Saat mulai mengetik untuk membahas buku ini,
jantung saya berdebar-debar. Darimana saya harus memulainya? Apa tulisan ini
akan berbentuk review formal seperti tugas mereview buku saat saya kuliah dulu,
atau menulisnya dalam bentuk cerita atau storytelling saja?
Dibilang ringan, nggak, buku ini nggak seringan
bacaan buku puisi yang saya baca tempo hari atau kumpulan cerpen yang bikin
saya tersenyum puas saat menyelesaikan bacaan saya beberapa waktu saja.
Dibilang berat, nggak juga. Meski ini buku yang membahas filsafat, tapi nggak
serumit imej yang kita bayangin tentang filsafat loh. Buku ini lugas, dengan
bahasa yang mudah dipahami kaum milenial, dengan bahasa yang “dekat” dengan
kita.
Jadi, yuk mari. Kita bercerita tentang buku
keren ini.
Satu hal yang paling saya syukuri tahun lalu,
adalah bertemu dengan buku ini. Bahkan saya sempat mikir, kenapa baru sekarang
sih ketemu buku yang kayak gini. Yaa..tapi balik lagi, mungkin jalannya emang
begitu, scenario tuhan-nya ya begitu.
Setiap membaca buku, saya selalu mengawalinya
dengan membaca pengantar pengarangnya. Alasannya sederhana, saya ingin tahu dan
melihat dulu sudut pandang atau latar belakang penulisnya kenapa dia bikin buku
ini dan kenapa dengan berani menyebarluaskan “isi kepalanya”. :D
Buku ini berawal dari kondisi medis penulis yang
mendapati dirinya didiagnosis “Major
Depressive Disorder”. Bahasa kerennya “Depresi”.
Sebelum menemui psikiater, ternyata penulis
sudah mendapati dirinya adalah seorang pribadi yang penuh negative thinking dan overthinker
parah. Kalau kalian adalah tipe orang yang sama, kalian tau pasti bahwa orang
tipe ini nggak mudah atau nggak cocok dengan sekedar ajakan, “ayo doong positive thingking aja, pikirin yang
bagus-bagusnya aja”. Nggak, nggak bisa. Nggak bisa merubah pikiran negatif
menjadi pikiran positif kayak nyalain saklar lampu. Tik tak tik tak. Nggak.
Lanjut ya, ceritanya. Nah, sesudah mendapat
diagnosis tadi, si penulis kemudian diberi terapi obat-obatan. Dan terbukti
efektif. Karena masalah kesehatan mental memang bisa dipengaruhi oleh gangguan
kimia di otak. Artinya, saat depresi, obat-obatan modern bisa membantu.
Namuuuun, penulis ingin dirinya terlepas dari pengobatan itu. Tanpa disangka,
ketemulah dia dengan filosofi teras. Dia menemukan buku How to be a stoic karya Massimo pigliucci di sebuah toko buku.
Dia pun menemukan “terapi obatnya” sendiri.
Terapi obat dari psikiater otomatis berhenti lebih awal. Dan karena buku
tentang filosofi teras ini belum banyak ditemukan dalam bahasa Indonesia,
sehingga penulis merasa bahwa dia harus membagikan “obat” ini juga kepada
sesama anak bangsa. Berharap buku ini bisa bisa membantu pembaca menemukan
hidup yang lebih tenang, lebih bahagia, bebas dari kekawatiran dan kecemasan
tentang hidup.
Yuk lanjuuut!
Khawatir
Hidup dan khawatir, bagai dua sisi mata uang
yang saling nempel satu sama lain. Ya karena kita tau, bahwa hidup kita penuh
dengan ketidakpastian, makanya kita hidup dengan mengkawatirkan banyak hal.
Siapa sih yang nggak pernah kawatir di dunia
ini. Semua kita mengalaminya. Sejak kecil, khawatir mengintil sejauh manapun
kita “berjalan”. Saat memecahkan gelas, khawatir ibu marah, mau ujian khawatir
nilai jelek, nggak mau ikut ajakan teman, khawatir si teman nggak mau temanan
lagi. Mau kuliah, khawatir nggak lulus dijurusan idaman, udah kuliah khawatir
dosen galak, biaya kuliah dan sebagainya, udah jadi orang tua, khawatir perihal
anak, finansial dan bejibun kekhawatiran lainnya. Nggak bakal habis ampe kita jadi
debu.
Nah, si khawatir yang nggak mau pisah dengan
kita ini, -yang bikin galau, susah move on, bikin kita baperan- harus kita
kasih pagar pembatas, biar nggak melewati batas yang bakal bikin mental kita
jadi nggak sehat.
Caranya gimana? Caranya kita musti punya mental
yang tangguh dalam menghadapinya.
Trus cara punya mental yang tangguh gimana? Salah satunya punya fondasi filosofis yang kuat.
Mahluk Filsafat
Sebagai makhluk yang dibekali akal pikiran,
perasaan dan kesadaran, pencarian manusia akan hakikat dirinya tak ada
habisnya. Bejibun penelitian sains
tentang fisik dan psikis dilakukan untuk mengetahui semua hal tentang “apa,
siapa dan bagaimana” manusia itu sendiri.
Kegiatan berpikir, merasa dan menyadari dapat
dilakukan oleh semua orang dalam rangka menjalani kehidupan mereka sehari-hari.
Salah satu proses berpikir atas pencarian manusia akan dirinya dilakukan
melalui metode filsafat.
Banyak dari kita berasumsi bahwa filsafat
identik dengan renungan mendalam dan terkesan rumit. Kita diajari bahwa
berpikir filsafat berarti berpikir secara radikal, konseptual, koheren dan
konsisten, sistematik, serta integratif. Terkesan rumit sekali.
Padahal pada dasarnya manusia adalah makhluk
yang berfilsafat. Karena dengan berpikir filsafat membuat manusia memiliki
pengetahuan yang mendalam dan bermakna. Saat berhadapan dengan kenyataan
kehidupan, entah itu baik atau buruk, menyenangkan atau menyedihkan, individu
yang berfilsafat dapat menemukan sebuah “kenyataan” lain dibalik fenomena yang
dilihat dan dialaminya.
Prasangka kita akan rumitnya filsafat, bisa jadi
disebabkan kitanya yang salah dalam mempelajari filsafat, atau salah
mendapatkan guru filsafat. Sehingga kesannya kita alergi dengan kata filsafat
itu. Apaan sih, berfilsafat segala, sok filosofis deh lo! Hehe.
Namun buku yang akan saya review kali ini akan membuka kembali pikiran kita dalam memaknai filsafat dan “menemukan” diri kita lewat filsafat itu sendiri.
Filosofi teras
Kali pertama saya mendengar nama filsafat ini,
saya bingung. Teras? Pikiran saya mentok pada teras rumah tempat kita
menghabiskan waktu sore hari menikmati teh atau bergurau dengan teman sambil
mengomentari orang lewat. :D. Sebatas itu pemahaman saya tentang teras. Lalu
apa hubungannya filsafat dengan teras? Bukannya filsafat itu mengacu pada
aliran-aliran pemikiran seperti perenialisme, esensialisme, progresivisme,
rekonstruksionime dan isme-isme lainnya? Lah teras? Saya belum pernah dengar
filsafat terasisme nih. Sekali lagi, hehe.
Ternyata kata teras ini diterjemahkan dari
bahasa yunani, stoa. Stoa berarti
sebuah teras yang berpilar. Seorang filsuf mengajarkan filosofinya di sebuah
teras berpilar yang terletak di sisi Utara dari agora (tempat publik yang
digunakan untuk berdagang dan berkumpul). Semacam nongkrong, ngobrol-ngobrol di
alun-alun Kota Athena. Sejak itu pengikutnya dinamakan kaum stoa dan ajarannya
disebut stoisisme. Dan untuk memudahkan penyebutan, penulis buku ini memutuskan
menerjemahkan stoa sebagai teras. Dan jadilah Filosofi teras seperti judul buku
ini. Gituuuu…!
--------------------------
Buku ini diawali dengan sebuah hasil
survey online dengan 3.634 responden, tentang tingkat kekhawatiran mereka pada beberapa aspek hidup yang dirasa
relevan seperti sekolah/studi, relationship, pekerjaan/bisnis, sampai topik
kondisi sosial politik di Indonesia. Karena pikiran dan kesehatan tubuh
memiliki hubungan dua arah yang saling memengaruhi, maka bab ini juga memuat
wawancara dengan seorang spesialis kesehatan jiwa yang tergabung dalam Academy
of Psychosomatic Medicine (USA), Dr.Andri, Sp.KJ, FAPM.
Buku ini memuat 13 bab. Mulai dari Survei
Khawatir Nasional hingga Mempraktikkan Filosofi Teras.
Filosofi teras bermula dari kejadian naas yang
menimpa seorang pedagang kaya dari Siprus bernama Zeno, 300 tahun sebelum
masehi. Ya kira-kira 2.300 tahun yang lalu. Kapal yang membawa si pedagang
beserta barang-barang berharganya ini karam. Si Zeno kehilangan kekayaannya
plus terdampar pula di Athena. Sehingga ia luntang-lantung di kota yang bukan
rumahnya.
Jadi suatu hari, dia pergi ke toko buku dan
ketemu sebuah buku filsafat. Terus dia nanya ke pemilik toko buku dimana
kira-kira dia bisa ketemu para filsuf yang nulis buku filsafat itu. Kebetulan,
lewat Crates, seorang filsuf dan Zeno pun belajar filsafat darinya. Singkat
cerita, pak Zeno ini belajar filsafat pada banyak filsuf. Sampai disuatu waktu
dia ngajar filosofinya sendiri. Ngajarnya di teras berpilar yang terletak di
sisi Utara Agora (tempat publik yang digunakan untuk berdagang dan berkumpul).
Nah, dulu pengikutnya pak Zeno ini, disebut Zenonian. Kemudia seiring waktu
mereka menjadi orang-orang stoa.
Inti ajaran stoisisme ini adalah ajakan untuk selaras dengan alam dan
manusia. Eits, tapi perlu diingat, bahwa alam yang dimaksud disini bukan
hanya alam lingkungan “jangan pakai sedotan plastik”, “daur ulang”, atau
perihal “jangan buang sampah sembarangan”. Tapiii, alam secara keseluruhan.
Totalitas, Cosmos dan seluruh kehidupan yang ada. Bagi kaum stoa, selaras
dengan alam berarti selaras dengan Tuhan, juga selaras dengan manusia yang
artinya harmonis dengan orang lain. Stoa mengajarkan selaras dengan alam itu
harus menggunakan nalar.
Pemikiran punya posisi “kunci” dalam filsafat
ini. Cara untuk selaras dengan alam, adalah “pakailah nalarmu”. Banyak masalah
dalam hidup manusia, baik itu pertengkaran, kekhawatiran, kecemasan, julid di
medsos, baper, cepat panik, marah-marah liat postingan, atau apapun itu, akarnya
adalah dari tidak menggunakan nalar.
Jadi tujuan utama kita untuk belajar tentang filosofi teras ini, ya supaya kita bisa hidup bebas dari emosi negative. Hidup yang cuma sekali ini bisa lebih tentram, kita jadi mampu mengambil keputusan terbaik dalam situasi apapun, kita jadi lebih adil dan jujur memperlakukan orang lain, kita jadi lebih berani dan mampu menahan diri. Intinya, jadi lebih BAHAGIA.
Dikotomi Kendali
Stoisisme percaya dalam hidup ini, ada hal-hal yang
bisa kita kendalikan dan ada yang tidak. Tindakan dan opini orang lain
misalnya. Tidak bisa kita kendalikan, sebaliknya respon dan sikap kita atas
tindakan dan opini orang tersebut, bisa kita kendalikan.
Intinya, kita tidak bisa memilih situasi kita,
tetapi kita selalu bisa menentukan sikap (attitude)
kita atas situasi yang sedang kita alami. Karena sikap dan persepsi kita “ada
sepenuhnya di bawah kendali kita”.
Lalu nanti dari dikotomi kendali menjadi
trikotomi kendali. Ada hal-hal yang bisa kita kendalikan, ada yang sebagian
bisa kita kendalikan dan ada yang nggak bisa kita kendalikan.
Menurut filosofi ini, KEBAHAGIAAN sejati kita,
hanya bisa datang dari “things we can
control”, hal-hal yang di bawah kendali kita. Sebaliknya, kita tidak bisa
menggantungkan kebahagiaan dan kedamaian sejati kita pada hal-hal yang tidak bisa
kita kendalikan.
Terus kita harus pasrah aja gitu? BIG NO.
Analoginya gini, ada seekor anjing yang lehernya
terikat ke sebuah gerobak. Saat gerobak ini bergerak, si anjing punya dua
pilihan. Ngotot pergi berlawanan arah, dengan resiko bakal ngos-ngosan sampai
tercekik, atau memilih ikut arah dan kecepatan gerobak, menikmati pemandangan,
menggoda anjing-anjing lain, dan tetap merasa bahagia. Memang analoginya agak
kasar ya, bukan maksud menyamakan manusia dengan si guguk.
Saya membawakan analogi ini pada diri saya
sendiri. Memutuskan menjadi Ibu rumah tangga, yang kesehariannya di rumah,
terkesan membatasi aktifitas saya diluar pekerjaan mengurus anak dan rumah
tangga. Tapi saya punya pilihan. Mau bosan, kesel, sedih terkurung di rumah,
merasa insecure dan berbagai perasaan
negatif lainnya, atau memilih untuk menikmati “perjalanan” ini. Membersamai
tumbuh kembang anak yang menakjubkan setiap harinya, memiliki waktu yang banyak
untuk keluarga, memasakkan mereka makanan yang enak dan sehat, menjadi “guru
plus assessor” dalam pendidikan anak, punya waktu lebih buat meningkatkan
ibadah, juga bisa punya waktu nonton drakor favorit dan marathon Netflix.
Bahkan bisa punya waktu juga untuk membaca dan mereview buku ini. Saya punya
kendali dan pilihan atas situasi saya, dan tentu saja saya memilih yang kedua.
BERBAHAGIA.
Dikotomi atau trikotomi kendali ini, juga bisa
dipraktekkan dalam banyak situasi lainnya. Saat kita belajar keras untuk ujian,
berlatih sebaik-baiknya untuk pertandingan dan sebagainya. Kita bisa
memfokuskan energi dan kebahagian kita pada hal-hal yang ada dibawah kendali
kita, dan tidak stress atau pusing dengan hasil yang diluar kendali kita. Saat
hasil ternyata nggak sesuai dengan harapan kita, secara mental kita tidak
terlalu terpuruk.
Hal ini juga memupuk sikap rendah hati kita.
Mengakui bahwa outcome tidak ada di bawah kendali kita sepenuhnya juga penting
saat kita menikmati keberhasilan. Saat sedang sukses, kita tidak terlena bahwa
semua ini hasil “upaya saya sendiri”. Kesuksesan juga dipengaruhi oleh banyak
faktor di luar kendali kita, jadi kita nggak sombong. Nggak terpuruk saat gagal
dan nggak tepuk dada saat sukses. Gituuuu..!
Filosofi teras juga mengajarkan kita mengambil jeda untuk berdialog dengan diri sendiri.
Ya nggak harus sampai semedi atau meditasi juga. Saat kita mendapati suatu hal
yang nggak kita sukai atau yang bikin kita kesal atau marah, pertama sekali
kita boleh kok punya emosi itu. Kita boleh kesel, merasa marah, merasa jengkel,
boleh. Kita kesel sama komen-komen jahat haters misalnya, nggak apa-apa kita
kesel. Itu manusiawi, itu nature kita sebagai manusia.
Tapi yang perlu kita lakukan saat kesel atau
sebel itu adalah ngasih waktu ke diri kita untuk berpikir. Berdialog dengan
diri kita sendiri. Hal ini bikin kita nggak reaktif, nggak jadi orang emosian. Filosofi
teras akan ngomong sama kita “kalem, tenang”, kita nggak bisa ngendaliin mulut
atau jempol orang lain. Tapi kita bisa ngendaliin reaksi, respon kita. Mau
terus bales-balesan kata-kata menyakitkan, marah-marah tanpa ujung, atau kalem,
senyumin aja.
Mental health banget kaaan..!
Itu baru sebagian “cuplikan” dari buku setebal
298 halaman ini. Masih ada pembahasan tentang mengendalikan interpretasi dan
persepsi, memperkuat mental, hidup diantara orang yang menyebalkan, menghadapi
kesusahan dan musibah, menjadi orang tua, citizen
of the world, tentang kematian, dan mempraktikkan filosofi teras.
Pokoknya, buku ini must have item dan layak sekali untuk teman-teman baca. Karena emang
sebagus itu untuk kesehatan mental kita. Meski berasal dari 2300 tahun yang
lalu, tapi masih sangat relevan hingga tahun 2023 ini, filosofi teras ini tuh timeless
banget. Melintasi zaman dan sekat-sekat negara.
Yuk baca. :D