DESEMBER

 

Bagi saya, Desember adalah bulan yang selalu terasa istimewa -lebih seperti sebuah hari raya. Setiap kali Desember tiba, perasaan saya bercampur aduk. Ada kegembiraan, harapan, sekaligus keheningan yang mengajak saya merenung. Lahir di akhir bulan, di penghujung tahun, membuat saya terbiasa melakukan “itung-itungan” tentang apa saja yang telah terjadi selama setahun ini. Membuat saya merefleksi dan mengkaleidoskop perjalanan saya kembali.

Rasanya seperti baru kemarin tahun 2024 menyapa, dan sekarang, hanya menghitung hari hingga tahun berganti lagi. Tentu saja, saya tidak berani berkata bahwa "tahun ini berlalu begitu saja." Tidak. Bagaimana mungkin saya mengatakan itu, ketika setiap dari 356 hari ini terisi dengan begitu banyak cerita, pengalaman, dan pelajaran? Hari-hari itu tidak sekadar berlalu, mereka adalah perjalanan yang saya tempuh dengan keberanian, meskipun tidak selalu mudah. Dan Desember bagi saya bukan sekadar penutup tahun, tetapi sebuah panggung refleksi untuk melihat kembali bagaimana saya bertahan, tumbuh, dan berbahagia.

Kalianpun akan merasa begitu juga bukan? Siapa bilang tahun berlalu begitu saja, saat hari-hari kita penuh dengan drama. Bagi ibu rumah tangga seperti saya, hari-hari itu berlalu dengan padat. Bagun sebelum seisi rumah terjaga. Nyuci piring yang tak terhitung kalinya. Mabok dengan cucian, jemuran dan sterikaan. Belanja, foodprep, masak, agar anak bisa makan enak dan bergizi tiga kali sehari. Nyapu, ngepel, nguras bak mandi, daaaaaaan ”pekerjaan sebanyak bulu kucing” -seperti yang ibu saya dulu katakan- menunggu penyelesaian dari kita hari demi hari. Status Ibu rumah tangga yang sering kali dicap ”Tidak Bekerja” itu, aiiiih, kalian lanjutkan saja narasinya!

Ulang tahun saya hanya selisih satu hari dengan hari ibu. Karena itu refleksi atas usia dan status saya sebagai ibu, membuat air mata saya merebak sepanjang mengetik tulisan ini.

Sebagai Mita, yang hari ini genap berusia tiga puluh lima tahun, saya ingin menatap cermin kehidupan dengan penuh syukur. Saya yang berdiri di depannya hari ini adalah versi terbaik dari diri saya -bukan karena tanpa cacat atau sempurna, tetapi karena saya terus berusaha menjadi lebih baik. Bagi saya, ulang tahun artinya membuka bab selanjutnya dalam buku kumpulan cerita hidup saya. Esok akan ada hal-hal dan tantangan baru, dan saya tentu saja akan terus mengusahakan untuk menjadikan Mita di masa depan sebagai versi yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih bahagia.

Tahun ini telah menjadi guru terbaik bagi saya, mengajarkan banyak hal berharga tentang hidup dan kebahagiaan sederhana. Saya belajar untuk mensyukuri hal-hal kecil yang sering terlewat dalam hiruk-pikuk rutinitas menjalani peran saya -seperti kehangatan secangkir teh di pagi hari, atau momen-momen sederhana saat hati saya berbunga dan bahagia ngefansgirl sebagai Army -Oiya, V bias saya di BTS juga berulangtahun selang seminggu setelah ini. Ada juga kebahagiaan sederhana dari menonton drama Korea atau drama Cina favorit saya, hingga tawa lepas anak dan suami saya saat mereka asyik bermain game bersama.

Hal-hal kecil ini mungkin tampak sepele, tetapi mereka adalah pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu harus berasal dari sesuatu yang besar. Kebahagiaan justru sering hadir di sela detik-detik kehidupan yang biasa dan sederhana. Tahun ini, saya belajar bahwa merayakan momen-momen seperti itu adalah cara terbaik untuk mencintai hidup dan diri sendiri. Enjoy the little things, seperti tulisan dihelm saya 😅

Saya juga belajar merayakan setiap pencapaian, besar ataupun kecil, karena bagi saya, setiap langkah yang saya tapaki layak untuk dihargai dan dirayakan. Saat gagal, tentu saja saya harus berdamai. Sebab meskipun gagal, artinya saya sedang berproses.

Berusaha menjadi Mita yang bahagia, bukan karena segalanya selalu berjalan mulus, tetapi karena saya memilih untuk fokus pada hal-hal yang bisa saya kendalikan. Hidup, seperti air yang mengalir, tak selalu jernih atau tenang. Namun, jika masih bisa "baminyak aia” tentu saya hanya akan menampilkan yang baik-baiknya saja.

Pun tidak semua hari dipenuhi pelangi. Ada saat-saat di mana hujan deras membasahi hati saya. Sepanjang tahun ini, saya telah bekerja keras, untuk keluarga, untuk impian, dan untuk diri saya sendiri. Jadi, di usia ini, saya akan berterima kasih pada diri sendiri: Sugohaesseo, Mita. Kamu telah melakukannya dengan baik. Terima kasih sudah bertahan. Terima kasih sudah percaya bahwa hidup ini, meskipun tidak sempurna, tetap indah untuk dijalani.

Sebagai seorang “ibu”, sering kali saya bertanya pada diri sendiri, "Bagaimana sebenarnya saya bisa mengukur peran ini?" Apakah ada alat atau metode yang cukup valid untuk mengevaluasi perjalanan saya sebagai seorang ibu? Atau, lebih jauh lagi, apakah layak seorang ibu dihakimi dengan label "berhasil" atau "gagal"? Lalu, apa indikator keberhasilan itu? Apakah ketika anak makan tiga kali sehari dengan lahap, saya bisa berbangga hati sebagai ibu yang sukses? Atau mungkin ketika rapor sekolah menunjukkan anak saya jadi sang juara kelas, saya bisa menyematkan medali tak kasatmata untuk diri saya sendiri?

Refleksi ini sering kali terasa seperti labirin -berliku dan penuh keraguan. Menjadi ibu bukanlah soal mencapai standar tertentu, melainkan sebuah perjalanan yang penuh dengan cinta, dan pembelajaran. Ada saat-saat di mana saya merasa puas karena telah memberi yang terbaik, tetapi di lain waktu, bayangan keraguan itu muncul, mempertanyakan apakah yang saya lakukan sudah cukup.

Namun, semakin saya memikirkannya, semakin saya sadar bahwa menjadi ibu adalah tentang kehadiran, bukan kesempurnaan. Anak saya mungkin tidak akan mengingat apa saja yang sudah saya belikan untuknya, tetapi ia akan mengingat kecupan dan pelukan hangat setiap harinya. Ia mungkin tidak mencatat seberapa sehat menu makannya, tetapi saya yakin ia akan selalu mengingat kebahagiaan saat saya menyajikan makanan kesukaannya bahkan kadang menyuapinya.

Mungkin, menjadi ibu tidak perlu dinilai seperti itu. Tidak ada satu pun anak yang lahir dengan buku manual, dan tidak ada ibu yang dilengkapi dengan sertifikat kompetensi. Keibuan adalah perjalanan yang tak memiliki akhir, sebuah hubungan yang terus berkembang, penuh dengan ketidaksempurnaan yang justru membuatnya menjadi sempurna.

Di penghujung tahun ini, saya juga ingin menyematkan harapan sederhana untuk diri saya sendiri. Tidak perlu yang muluk-muluk, hanya ingin terus menjadi Mita yang tidak takut mencoba. Mita yang lebih baik, lebih hadir, dan lebih tulus dalam menjalani setiap peran. Kalau bisa, Mita yang lebih rajin olahraga, lebih sering menabung, dan lebih kaya sehingga nggak perlu numpuk wishlist tanpa check out di keranjang belanja online. Tapi, yah, kita lihat nanti, ya! Yang penting, setiap langkah di tahun depan, saya ingin menjalaninya dengan keberanian yang sama seperti tahun ini.

Desember selalu punya tempat istimewa di hati saya. Ada sesuatu yang berbeda dengan bulan ini, suasana akhir tahun yang tak mampu saya bahasakan dengan baik, seperti teman lama yang datang membawa cerita-cerita hangat. Meski tidak ada salju di sini, hawa Desember selalu punya caranya sendiri untuk membuat hati saya penuh. Mungkin karena di bulan ini, saya selalu diingatkan akan waktu, akan bagaimana saya bertumbuh, dan bagaimana hidup ini terus berjalan.

