Biodata Buku
Judul buku : Kambing dan Hujan (Sebuah Roman)
Penulis :
Penerbit :
Tahun terbit : 2015
Tebal buku : 380 halaman
Tumbuh dalam tradisi Islam, khususnya dunia pesantren Salafiyah, membuat saya sedikit banyaknya familiar alur cerita buku ini. Saya tiba-tiba seperti dibawa kembali ke meja belajar di ruang kelas lokal kereta api –begitu kami menyebut ruang kelas yang berjejer panjang yang menampung kelas VII pondok pesantren kami hingga belasan lokal-, membahas dan mendengar ayahanda guru membeberkan perbedaan-perbedaan yang akan kami hadapi kelak setelah kembali ke masyarakat dan bagaimana kami akan menjawab dan menghadapi perbedaan tersebut.
Satu hal yang saya ingat, saat itu saya berpikir bahwa apa yang saya pelajari saat itu hanyalah sia-sia belaka, karena bagi saya sah-sah saja perbedaan-perbedaan itu ada dan pasti ada alasan-alasan jelas pula bagi mereka yang berbeda dengan kita. Waktu itu saya berpikir, kenapa harus meladeni dengan serius perbedaan-perbedaan tersebut? Toh pada akhirnya akan membuat kita yang berbeda semakin terpisah jarak. Bukankah kita harus saling menghargai meskipun kita saling berbeda? Tapi saat itu ayah guru hanya menjawab dengan sepatah kata, “kelak kau akan mengerti kenapa kita harus mempelajari kitab ini, inang (read : anakku”).
Dan hingga hari ini kita masih saja diributkan dengan masalah-masalah khilafiyah yang tak ada habisnya. Seagama, tapi berbeda. Kenapa disana sholat subuh pakai do’a qunut sedang disini tidak? Kenapa disana sholat taraweh dua-dua rakaat, sedang disini empat-empat raka’at? Siapa yang paling benar, menggunakan metode hisab atau ru’yat? Kita sibuk dengan hal-hal tersebut. Meski tak “separah” cerita tentang persaingan antara kubu utara dan selatan yang diceritakan buku ini, saya yakin kita pernah mengalami dan terseret dalam perbedaan-perbedaan tersebut.
Latar belakang perbedaan antara Islam modern dan tradisional ini juga yang kemudian melatari hubungan Mif dan Zia dalam buku ini. Seagama tak membuat hubungan mereka baik-baik saja. Perbedaan cara ibadah, cara menetapkan waktu dimulainya awal Ramadhan dan hari raya serupa jembatan putus yang memisahkan keduanya. Hubungan mereka menjelma tegangan antara hasrat dan norma agama. Yang menariknya adalah ketika mereka memperjuangkan cinta yang melintasi jarak kultural tersebut, mereka justru menemukan sekelumit rahasia yang selama ini dikubur oleh ribuan prasangka. Tentang persahabatan masa kecil Bapak-nya Mif dan Abah-nya Zia, dan konflik-konflik lainnya yang membuat kita tak sanggup untuk melepaskan buku ini hingga akhir halamannya terbaca.
“Ah, seandainya…,” desah mif. Dalam benaknya berkelebat kisah teman- temannya yang pacaran dengan longgar dan kemudian menikah dengan lancer, tanpa halangan. Enak sekali mereka, pikir Mif. Mereka tak harus dipusingkan tentang hubungan kedua keluarga, tak dibebani tentang beda meski dan beda paham agama, dan tak harus membaca surat-surat tua berisi kisah cinta segitiga. Dan, tentu saja, mereka tak harus menggelisahkan -dengan secara berlebihan- adanya dua hari raya.
Menurut saya, gaya bercerita penulis dalam buku ini sangat menarik. Dari bagaimana penulis membangun cerita romansa antara Mif dan Zia yang terhalang perbedaan hingga menyingkap rahasia-rahasia antara ayah mereka dengan apik. Bagaimana semua ini kemudian menjadi jalinan-jalinan yang berhubungan satu sama lain. Dan berakhir dengan happy ending. Roman yang mendokumentasikan sejarah, hubungan sosial dan persaingan paham agama dengan apik dan cerdas. Sebuah buku yang akan memperkaya sudut pandang kita dan sangat berharga untuk dimiliki dan dibaca. Recommended, begitu iklan-iklan menuliskannya.
No comments:
Post a Comment