Berakhir dengan rating 12,7% tadi malam, rekor tertinggi sejak penayangannya, drama korea romantis ini sukses bikin sebungkus tissue di meja berkurang setengahnya. Cry..cry..cry. But, thank you tvN, thank you writer-nim, PD-nim, thank you para cast, thank you para kru, atas tayangan yang hangat, menyentuh dan mempotekkan hati ini. Beuh, ini bukan sambutan pemenang nominasi ya, hanya segelintir ucapan “pemirsa” yang bahkan tak akan pernah sampai pada mereka yang terlibat langsung dalam produksi drama luar biasa ini.
Tak hanya pasangan ShikHye yang
bikin baper, satu persatu warga Gongjin, memberikan pelajaran yang sangat
bermakna dalam setiap scenenya. Drama sederhana yang sepertinya akan singgah
lama dalam ingatan.
Drama ini bercerita dengan “bahasa”
yang sederhana tentang “rumah dan orang-orang tersayang yang berada di bawah
atapnya”. Hometown, kampung halaman, selalu punya tempat yang hangat disetiap
sudut hati kita. “Rumah” tempat pulang, “rumah” tempat menyembuhkan
goresan-goresan luka yang kau dapat dari bertarung dengan hidup. Bahkan meski
orang-orang di “rumah” itupun punya luka mereka masing-masing. Di sudut “rumah”
itu, kau selalu punya tempat untuk menangis dan tersedu.
Drama ini juga mengingatkan
banyak hal yang sering terlupakan oleh kita yang selalu sibuk menakar diri
dengan timbangan orang lain. “hidup itu
tak seperti matematika. Tak ada jawaban dan cara menghitung paling benar. Kita hanya diberi soal, lalu penyelesaiannya
terserah kita”, ucap Du sik suatu hari di sebuah kedai makan pada Hye jin.
Scene demi scene drama ini
menghangatkan hati. Belajar, bahwa hidup selalu tak sama bagi setiap orang. “Ada yang jalannya penuhnya lubang dan ada pula
yang berlari sekuat tenaga, tepi tetap menemui jurang di ujung jalan”. Setiap
orang punya pertarungannya masing-masing, dan kita tidak punya hak menghakimi
atau merasa diri lebih hebat dari mereka.
Lewat quote-quote nya, Hometown
cha cha cha menelanjangi kita sebagai manusia yang kerap lupa hakikat dirinya. Meski
bukan kalimat filosofis yang terdengar elegan, quote sederhana dengan bahasa
yang spontan pun sukses bikin jleb hati kita. “aku memang tak sempurna, tapi kau pun sama”. Tuh kan, ngena banget.
Pada episode kedua drama ini, kita
disuguhkan potret-potret luka setiap orang. Hye jin menarasikannya dengan “setiap orang pasti punya penyesalan dalam
hidupnya”. Perceraian Chang yeong guk dan Yeo hwa jeong, Jo nam sook yang
sempat “gila” karena kehilangan putri kecilnya, Oh yoon, pemilik kedai kopi
yang tak bahkan bisa menyeduh kopi, masih tenggelam dengan masa lalunya sebagai
penyanyi. Dan Du sik sendiri yang masih menyimpan setelan hitam dengan
mimpi-mimpi mengerikan yang membuatnya mengunjungi psikiater beberapa kali.
Drama ini juga mengingatkan
kita dengan hakikat manusiawi kita, bahwa setiap kita, pernah melakukan
kesalahan, tapi semua akan baik-baik saja. Hye Jin pernah melakukan kesalahan
yang membuat semua warga Gongjin membencinya.
Saat baru pertama membuka
praktek dokter giginya di Gongjin, Hye Jin adalah gadis Seol yang perfeksionis
dan blak-blakan dengan pandangannya tentang orang lain. Merasa diri lulusan
kedokteran gigi yang cukup bergengsi, Hye Jin sempat memandang rendah orang
lain. Dia terang-terangan membeberkan “luka” Oh yoon pada sahabatnya Mi seon
lewat telepon yang sialnya terekam mikrofon acara yang masih menyala. Semua warga
Gongjin mendengarnya. Du sik menghampirinya, dan mengatakan setiap orang wajar melakukan
kesalahan, tapi juga harus diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. “Setelah kupikir-pikir, setiap orang pasti
pernah berbuat kesalahan. Lagipula, waktu itu kau tak tahu mikrofonnya menyala.
Setiap orang pasti pernah membicarakan orang lain. Tak apa-apa, jangan kawatir.
Sekarangpun semua orang di sini pasti sedang membicarakan keburukanmu. Jadi,
anggap aja impas. Mulai kini, kau hanya perlu bersikap baik”.
Adegan kepindahan Hye Jin ke
Gongjin mengajarkan kita banyak hal tentang beradaptasi dan berbaur. Dimana
bumi dipijak, di sana langit dijunjung. Gongjin bukan Seol. Dan Hye Jin harus
menyadari hal itu jika ingin menetap di sana. “Menyebalkan “, ungkap Hye Jin kesal. “Kau sendiri yang memilih tinggal di tempat menyebalkan ini. Jadi, mulailah
untuk belajar beradaptasi”, balas Du sik.
Di episode kelima sepulang
memberi penyuluhan kesehatan gigi dan mulut di sebuah sekolah SD, Du sik
mengajak Hye Jin makan dan hujan-hujanan. Hye jin sebenarnya sangat membenci basah
dan lepek, dia selalu punya payung dalam tasnya. Tapi Du sik berkata padanya “kau akan tetap basah walaupun memakai payung.
Tak perlu banyak berpikir dan terjang saja hujannya”. Du sik mengingatkan
Hye jin bahwa saat ada masalah yang menghampiri, kita hanya perlu menghadapinya
dengan berani. Jangan kabur dan tetap hadapi.
Saat memastikan Du sik yang
tenyata Lulusan Seoul National University, Hye Jin bertanya kenapa Du sik tidak
berkarir sesuai gelarnya. “Sudut
pandangmu terlalu sempit. Banyak hal yang lebih penting daripada uang dan
kesuksesan di dunia ini”. Maksud Du sik, ada begitu banyak hal yang bisa
menjadi sumber kebahagiaan seseorang, tidak selalu harta dan kesuksesan.
Episode kelima juga
menghadirkan second lade Ji Seong Hyun (Ji PD). Produser acara ragam yang
kurang pandai membaca peta dan selalu tersesat. Namun kecerobohannya itu sering
kali membawanya ke tempat tak terduga yang malah membuatnya bahagia. Kali ini
dia tersesat ke Gongjin, bertemu Du sik, Hye Jin cinta pertamanya dan
memutuskan syuting variety show garapannya di sana.
Lalu, meski pada akhirnya Pyo
Mi seon, sahabatnya Hye Jin bikin gemes penonton di episode terakhir karena
memacari Misteri ke 3 Gongjin (hehe..kalian bisa tonton detailya di episode terakhir),
Mi soen adalah gambaran teman yang baik. Persahabatan keduanya hangat dan
menggemaskan.
Sebagai seorang Ibu, scene
parenting Yeo Hwa Jeong terhadap anaknya Jang Yi Joon, sangat mempotekkan hati.
“Tapi, I joon-a, Ibu mengizinkan
memelihara landak, bukan karena kau mendapat penghargaan, Ibu izinkan karena
kau mau memeliharanya. Pesta ini pun bukan karena kau mendapat peghargaan. I
jun, mendapatkan penghargaan adalah hal yang bagus. Tapi walaupun kau tak
menjadi juara, kita tetap akan berpesta. Pesta ini untuk merayakan usaha
kerasmu. Menurut ibu, usaha keras lebih penting daripada hasil akhirnya”. “itu benar, I jun. Tak masalah walaupun
nilaimu jelek. Ayah hanya berharap kau tumbuh menjadi anak yang bahagia”. Timpal
ayahnya.
Drama ini juga bercerita
tentang si gadis remaja Oh Ju Ri. Anak dari mantan penyanyi Oh Yoon. Yang dia
besarkan sendiri karena ibu Ju Ri meninggal saat dia kecil. Layaknya remaja-remaja
pada umumnya, Ju Ri tergila-gila dengan Kpop idol. Ju Ri adalah penggemar DOS
dengan June sebagai biasnya dan bercita-cita kelak menjadi Stylis mereka. Karena
disibukan dengan grup idolanya, Ju Ri jadi malas belajar. Saat dimarahi
ayahnya, Ju Ri meminta pembelaan Hye Jin, tapi Hye Jin malah membenarkan ayah
Ju Ri. “Nilai juga penting bagi seorang
siswa. Punya impian itu bagus. Kecuali untuk kasus yang sangat istimewa, kita
harus kuliah untuk mewujudkan impian itu”. Bagi Hye Jin yang relistis, seorang
anak memang sangat bagus memiliki hobi atau cita-cita. Namun usaha keras juga
diperlukan. Salah satunya mendapat nilai bagus agar bisa melanjutkan pendidikan.
Karena sering dimarahi ayahnya,
Ju Ri mencoba kabur dari rumah. Ju Ri tahu, bahwa ayahnya sangat peduli
padanya. Ayahnya berusaha menjadi sosok ayah plus ibu untuk Ju Ri. Tapi karena
itu, ayahnya menjadi lebih protektif. Sebagai orang tua, scene ini memuat
pembelajaran untuk saya. Anak juga membutuhkan ruang pribadi dan waktu untuk “bernafas”.
Setiap anak bertumbuh. Maka sebagai orang tua, kita perlu menerima perubahan
mereka dan mencoba memberi kesempatan pada anak untuk mandiri dan menjadi
dirinya sendiri.
Sebagai seorang anak, episode
terakhir adegan kematian nenek Gamri, menggores hati kita. Betapa waktu adalah
suatu hal yang tidak bisa kita prediksi dan kendalikan. Penyesalan anaknya
nenek Gamri, saat kematian ibunya menyesakkan dada kita. Saat ibunya masih ada,
ia jarang menghubungi ibunya karena sibuk dengan keluarga dan pekerjaan di
Seol. Saat ibunya mengabarinya akan memasang implan gigi, dia mengatakan sedang
tidak punya uang, karena anaknya sekolah di luar negeri. Sebagai putra
satu-satunya dia juga tidak ada di dekat ibunya saat dia akan meninggal. Dan sekarang,
saat ibunya meninggal dunia, bahkan untuk menangis pun dia merasa malu. “Awalnya aku pikir, dia akan tetap dihidupku
untuk waktu yang lama, karena itu aku terus menunda menemuinya. Ku pikir aku
masih punya banyak waktu. Tapi ternyata sudah habis. Saat orang tua meninggal,
anaklah yang paling menyesal dan paling tersedu-sedu. Tapi aku terlalu malu
untuk menangis”. Kita tak bisa memprediksi waktu. Adegan ini seolah
berpesan pada kita, “buat yang jauh dari orang tua, segera ambil handphone, video
call dengan orang tua. Bagi yang orang tuanya sudah berpulang, segera layangkan
do’a”.
Terima kasih, Gongjin. Desa tepi laut dengan nama fiktif yang hangat. Terima kasih Hometown Cha Cha Cha, atas
tanyangan yang menyembuhkan luka, atas pelajaran hidup, atas pemandangan yang
indah, atas soundtrack-sountrack yang bagus, atas quote-qoute yang berharga.
Akhir pekan beberapa bulan ini tidak sia-sia.
ooo detail sekali // membuka mata terhadap yg masih sinis dengan drama korea /banyak cara menyembuhkan luka salah satunya pulang ke "rumah" jgn lupa kita juga punya "rumah" abadi 💙
ReplyDeleteTul banget. "Rumah abadi", tempat pulang yang sesungguhnya.
Delete