THEY WILL ALWAYS BE OUR BABIES

 

Hari ini status para orang tua di sosial media hampir terlihat seragam. Hari pertama anak masuk sekolah. Yap, ada yang hari pertama di sekolah baru, ada juga yang hari pertama di kelas baru. Tapi vibes-nya sama, di-behind the scene anak-anak yang mulai sekolah, ada orang tua yang terharu biru. Kaki-kaki kecil yang selama ini kita ciumi dengan gemas itu, sekarang sudah mengenakan sepatu sekolah, membawa mereka melangkah memasuki dunia yang lebih luas dari sekedar rumah.

Anak-anak selalu menempati tempat paling spesial dalam kehidupan kita. Sosok yang mau kita ajari, tapi terkadang malah mengajari kita banyak hal. Meski selalu didekat kita, anak-anak seolah tumbuh tanpa kita sadari. Baru kemarin rasanya mereka lahir ke dunia ini, eh hari ini ternyata sudah mulai sekolah saja. Perihal anak, kita selalu berkejaran dengan waktu.

Pagi ini saya teringat sebuah teori John Locke tentang tabula rasa. Filosofi yang mengatakan anak terlahir sebagai kertas kosong. Tabula rasa secara etimologi berasal dari bahasa Latin tabula dan rasa. Tabula berarti map atau atlas, sedangkan rasa berarti batu tulis, yang berarti "batu tulis bersih”. Sedangkan dalam bahasa inggris "blank slate", blank berarti kosong tanpa ada tulisan, sedangkan slate berarti batu tulis, dengan demikian bisa bermakna batu tulis kosong yang belum ada tulisan, John Locke menyebutnya sebagai kertas putih atau kertas kosong.

Lalu ada sebuah penelitian dilakukan dengan melibatkan bayi berusia 3 bulan menggunakan 3 boneka, anggap saja berwarna kuning, biru dan coklat. Boneka yang kuning, dijadikan sebagai antagonis yang selalu ”menjahati” boneka biru. Sedangkan boneka coklat dijadikan sebagai protagonis yang selalu melindungi boneka biru, memeluk dan mengelus boneka biru. Beberapa waktu kemudian bayi-bayi itu diberikan ketiga boneka, dan mereka semua memilih boneka coklat setelah memandang lama boneka kuning.

Penelitian ini menjadi pembanding atau pembantah teori Jonh Locke tentang tabula rasa. Ternyata anak-anak kita tidak terlahir sebagai kertas kosong, tapi mereka lahir dengan fitrah bawaan.  Al-Ghazali memaknai fitrah anak sebagai makhluk yang telah dibekali potensi kebaikan dan potensi untuk beriman kepada Allah. Ada benih-benih kebaikan dalam sosok-sosok mungil itu.

Benih-benih kebaikan itulah yang akan dipupuk dengan pendidikan. Berharap sekolah dan guru akan menjadi fasilitator dalam menumbuhkembangkan benih itu menjadi ”pohon” yang berakar kuat, berdaun lebat dan berbuah manis, yang bermanfaat untuk umat manusia lainnya.

Semoga jalan yang akan ditempuh anak-anak kita kedepannya adalah jalan yang penuh dengan hal-hal baik, bertemu dengan guru yang baik, teman yang baik, dan pelajaran-pelajaran yang berharga.

Meski terus bertumbuh besar dan kelak dewasa, satu hal yang akan terus kita rasa sebagai orang tua, that no matter how big they grow, there are no if's or but's or maybe's, they will always be our babies.

Selamat hari pertama sekolah, untuk anak-anak hebat dan orang tua-orang tua yang hebat pula. Hwaiting !!

No comments:

Post a Comment

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

  Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwa...