Semua orang sedang
membicarakan tentang hari Ibu. Facebook, Instagram, Tweeter, grup-grup WhatsApp, portal-poral berita online dan media sosial lainnya. Televisipun tak mau
kalah pamor dengan tanyangan seharian penuh tentang perempuan-perempuan hebat
di Indonesia. Hari Ibu menjadi hari kita semua, karena tanpa ibu, kita tak
pernah ada untuk merayakan hari itu.
Ibu,
sosok yang begitu besar artinya untuk kita. Tak hanya berjuang mengandung,
melahirkan, menyusui, dan merawat hingga besar, tapi sosoknya adalah “monument”
nyata sebuah komitmen seumur hidup, bahwa dia tak lagi bisa hidup hanya untuk
dirinya sendiri.
“I
love Bunda”, “Selamat Hari Ibu, mak”, “Happy Mother’s day, mom”, daaaan sebagainya,
ucapan-ucapan itu bertebaran menyeruak haru kita. Sekali lagi Ibu, dengan semua
yang dimilikinya lahir dan batin adalah sosok istimewa buat kita semua.
Saat
menjadi seorang Ibu, meski tak serta merta mengerti, saya paham bagaimana Ibu
adalah tempat kembali. “Rumah” yang tak pernah ada sudahnya. Meski sebenarnya, Hari
Ibu tak hanya hari ini, tapi setiap hari, tujuh hari dalam sepekan, semua
adalah Hari Ibu. Hari-hari dimana ibu berjuang seharian hingga kadang terlelap
dengan koyo atau balsem yang menempel dibadan.
Menurut
sejarahnya, hari ini ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional pada tahun 1959
dalam SK Presiden RI No. 316/1959. Saat itu, namanya adalah Hari Kebangkitan
Perempuan, sebelum akhirnya Soeharto mengubah Hari Kebangkitan Perempuan itu menjadi
Hari Ibu. Dalam tulisan ini saya tak hendak memperbandingkan antara ibu, calon
ibu, atau mereka yang tak hendak menjadi ibu. Tapi satu hal yang ingin saya
sampaikan adalah sebuah terima kasih kepada perempuan-perempuan hebat dimasa
lalu yang telah berjasa membuat Hari Ibu
terlaksana. Sebuah pengingat akan peranan dan perjuangan perempuan dan ibu
hingga hari ini.
Perjuangan
perempuan, perjuangan ibu yang tak pernah ada padamnya, sejak ribuan tahun
lalu, hingga hari ini tepat di depan mata saya dan saya menjadi bagian darinya.
Hari ini saya, kami, para ibu-ibu dengan sukacita menggandeng tangan-tangan
malaikat kecil kami dengan beragam bawaan keperluan si pemilik tangan-tangan
mungil itu. Menuntun mereka ke odong-odong, memeluk, bercerita dan memberi
camilan selagi di jalan, menyuapi makan setelah sampai tujuan, lalu bertepuk
tangan sambil terharu saat mereka mendapatkan raport sekolah pertama mereka.
Raport sekolah Zea tak berisi angka-angka. Kami sangat mengapresiasi hal itu. Lagian, angka apa yang akan ditulis di raport pendidikan anak usia dini? Tujuan kami -saya dan suami- menyekolahkan Zea di sekolah formal pertamanya pun adalah biar Zea punya teman. Memiliki aktivitas yang beragam dengan teman-teman sebayanya, bersosialisasi, menekan ego pribadinya dan tumbuh menjadi versi dirinya sendiri dengan bersemangat, bergembira dan bahagia.
Sekolah
Zea memutuskan untuk membagikan raport di sebuah pantai. Tentu saja hal itu mudah
terwujud karena kami tinggal di kota kecil yang dikelilingi pantai dan laut. Sebuah berkah
tersendiri tentunya.
Hanya butuh 10 menit untuk
berangkat dari rumah, belanja camilan dan duduk-duduk santai di tepi pantai
Carocok. Atau jika mau bersabar sedikit, kami bisa pergi ke Pantai Sungai Nipah
dan puas bermain ombak hingga jari-jari kesemutan dan pulang setelah perut
dipenuhi nasi atau mie goreng instan. Atau jika mau menyempatkan waktu sedikit,
bisa agak ke selatan melihat penyu yang akan dilepas ke lautan. Atau makan es
krim sambil melihat nelayan “maelo pukek” di pantai Sago. Atauuuu bisa seperti
yang kami lakukan kali ini, menerima raport sekolah di pantai Pulau Karam, dan
kemudian bersantai sambil menyeruput es kelapa muda di pantai Batu Kalang. Ada banyak
atau, artinya ada banyak pilihan. Sungguh, Tuhan Maha Baik, bukan.
Datanglah ke kota kecil ini.
Bisa bersama ibu, calon ibu mertua, teman yang akan menjadi ibu, atau calon ibunya
anak-anak. Kalian akan disambut pula oleh ibu-ibu yang menulis tentang Hari Ibu
ini juga tentunya.
Selamat Hari Ibuuuu….!
No comments:
Post a Comment