Dan, bicara tentang waktu, saya juga ingin mengangkat topi untuk semua ibu di luar sana. Peran kita memang sering kali tidak terlihat, bahkan dianggap remeh. Tapi siapa pun yang pernah menjalani hari-hari penuh pekerjaan rumah tangga, mengurus anak, dan tetap mencoba waras dan menjadi versi terbaik dirinya pasti tahu, tidak ada pekerjaan yang lebih berat daripada ini. Jadi, untuk kita semua, ibu-ibu hebat, mari bertepuk tangan untuk diri kita sendiri. Kita pantas untuk itu!

Anak saya, tanpa dia sadari, sering kali menjadi guru kehidupan saya. Dari senyum polosnya, saya belajar bahwa kebahagiaan itu sederhana. Dari pertanyaannya yang kadang tak terduga, saya diingatkan untuk melihat dunia dengan penuh rasa ingin tahu. Dan dari celotehan dan argumen-argumennya saat menjawab perkataan saya, saya belajar bahwa saya harus melembutkan suara, harus masuk akal memberi jawaban, karena saya sedang berhadapan dengan fotokopi diri saya sendiri. Ia tidak hanya mengisi hari-hari saya, tetapi juga menguatkan alasan saya untuk terus maju, belajar dan bertumbuh.

Oh, dan kalau ada yang berpikir bahwa menjadi ibu rumah tangga itu monoton, percayalah, drama rumah tangga kami cukup untuk membuat serial Netflix. Ya, hidup ini tidak pernah membosankan!

Dengan semua itu, saya tahu, tahun ini bukan hanya tentang apa yang telah saya capai, tetapi juga tentang bagaimana saya bertahan, tertawa, dan belajar. Sugohaesseo, Mita. Kamu sudah melakukannya dengan baik. ❤️

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

 

Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwal kelas saya selalu setelah zhuhur. Jadi saya memaklumi banyak diantara mereka yang fokusnya mulai terbagi dengan kantuk dan energi yang sudah terkuras sejak pagi. Namun kemudian, saat jadwal saya pindahkan ke jam pagi sekitar pukul 09.00-12.00 WIB, masih banyak diantara mereka yang menguap disela-sela penjelasan saya yang “sedikit bersemangat”. Hal ini membuat saya merefleksi kembali cara saya mengajar. Slide-slide yang panjang –karena memang butuh penjelasan detail- saya persingkat dan diselingi dengan kuis atau “maota”, ngobrol ngalor ngidul diluar tema sekalipun. Saat mengajar di mata kuliah Desain Pembelajaran Berbasis IT, alih-alih saya sendiri yang “berbusa-busa” mengajari sebuah tutorial, saya merasa lebih efektif menampilkan video tutorial 5-9 menit yang dapat diulang putar lagi. Awalnya saya bertanya-tanya, mengapa rentang fokus atau perhatian mereka makin singkat? Toh mereka bukan anak-anak usia 6-8 tahun yang rentang fokusnya hanya 10-15 menit. Mereka adalah mahasiswa dengan rentang umur 16 tahun ke atas yang menurut brainbalancecenters.com harusnya punya rentang fokus 32 hingga 48 menit.

Setelah “membaca” -maksudnya juga mendengar pendapat para ahli via beberapa diskusi podcast- saya mulai dapat kesimpulannya. Generasi yang sedang ada di depan saya adalah generasi yang terbiasa dengan informasi instan. Generasi Youtube short, generasi reel Intagram, generasi konten yang sering kali dibatasi hanya beberapa menit. Saya kemudian juga mendapati data bahwa rentang perhatian dalam konteks media sosial atau konten digital, GenZ  hanya memiliki rentang perhatian rata-rata 8 detik, mirip dengan ikan mas. Sedangkan dalam konteks pembelajaran atau pembicaraan yang lebih mendalam atau presentasi yang lebih panjang, usia 16 tahun ke atas mungkin bisa bertahan lebih lama (30-40 menit) dengan fokus penuh, meskipun tetap ada penurunan perhatian setelah beberapa saat.

Artinya apa? Artinya sebagai dosen, saya harus memutar otak bagaimana caranya memanfaatkan durasi yang lebih pendek (5-10 menit) agar pembelajaran tetap menarik dan sesuai dengan rentang perhatian yang lebih singkat yang dimiliki generasi muda, tanpa kehilangan kualitas materi. Salah satu metode yang lagi populer adalah microlearning, atau pembelajaran singkat.

Apa Itu Microlearning?

Microlearning adalah teknik pembelajaran yang memecah materi besar menjadi potongan-potongan kecil, yang mudah dicerna dalam waktu singkat. Biasanya materi microlearning disajikan dalam video singkat, infografis, atau modul interaktif yang dapat diakses kapan saja.

Contoh sederhananya, jika kita mengajar tentang perkembangan kurikulum, daripada langsung membahas semua teori dalam satu jam, kita bisa memecahnya jadi beberapa bagian pendek, seperti “Teori Kurikulum Tradisional” dan “Teori Kurikulum Modern”.

Terus untungnya apa kalau gaya ngajar kita pakai teknik Microlearning?

Yang Pertama, Fokus Lebih Terarah.

Dengan durasi pendek, mahasiswa lebih mudah fokus pada satu topik spesifik. Ini mengurangi kemungkinan mereka merasa kewalahan dengan informasi yang berlebihan.

Kedua, Mudah Diakses dan Diulang

Jika menggunakan video singkat misalnya, memungkinkan mahasiswa untuk mengulang materi kapan saja. Jika ada konsep yang belum mereka pahami, mereka bisa dengan mudah menonton lagi.

Lalu teknis/implementasi Microlearning itu seperti apa?

Untuk mengintegrasikan teknik microlearning dalam proses pengajaran, saya biasanya seperti ini :

1.   Pecah Materi Menjadi Modul Kecil

Memecah materi besar menjadi bagian kecil dan interaktif, sambil memanfaatkan berbagai media pembelajaran berbasis IT.

2.   Gunakan Slide dan Infografis Ringkas

Saya menggunakan slide presentasi yang padat dan infografis untuk mengilustrasikan konsep-konsep yang lebih kompleks dalam pengembangan kurikulum. Setiap slide bisa menyoroti satu poin penting, dengan visual yang menarik.

3.   Kuis Interaktif

Setelah setiap modul, buat kuis singkat (misalnya 3-5 pertanyaan) menggunakan platform seperti Google Form, Kahoot, Quizizz atau Baamboozle. Kuis ini akan mengukur pemahaman mahasiswa dan membuat mereka lebih terlibat dalam pembelajaran.

4.   Video Tutorial tentang Desain Pembelajaran Digital

Saat mengajar Mata Kuliah Desain pembelajaran berbasis IT, saya biasanya menayangkan  video tutorial pendek (5-10 menit) yang menunjukkan cara mendesain pembelajaran berbasis teknologi. Misalnya, bagaimana menggunakan LMS (Learning Management System) atau tools seperti Google Classroom, Moodle, atau Edmodo dalam desain pembelajaran. Juga memperkenalkan berbagai tools pembelajaran yang bisa digunakan, seperti padlet, canva, kahoot, atau aplikasi untuk membuat kuis. Video-video ini tidak lebih dari 5-10 menit, memberikan penjelasan praktis tentang bagaimana cara menggunakannya di kelas.

5.   Sesi Interaktif dengan Mind Mapping

Saat mengajar Mata kuliah Strategi Pendidikan Anak Usia Dini misalnya, saya sering membuat peta konsep strategi pembelajaran. Misalnya : Strategi pembelajaran metakognitif, Strategi Jigsaw, Strategi pembelajaran diferensiasi, dan lain sebagainya. Lalu melakukan Pembahasan Studi Kasus karena banyak diantara mereka yang juga sudah menjadi guru di PAUD.

6.   Video contoh cara mendongeng.

Dibandingkan ”berceramah” cara mendongeng yang baik untuk anak usia dini, saya biasanya menampilkan video youtube dongeng anak-anak singkat, seperti Video Kak Ojan. Dan membahas tekniknya bersama mahasiswa.

7.   Menggunakan AI secara Real-time.

Contohnya saat mata kuliah Kewirausahaan. Alih-alih menampilkan slide yang panjang pada sub materi Studi kasus kewirausahaan, saya biasanya langsung membukan ”Scribd”, mendowload artikel studi kasus dan pemasalahannya, dan langsung membahasnya bersama dengan ChatGPT atau perplexity atau Claude dan meminta mahasiswa menanyakan apa saja untuk langsung dijawab oleh AI tersebut. Memang tidak ada yang sempurna, tapi cukup membantu agar mereka tetap melek dan fokus.

Masa Depan Microlearning dalam Pendidikan

Microlearning tampaknya akan terus mengalami perkembangan, terutama dengan preferensi generasi digital saat ini yang lebih menyukai konten singkat, padat, dan mudah dipahami. Teknologi seperti Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Kecerdasan Buatan (AI) diperkirakan akan memperluas cakupan microlearning secara signifikan. Dengan adanya teknologi ini, bukan hanya memungkinkan pembelajaran menjadi lebih interaktif, tetapi juga dapat memberikan pengalaman yang seolah-olah "membawa" peserta didik ke dalam materi. Misalnya, siswa dapat menjelajahi lingkungan virtual yang relevan dengan topik yang mereka pelajari atau bahkan menggunakan simulasi AI yang berfungsi sebagai asisten pembelajaran pribadi, memberikan panduan atau kuis sesuai kebutuhan mereka. Dengan perkembangan ini, microlearning bisa menawarkan pengalaman yang jauh lebih menarik dan personal, menjadikan pembelajaran tidak hanya efektif tetapi juga lebih immersif bagi siswa.

Setiap teknik pembelajaran punya kelebihan dan kekurangannya. Begitu pula Teknik Microlearning ini. Namun, upaya ini semoga bisa menjadi salah satu solusi efektif di tengah tantangan pendidikan modern. Harapannya, ini bisa membuka pintu bagi banyak peserta didik untuk belajar dengan cara yang lebih relevan dan “nyambung” dengan gaya hidup mereka.

Hari Santri 2024 : Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan

Assalamu’alaikum! Udah pada tau belum kalau tanggal 22 Oktober itu Hari Santri Nasional? Yup, hari spesial buat para santri di seluruh Indonesia. Kali ini, kita bakal ngobrol santai tapi serius tentang peran penting santri dalam membangun negeri kita tercinta. Tema tahun ini keren banget nih: "Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan". Jadi, yuk kita cerita bareng-bareng!

Sejarah Singkat Hari Santri

Sebelum kita nyemplung lebih jauh, ada baiknya kita flashback dikit ke sejarah Hari Santri. Tanggal 22 Oktober dipilih bukan tanpa alasan lho, guys. Tanggal ini punya makna historis yang kuat banget.

Pada 22 Oktober 1945, atau sekitar dua bulan setelah Indonesia merdeka, para ulama dan santri se-Indonesia yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama (NU) mengeluarkan resolusi yang dikenal sebagai "Resolusi Jihad". Resolusi ini mengajak seluruh umat Islam untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Keren kan?

Nah, berdasarkan sejarah heroik ini, Presiden Joko Widodo menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Ini sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan peran para santri dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Peran Besar Pesantren dalam Membangun Bangsa

Bicara soal santri, nggak bakal bisa lepas dari pesantren. Pesantren udah jadi bagian penting dari sejarah pendidikan di Indonesia sejak lama banget. Menurut data dari Kementerian Agama tahun 2022, ada lebih dari 27.000 pesantren di Indonesia dengan jumlah santri mencapai 4,8 juta. Wow, banyak banget ya!

Pesantren tentu saja bukan cuma tempat belajar agama. Pesantren punya peran besar dalam membentuk karakter dan kepribadian santri. Di pesantren, para santri nggak cuma belajar ilmu agama, tapi juga nilai-nilai kehidupan yang penting banget, kayak kemandirian, kedisiplinan, kepemimpinan dan kebersamaan dalam keberagaman.

Nah, yang bikin pesantren makin keren, mereka juga berkontribusi dalam menjaga keutuhan NKRI dan mempromosikan nilai-nilai toleransi. Pesantren mengajarkan Islam yang moderat dan sesuai dengan konteks keindonesiaan. Ini penting banget buat menjaga persatuan di tengah keberagaman Indonesia.

Kurikulum Pesantren: Antara Tradisi dan Modernitas

Ngomongin pesantren, pasti kepikiran dong soal kurikulumnya. Sebagai mantan santri dan dosen kurikulum, saya semangat banget nih membicarakan sub tema ini. Nah, yang bikin pesantren makin menarik, kurikulum pesantren tuh kombinasi antara pelajaran agama dan pelajaran umum. Keren kan?

Menurut data dari Kementerian Agama, sekitar 70% pesantren di Indonesia udah mengadopsi kurikulum yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum. Ini artinya, selain belajar kitab-kitab kuning dan ilmu-ilmu keislaman, para santri juga belajar matematika, sains, bahasa asing, dan pelajaran umum lainnya. Jika berkunjung ke pesantren, kalian akan kagum ngeliat effort lebih yang dilakukan santri dalam mmpelajari kombinasi ilmu-ilmu tersebut.

Beberapa pesantren modern bahkan udah mulai mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran mereka. Ada yang pake e-learning, ada juga yang mulai ngajarin coding dan keterampilan digital lainnya. Ini buat memastikan para santri siap menghadapi tantangan di era digital.

Tapi jangan khawatir, meskipun ada sentuhan modernitas, pesantren tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang jadi ciri khas mereka. Pesantren Musthafawiyah tempat saya nyantri dulu contohnya, masih ngaji Kitab I'anatut Tholibin dengan metode pembelajaran bandongan -Ayahanda Guru membacakan, menerjemahkan, dan menjelaskan kitab, sedangkan santri mendengarkan dan mencatat- dan bahtsul masail. Bahtsul masail adalah metode pembelajaran yang melibatkan diskusi dan argumentasi untuk memahami hukum Islam. Dalam metode ini, para santri bebas mengajukan pertanyaan dan pendapatnya, dan kyai atau ustadz melakukan penilaian selama kegiatan berlangsung.

Tantangan Santri di Era Digital

Nah, sekarang kita masuk ke bagian yang seru nih. Di era yang serba digital kayak sekarang, tantangan yang dihadapi santri juga makin kompleks. Yuk, kita bahas beberapa di antaranya:

1.   Adaptasi Teknologi: Santri dituntut untuk bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi yang super cepat. Mereka harus bisa memanfaatkan teknologi untuk mendukung pembelajaran dan dakwah, tapi tetap menjaga nilai-nilai keislaman.

2.   Hoax dan Informasi Menyesatkan: Di era informasi yang super cepat ini, santri harus punya kemampuan untuk memfilter informasi. Mereka harus cerdas dalam literasi digital agar bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang hoax atau menyesatkan.

3.   Radikalisme Online: Internet bisa jadi sarana penyebaran paham radikal. Santri harus punya pemahaman agama yang kuat dan moderasi beragama yang baik untuk menangkal paham-paham ekstrem.

4.   Persaingan di Dunia Kerja: Santri harus siap bersaing di dunia kerja yang makin kompetitif. Mereka perlu punya skill yang relevan dengan kebutuhan industri.

5.   Menjaga Identitas: Di tengah arus globalisasi, santri punya tantangan untuk tetap menjaga identitas mereka sebagai muslim Indonesia yang moderat.

Peluang Emas buat Santri

Tapi jangan pesimis dulu, guys! Di balik tantangan-tantangan tadi, ada banyak peluang emas yang bisa dimanfaatin sama para santri. Nih, beberapa di antaranya:

1.   Start-up Berbasis Syariah: Perkembangan ekonomi syariah buka peluang besar buat santri untuk terjun ke dunia start-up berbasis syariah. Misalnya, bikin aplikasi fintech syariah atau e-commerce produk halal.

2.   Content Creator Islami: Era digital buka peluang buat santri jadi content creator yang menyebarkan nilai-nilai Islam dengan cara yang kekinian. Bisa lewat YouTube, Instagram, atau platform lainnya.

3.   Diplomasi Budaya: Santri bisa jadi duta budaya Indonesia di kancah internasional. Mereka bisa memperkenalkan Islam moderat ala Indonesia ke dunia.

4.   Industri Halal: Perkembangan industri halal di dunia buka peluang besar buat santri. Mereka bisa terlibat dalam pengembangan produk halal, dari makanan sampai kosmetik.

5.   Edutech Islami: Ada peluang buat santri untuk mengembangkan platform pendidikan Islam berbasis teknologi. Ini bisa jadi solusi buat pemerataan pendidikan Islam di Indonesia.

Menyambung Juang: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Nah, setelah kita bahas semua tadi, pertanyaannya sekarang: terus kita bisa ngapain nih buat dukung para santri? Yuk, simak beberapa ide berikut:

1.   Dukung Produk Santri: Kalo ada produk atau jasa yang dihasilkan santri, yuk kita dukung! Beli produknya, pake jasanya. Ini bisa jadi bentuk dukungan konkret kita.

2.   Berbagi Ilmu: Buat yang punya keahlian khusus, misalnya di bidang teknologi atau bisnis, bisa sharing ilmu ke pesantren-pesantren. Bikin workshop atau pelatihan gitu.

3.   Kolaborasi: Buat yang punya bisnis atau proyek, coba deh kolaborasi sama santri atau pesantren. Ini bisa jadi win-win solution.

4.   Beasiswa: Kalo mampu, kenapa nggak bikin program beasiswa buat santri? Bisa dalam bentuk beasiswa pendidikan atau pelatihan skill tertentu.

5.   Spread Awareness: Share informasi positif tentang santri dan pesantren di media sosial. Ini bisa membantu mengubah persepsi masyarakat tentang santri.

Merengkuh Masa Depan: Visi Santri Indonesia

Kita udah bahas banyak hal nih, dari sejarah sampai peluang di masa depan. Nah, sekarang saatnya kita bayangin, seperti apa sih visi santri Indonesia di masa depan?

Santri Indonesia di masa depan adalah sosok yang:

1.   Berilmu dan Beriman: Punya pemahaman agama yang dalam, tapi juga menguasai ilmu-ilmu modern.

2.   Teknologi Savvy: Melek teknologi dan bisa memanfaatkannya untuk kebaikan.

3.   Entrepreneur Sejati: Punya jiwa wirausaha yang kuat, menciptakan lapangan kerja bukan cuma cari kerja.

4.   Diplomat Budaya: Jadi duta Indonesia di kancah internasional, memperkenalkan Islam moderat ala Nusantara.

5.   Agen Perubahan: Aktif berkontribusi dalam pembangunan bangsa, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya.

6.   Penjaga Toleransi: Menjadi garda depan dalam menjaga kerukunan dan toleransi di tengah keberagaman Indonesia.

Nah manteman, kita udah ngobrol panjang lebar nih tentang Hari Santri dan peran penting santri dalam membangun bangsa. Dari sejarah heroik di masa lalu, tantangan di masa kini, sampai peluang di masa depan.

Intinya, santri punya potensi besar untuk jadi motor penggerak perubahan di Indonesia. Dengan ilmu agama yang kuat, ditambah penguasaan ilmu modern dan teknologi, santri bisa jadi sosok yang "nyambung juang" para pendahulu sekaligus "merengkuh masa depan" dengan optimis.

Yuk, kita sama-sama dukung para santri untuk terus berkarya dan berkontribusi buat bangsa. Karena kemajuan Indonesia adalah tanggung jawab kita bersama. Santri maju, Indonesia jaya!

Gimana menurut kalian? Ada pengalaman atau pendapat tentang peran santri yang mau dibagikan? Yuk, share di kolom komentar!

 

Referensi:

1. Kementerian Agama RI. (2022). Statistik Pesantren Indonesia 2022.

2. Azra, A. (2020). Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana.

3. Dhofier, Z. (2019). Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia. Jakarta: LP3ES.

4. Lukens-Bull, R. (2018). Islamic Higher Education in Indonesia: Continuity and Conflict. New York: Palgrave Macmillan.

5. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri Nasional. 

A Year in Reflection: Setahun Genosida Israel di Gaza

 

Tepat setahun yang lalu, pada 7 Oktober 2023, konflik Israel-Palestina kembali memanas setelah serangan Hamas ke wilayah Israel. Sejak saat itu, Israel melancarkan serangan balasan yang brutal ke Jalur Gaza, menimbulkan korban jiwa dan kehancuran masif hingga genosida. Menjelang 100 hari serangan, IDF terekam telah menjatuhkan lebih dari 45 ribu bom di Gaza dengan berat lebih dari 65 ribu ton. Jumlah itu telah melampaui kekuatan bom nuklir yang dijatuhkan Amerika Serikat ke Hiroshima pada 1945. Kantor media Palestina mendokumentasikan penggunaan sekitar sembilan bom dan rudal yang dilarang secara internasional oleh Israel terhadap warga sipil, anak-anak dan wanita. Bom-bom yang diidentifikasi oleh kantor tersebut termasuk “bom penghancur bunker (BLU-113), (BLU-109), (SDBS), tipe Amerika (GBU-28), dipandu oleh sistem GPS untuk menghancurkan infrastruktur, fosfor putih, bom pintar, dan rudal Halberd Gudum.”

