Resensi IMPERIUM, Buku Pertama dari Trilogi Cicero



Biodata Buku
Judul buku      : Imperium (Buku Pertama dari Trilogi Cicero)
Penulis             : Robert Harris
Alih Bahasa     : Femmy Syahrani
Penerbit           : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit     : 2006
Tebal buku      : 376 halaman

----------------------------------------------------------
Apa yang terpikir dibenak kita saat mendengar atau membaca kata “Romawi”?.
Italia? gladiator? spartacus? aristokrat? dewa-dewi? politik? demokrasi? pemilu? sistem pengadilan? ruang sidang? hakim, pengacara, senator, Yulius caesar?
Dan….
Cicero?
Ya, buku ini layak dibaca karena semua hal yang terbesit di benak kita tentang Romawi dipaparkan dengan sempurna di buku ini, dengan kisah tentang Marcus Tullius Cicero sebagai sumbunya. Kisah ini, seolah diceritakan langsung –tentu saja dengan sangat elegan dan hangat- oleh seorang Tiro pada kita di samping sebuah perapian di rumah peternakannya, pada usianya yang sepuh. M. tullius Tiro, sekretaris Cicero yang bukan hanya juru tulis sang orator, dan asistennya dalam kegiatan penulisan, tapi lebih dari itu, diapun adalah penulis dengan reputasi yang patut diperhitungkan serta pencipta stenografi yang memungkinkan ucapan pembicara publik seperti Cicero dicatat secara lengkap dan benar, secepat apapun ia bicara.
Di sebuah pengadilan dalam mengadili Gubernur Sisilia, Gaius Verrres, Cicero mengakhiri pidatonya dengan kata-kata yang sungguh menggetarkan, yang kemudian disambut dengan sorak sorai gegap gempita oleh penonton dan berakhir dengan mendudukkannya dibahu mereka dan menderulah seruan “Cicero! Cicero! Cicero” membelah Langit Roma.
“Andaikan kau, Verres, menjadi tawanan di Persia atau daerah pelosok India, dan sedang diseret menuju hukuman mati, jeritan apa yang kau teriakkan selain bahwa kau warga Romawi? Jadi bagaimana dengan lelaki ini, yang kematiannya telah kau percepat? Tak bisakah pernyataan itu, pengakuan akan kewargaannya itu, menyelamatkannya selama sejam, sehari, sementara kebenaran dipastikan? Tidak, tidak bisa –tidak kalau kau yang duduk di kursi hakim! Padahal orang termiskin dari golongan terendah di negeri biadab manapun, hingga sekarang selalu yakin bahwa jeritan ‘aku warga Romawi’ adalah sebuah pembelaan dan perlindungan terakhirnya. Bukan hanya Gavius, bukan sekadar satu orang, yang kau paku pada salib penderitaan itu: melainkan prinsip universal bahwa warga Romawi adalah manusia merdeka!”

Buku ini akan membawa kita –seolah seperti mesin waktu- pada sebuah tempat bernama Roma untuk menyaksikan perjalanan seorang putra terbaiknya. Perjalanan seorang yang bukan bagian dari kaum aristokrat, yang dengan kemampuannya yang luar biasa mengantarnya pada sebuah jabatan impiannya, seorang konsul di Roma. Karir politiknya yang berisi jabat tangan, saling memunggungi, kisah yang disimak, kebosanan yang ditanggung, petisi yang diterima, lelucon yang dilontarkan, janji yang diberikan, dan tokoh setempat yang dibujuk dan disanjung.
Tiro, juga menceritakan pada kita dengan gamblang, bagaimana seorang Cicero muda, - yang menderita kelelahan saraf dan sedang berjuang mengatasi cacat alami yang besar, yang saat itu suaranya belum menjadi alat menggetarkan seperti di kemudian hari, hanya suara serak yang sesekali cenderung gagap, yang menderita insomnia kronis dan lemah pencernaan- mendaftar di sekolah Apollonius Molon, lalu menjejaki karirnya hingga menduduki jabatan konsul terpilih.
Ratusan orang mengincar kekuasaan tersebut, tetapi Cicero, adalah sosok unik dalam sejarah republik ini. Dia mengejar kekuasaan tanpa bantuan sumber daya apapun selain bakatnya sendiri. Dia bukan berasal dari keluarga aristokrat yang agung, dia tidak memiliki armada perang yang perkasa, dia tidak memiliki harta yang berlimpah. Yang dia miliki hanyalah suaranya yang dengan kekuatan tekad semata, dia mengubahnya menjadi suara paling termasyhur di dunia. Dengan kecerdasannya, dengan kekuatan suaranya, Cicero mempertaruhkan kasus-kasusnya –dan seluruh hidupnya- demi ambisinya meraih jabatan tertinggi di republik Romawi. Imperium yang sesungguhnya.



No comments:

Post a Comment

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

  Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwa...