Siapa yang tidak suka
makanan enak, perawatan tubuh, dan obat untuk menangkal penyakit? Ribuan tahun
lidah masyarakat kita dimanjakan oleh perpaduan bahan dan bumbu temuan nenek
moyang, hingga kini meja rias kita penuh dengan rangkaian kosmetik dan produk-produk
perawatan tubuh, serta selalu ada “sitawa
sidingin” ramuan penangkal semua tulah dan sakit.
Tapi makanan enak,
aneka “ingredients” dalam botol-botol
segala rupa, juga obat yang kerap kita balur dan telan itu, tak tersedia di
meja berkat ayunan tongkat ajaib atau rapalan mantra. Ada serangkaian alur dan
jalur yang harus terlewati, hingga semua itu menjadi bagian dari kehidupan
bangsa kita saat ini.
Serangkaian jalur yang
sekarang kita kenal dengan sebutan, Jalur Rempah.
Alkisah, dahulu kala
sebagai penghasil emas hijau terbaik ‘pala’, Pulau Run di Banda diperebutkan
oleh Belanda dan Inggris. Melalui perjanjian Breda, Inggris menyerahkan Pulau
Run kepada Belanda. Sebagai imbalannya, Belanda menyerahkan pulau Manhattan di
Amerika serikat -yang juga diperebutkan keduanya- kepada Inggris.
Tapi kali ini kita
tidak akan berkisah tentang pulau Run yang sudah melegenda itu. Kita akan
berkisah tentang sebuah pulau di Pantai Barat Sumatera. Pulau tempat Vereenigde
Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1666 mendirikan benteng untuk lojinya.
Loji pertama mereka di Pantai Barat Sumatera. Pulau Cingkuak namanya. Dalam
banyak literatur sejarah Pulau Cingkuak memiliki nama lain yaitu Chinco, Poulo Chinco, Poulo Chinko (dalam bahasa Portugis) Poeloe
Tjinko, Poelau Tjingkoek, dan Pulu Tjinkuk
(dalam bahasa Belanda).
Menurut data sejarah,
Pulau Cingkuak dipilih karena bisa sekaligus menjadi pelabuhan bagi kapal-kapal besar VOC, karena
pada saat itu, kapal-kapal besar milik VOC tersebut tidak bisa merapat ke teluk
Painan yang masih penuh dengan lumpur dan rawa yang dangkal.
Pulau dengan luas lebih
kurang lima hektar itu berada tepat di ujung bibir teluk Painan. Jika kita
memandanginya dari puncak Bukit Langkisau, pulau itu akan tampak serupa kapal
layar. Samudera Indonesia di depannya bagai halaman lapang terbentang. Secara
administratif pulau Cingkuak terletak di Kenagarian Painan Selatan Kecamatan IV
Jurai, Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat.
Hanya butuh 10 menit
menaiki Speedboat dari Pantai Carocok
kita akan berjumpa dengan Pulau Cingkuak. Selain memiliki pasir putih dan
beragam keindahan pantai lainnya, pulau Cingkuak juga menyimpan berbagai bukti
peninggalan sejarah berupa benteng Portugis, Prasasti Madam Van Kempen dan
situs dermasa lama.
Bercerita tentang Pulau
Cingkuak yang masuk ke dalam wilayah Painan, tidak bisa dilepaskan dari kisah
panjang Banda Sapuluah di Pesisir Barat Sumatera. Wilayah Banda Sapuluah
merupakan suatu wilayah konfederasi bandar atau pelabuhan yang berada di
sepuluh nagari. Pada masa dahulunya, Banda Sapuluah ini bagian dari wilayah
rantau Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu di dataran tinggi Minangkabau bagian
selatan. Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu sendiri adalah sebuah kerajaan yang
berdiri pada abad 16 di daerah Solok Selatan Sumatera Barat sekarang.
Wilayah Banda Sapuluah ini
dimulai dari Bungo Pasang, lalu langsung ke Batang Kapeh, terus ke selatan ada
Surantiah, Ampiang Parak, kemudian Kambang, Lakitan, Palangai, Sungai Tunu,
Punggasan, dan terakhir Aie Haji. Bandar-bandar itu hadir menjadi jalur
perdagangan penting terutama di Pantai Barat Sumatera. Maka tidak heran,
kemudian Kesultanan Aceh menguasai konfederasi sepuluh bandar perdagangan ini,
hingga ke Inderapura di selatannya pada abad ke-15 masehi.
Pada masanya, Banda Sapuluah
penting bagi jalur perdagangan rempah di Pantai Barat Sumatera. Pelabuhan-pelabuhan
di Banda Sapuluah menjadi penyalur komoditi dagang dari dataran tinggi
Minangkabau yang kemudian diangkut kapal-kapal dagang yang merapat di
bandar-bandar mereka. Komoditi dagang yang biasa ditampung di bandar-bandar
itu, di antaranya rempah seperti lada dan cengkeh, damar, rotan, hingga emas.
Pulau Cingkuak pada
masa itu merupakan pusat pelabuhan terbesar di Pantai Barat Sumatera. Kedatangan
Portugis ke Pulau Cingkuak, hampir bersamaan dengan ke datangan Portugis ke
Pulau Banda, Maluku.
Dari Pulau Cingkuak,
Portugis berusaha menguasai jalur perdagangan rempah di Pesisir Barat Sumatera.
Sisa Benteng Portugis yang ditemukan di pulau Cingkuak menjadi bukti pertahanan
Portugis menghadapi Kerajaaan Inderapura di bagian selatan, dan kedatangan
Belanda. Awalnya benteng itu terbuat dari kayu, lalu pada tahun 1679 benteng
batu dibangun sepanjang 5 meter denga ketebalan 75 cm. Benteng yang ada di Pulau
Cingkuak sebenarnya merupakan benteng Portugis, namun benteng tersebut menemui
puncak kejayaannya sebagai gudang lada pada masa VOC.
Kisah panjang tentang sejarah
kejayaan VOC di pulau Cingkuak tidak terlepas dari Perjanjian Painan/ Het Painans Tractaat. Yaitu
perjanjian yang dibuat oleh penghulu atau penguasa beberapa kota pantai di
Pesisir Barat Minangkabau dengan wakil VOC. Pada tahun 1662, perjanjian ini
ditandatangani di sebuah pulau tidak berpenghuni dekat Batang Kapeh. Tahun
1663, perjanjian itu dikukuhkan lagi di Batavia. Penghulu pesisir yang ikut
menanda tangani perjanjian ini adalah Sultan Mansyur Syah (putra Raja
Indrapura) yang merupakan perwakilan dari para penguasa dibagian selatan pantai
barat Minangkabau dan Orang Kayo Kaciak yang merupakan perwakilan dari Khalifah
Bandar (penguasa Tiku) dan juga mewakili para penghulu dari Padang. Isi
perjanjian ini adalah VOC akan membantu penguasa daerah pantai mengusir
musuh-musuh mereka, termasuk Aceh bila musuh-musuh tersebut menyerang dari
laut. Sebagai imbalan dari bantuan itu, maka para penghulu kawasan pesisir akan
memberikan hak berdagang kepada VOC di daerah yang berada dalam kekuasaannya
(Indrapura, Padang, Tiku, dan daerah lainnya) tanpa membayar bea.
Rencananya kantor
perwakilan dagang VOC akan didirikan di Padang, selain Tiku dan Pariaman. Akan
tetapi, rencana itu mendapat penolakan dari masyarakat Minang. Karena kelicikan
VOC, dengan alasan keamanan, loji VOC dipindahkan ke Pulau Cingkuak. Sejak saat
itu Pulau Cingkuak mengalami masa kejayaaannya sebagai pelabuhan kapal
Internasional yang sangat ramai.
Di pulau Cingkuak ini
Thomas Van Kempen, pernah tinggal. Thomas Van Kempen adalah kepala dagang VOC
untuk Pantai Barat Sumatera yang bertugas mengendalikan Pantai Barat Sumatera
dalam perdagangan lada. Lada kemudian diekspor langsung dari Pulau Cinkuak ke
India oleh VOC. Saat menetap di pulau Cingkuak Thomas van kempen membawa serta
keluarganya bahkan saking nyamannya tinggal di pulau indah tersebut, ia bahkan membuat
perkebunan anggur di dalam bentengnya.
Seratus tahun kemudian,
serangan dadakan dari pasukan Inggris menghancurkan ketangguhan benteng
pertahanan VOC di pulau Cingkuak dan serangan ini kemudian berlanjut untuk
menguasai benteng di Padang. Kapal Inggris yang mengangkut lebih dari 400 orang
tentara berhasil mengelabui pasukan keamanan di perairan pesisir barat Sumatera
dengan siasat memasang bendera Belanda dan Perancis, sehingga VOC menyangka
mereka adalah sekutunya.
Saat ini benteng portugis yang berupa sisa-sisa benteng yang tidak utuh -hanya berupa tembok pagar sebelah timur dan pintu utama di bagian barat- dan sebuah prasasti yang dituliskan dalam bahasa Perancis di atas makam Madam Van Kempen (Susanna Geertruij Haije, istri dari Thomas van Kempen yang wafat pada tahun 1767) masih bisa disaksikan di pulau Cingkuak. Disebelah timur Pulau Cingkuak juga masih terdapat sisa-sisa dermaga lama. Dermaga ini berupa susunan dari batu andesit. Kondisinya sudah rusak parah karena terkikis oleh air laut. Sisa-sisa dermaga yang masih dapat disaksikan saat ini berukuran panjang ±20 meter dengan lebar 3 meter.
Berkisah tentang
rempah, akan membuat kita menyadari bahwa rempah bukanlah sekedar komoditi
dagang. Tidak sekedar tanaman kering berwarna coklat berbau harum yang harus
tersedia di dapur rumah kita. Tapi lebih dari itu, kisah rempah penuh dengan sejarah,
pertukaran banyak budaya, silang siur jalur dagang, sampai menjadi identitas bangsa
kita hari ini.
Secara global, Jalur
Rempah mencakup berbagai lintasan jalur budaya dari timur Asia hingga barat
Eropa terhubung dengan Benua Amerika, Afrika dan Australia. Di Nusantara
sendiri sejak abad ke 14 (atau mungkin bahkan sebelumnya), saudagar dari
berbagai Negara datang ke Maluku untuk membeli rempah. Daerah-daerah yang
mereka lalui ini mengalami perubahan budaya. Persentuhan budaya dengan orang
asing membuat pertukaran budaya- termasuk kuliner- terjadi. Di Ranah Minang sendiri,
di ranah yang terkenal dengan masakan yang penuh rempahnya, tentu tak terlepas pula
dari persentuhan budaya. Bahkan makanan Minang sebenarnya banyak terpengaruh
oleh budaya India. Ini terjadi karena kontak antara pedagang Minangkabau, India
dan Afrika dahulunya. Arus dan angin yang arahnya bolak balik membawa kapal
pedagang berkeliling ke pelabuhan di ketiga tempat tersebut.
Hari ini, meski
kejayaan rempah yang sangat berharga melebihi emas itu sudah berada dimasa
lalu, tapi peninggalan-peninggalan yang tersisa masih bisa kita nikmati dan
lestarikan. Pokok-pokok pala dan lada masih tersisa di pulau Cingkuak. Halaman
rumah pengepul rempah di sekitar Nagari Painan masih penuh dengan jemuran
berbagai tanaman yang berbau harum itu. Rumah-rumah penduduk dan rumah makan,
masih mengepulkan asap mengolah setiap rempah menjadi makanan yang nikmat di
lidah. Suatu karunia Tuhan atas negeri ini, atas emas hijau yang kita miliki dimasa
lalu hingga hari ini.
Upaya revitalisasi
peninggalan-peninggalan sejarah ini sebaiknya terus dilakukan. Meski Pulau
Cingkuak sudah resmi menjadi situs cagar budaya, akan lebih baik juga jika
setiap tahunnya di Pulau Cingkuak juga diadakan pekan sejarah. Bisa berupa expo
rempah, lomba memotret, melukis pulau, membuat animasi dan sebagainya. Dengan
kegiatan ini, upaya mendekatkan dan mengenalkan sejarah pulau Cingkuak kepada
masyarakat dan khalayak luas akan lebih mudah terealisasi. Sehingga kita semua
akan semakin mengenal sejarah, asal-usul, dan menjadikannya identitas
kebanggaan kita. Bukankah bangsa yang besar, adalah bangsa yang menghargai
sejarah?. Dengan diadakannya acara seperti pekan sejarah ini, diharapkan kunjungan
wisatawan juga akan semakin meningkat, sehingga perekonomian masyarakat sekitar
menjadi semakin baik.
Kisah ini dengan
berbagai bukti peninggalan sejarahnya yang masih bisa kita temui, juga menjadi
bukti pasti bahwa Pulau Cingkuak di masa lalu adalah dermaga internasional penting
dan menjadi salah satu titik jalur rempah Nusantara di Pantai Barat Sumatera.
Salam Nusa dan Rara ! eh..! ☺
Foto : Yuka Fainka Putra
waw daging sekali isinya 😍
ReplyDelete