara
Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA)
meluncurkan hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2018
(SNPHAR 2018). Hasil Survei menunjukkan bahwa 1 dari 17 anak laki-laki dan 1
dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Satu dari 2 anak
laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan pernah mengalami kekerasan emosional.
Selanjutnya, 1 dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami
kekerasan fisik. Dapat disimpulkan, bahwa 2 dari 3 anak dan remaja perempuan
dan laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Hasil
SNPHAR 2018 juga menunjukkan anak tidak hanya menjadi korban kekerasan, tapi
juga menjadi pelaku kekerasan. Faktanya, 3 dari 4 anak melaporkan bahwa pelaku
kekerasan emosional dan kekerasan fisik adalah teman atau sebaya. Bahkan,
pelaku kekerasan seksual baik kontak ataupun non kontak paling banyak
dilaporkan adalah teman atau sebayanya (47%-73%) dan sekitar 12%-29% pacar
menjadi pelaku kekerasan seksual.
Sebagai
orang tua, data yang terpampang diatas tentu saja membuat kita miris dan cemas.
Miris dengan perlakuan-perlakuan kekerasan terhadapan anak dan cemas, takut
anak-anak kesayangan kita mendapat perlakuan-perlakuan kekerasan tersebut dari
sekitarnya.
Membaca
fakta diatas saya langsung berkaca-kaca dan istighfar, jangan-jangan selama ini
kita banyak salah dalam merawat anak, jangan-jangan kitalah pelaku kekerasan
terhadap anak, yang meskipun “hanya” kekerasan verbal, akan sangat berdampak
pada perkembangan anak. Kekerasan verbal adalah kekerasan yang dilakukan lewat
kata-kata yang menyakitkan. Kata-kata yang menyakitkan tersebut biasanya
bermakna melecehkan kemampuan anak, menganggap anak sebagai sumber kesialan,
mengecilkan arti si anak, memberikan julukan negative kepada anak, dan
memberikan kesan bahwa anak tidak diharapkan akan memiliki dampak jangka
panjang terhadap perasaan anak dan dapat mempengaruhi citra diri mereka dan
berpengaruh terhadap caranya bergaul. Secara teori, ini disebut Verbal abuse atau biasa disebut emotional child abuse, yaitu tindakan
lisan atau perilaku yang menimbulkan konsekuensi emosional yang merugikan.
Sehari-hari mungkin banyak dari kita yang mendengar atau bahkan melakukan verbal abuse ini terhadap anak. Baik
secara sengaja maupun tanpa disadari. Menghardik anak, mengatainya cerewet,
bodoh, kurang ajar dan lain-lain
Menurut
sebuah jurnal Psikologi, Bentuk dari verbal
abuse adalah sebagai berikut: 1.) Tidak sayang dan dingin. Tindakan tidak
sayang dan dingin ini berupa misalnya: menunjukan sedikit atau tidak sama
sekali rasa saying kepada anak (seperti pelukan), dan kata-kata sayang.
2.)Intimidasi. Tindakan intimidasi bisa berupa: berteriak, menjerit, mengancam
anak, dan mengertak anak. 3.)Mengecilkan atau mempermalukan anak. Tindakan
mengecilkan atau mempermalukan anak dapat berupa seperti : merendahkan anak,
mencela nama, membuat perbedaan negatif antar anak, menyatakan bahwa anak tidak
baik, tidak berharga, jelek atau sesuatu yang didapat dari kesalahan. 4.)
Kebiasaan mencela anak. Tindakan mencela anak bisadicontohkan seperti :
mengatakan bahwa semua yang terjadi adalah kesalahan anak. 5.) Mengindahkan
atau menolak anak. Tindakan tidak mengindahkan atau menolak anak bisa berupa :
tidak memperhatikan anak, memberi respon dingin, tidak peduli dengan anak. 6.)
Hukuman ekstrim. Tindakan hukuman ekstrim bisa berupa: mengurung anak dalam
kamar mandi, mengurung dalam kamar gelap. Mengikat anak di kursi untuk waktu lama
dan meneror.
Lalu
pertanyaannya, seberapa besar peluang anak kita bebas dari verbal abuse yang dilakukan oleh lingkungannya bahkan oleh keluarga
dan orang tuanya sendiri?
Menjadi orang tua yang berilmu
Teori,
fakta dan realita yang sudah kita sebut diatas, tentu saja tak akan kita
dapatkan jika kita bersikap acuh dan tak mau tau tentang hal tersebut. Padahal semua
ada rambu-rambunya, padahal semua, ada teorinya. Hanya saja kita sebagai orang
tua yang kurang ilmu dan tidak mau belajar.
Membaca
kembali teori-teori perkembangan anak, membuat saya jadi lebih "kuat
mental" dalam menghadapi masa-masa tumbuh kembang anak. Semua pengetahuan
tentang tumbuhkembang anak sebenarnya bertebaran disekitar kita, sebagai orang
tua kita hanya tinggal ngulik dan membaca.
Memang harus Ngelmu sebagai orang
tua, biar tak salah arah dan tak salah konsep dalam mendidik anak. Anak juga
berkembang dan bertumbuh dengan baik, terbebas dari beragam kekerasan yang tak
semestinya mereka dapatkan. Sehingga anak-anak dapat tumbuh dengan bahagia,
tumbuh dengan gembira.
Selamat
belajar dan bereksplorasi bersama anak-anak di rumah, wahai para orang tua.
Jadikan keluarga, sebagai gerbang utama anak-anak kita menyambut dunia dengan
gembira.
Selamat Hari Anak Nasional 2019. Tabik.