Setahun berlalu, Per Oktober 2024, setidaknya 41.825 warga Palestina tewas dan 96.910 lainnya terluka. Dari total korban tewas, hampir 70% adalah perempuan dan anak-anak. Lebih dari 10.000 orang dilaporkan hilang, diduga terkubur di bawah puing-puing.

Penghancuran pendidikan

Per 27 Agustus 2024, Kementerian Pendidikan setempat melaporkan lebih dari 10.888 pelajar tewas, bersama dengan 529 guru dan staf administrasi. Total, 17.224 anak dan 3.686 guru terluka di Gaza. Lebih dari 718.000 siswa di Gaza telah mengalami gangguan dalam pendidikan mereka akibat perang, dengan total 456 sekolah, universitas, dan gedung universitas yang telah rusak atau hancur.

Kehancuran Infrastruktur

Serangan Israel telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur vital Gaza:

  • Lebih dari 163.000 bangunan (2/3 dari total bangunan di Gaza) rusak atau hancur total.
  • 611 masjid dan 3 gereja hancur, 214 masjid lainnya rusak sebagian.
  • 206 situs arkeologi dan warisan budaya musnah.
  • 67% fasilitas air dan sanitasi hancur atau rusak menyebabkan penurunan 94 persen dalam jumlah air yang tersedia bagi penduduk Gaza.
  • Perkiraan biaya kerusakan pada infrastruktur penting di Gaza sekitar 18,5 miliar dolar AS (sekitar Rp288,6 triliun).

Krisis Kemanusiaan

Serangan dan blokade Israel juga telah menciptakan krisis kemanusiaan akut di Gaza:

  • 1,9 juta warga Gaza (85% populasi) terpaksa mengungsi.
  • Persediaan air menurun hingga 10-20% dari level sebelum perang.
  • 1 dari 5 warga Gaza menghadapi "tingkat kelaparan yang sangat parah".
  • Lebih dari 50.000 anak di Gaza sangat membutuhkan perawatan karena kekurangan gizi akut.
  • Setidaknya 36 anak meninggal akibat kekurangan gizi.
  • Lebih dari 1,73 juta orang terjangkit penyakit menular

Layanan kesehatan

Serangan terhadap layanan kesehatan mengakibatkan 765 orang tewas, mempengaruhi 110 fasilitas, serta 32 rumah sakit yang rusak dan 115 ambulans, termasuk 63 yang mengalami kerusakan.

Di Tepi Barat yang diduduki, termasuk Yerusalem Timur, terdapat 25 kematian dan 111 cedera, dengan 444 ambulans dan 56 fasilitas kesehatan yang terkena dampak serangan terhadap layanan kesehatan.

Dampak Ekonomi

Ekonomi Gaza tentu saja hancur akibat serangan Israel:

  • Kerugian ekonomi diperkirakan mencapai $33 miliar.
  • Tingkat pengangguran melonjak dari 45% menjadi 80%.
  • Dua pertiga lapangan kerja yang ada sebelum perang lenyap.

Ekosida: Penghancuran Lingkungan

Per Juni, biaya lingkungan untuk membangun kembali Gaza diperkirakan mencapai 60 juta metrik ton emisi karbon, menurut studi yang dilaporkan oleh Euronews dan diterbitkan di Social Science Research Network.

Emisi dari 120 hari pertama konflik telah melampaui emisi tahunan dari 26 negara dan wilayah, dengan Israel menyumbang 90 persen dari total tersebut.

Penilaian PBB menemukan bahwa armada lebih dari seratus truk akan memerlukan waktu 15 tahun untuk menghapus hampir 40 juta metrik ton puing-puing dari Gaza, dengan biaya operasi antara 500 juta dolar AS (sekitar Rp7,8 triliun) dan 600 juta dolar AS (sekitar Rp9,36 triliun), seperti dilaporkan The Guardian pada bulan Juli.

Penilaian itu menemukan bahwa tempat pembuangan besar yang mencakup antara 250 hingga 500 hektar akan diperlukan untuk membuang puing-puing tersebut, tergantung pada jumlah yang dapat didaur ulang.

----------------------------------------

Setahun berlalu sejak Gaza menjadi saksi bisu kehancuran yang begitu dahsyat. Di balik statistik dan angka korban, ada cerita tentang mereka yang setiap harinya berjuang dengan penuh keimanan
dan tetap memiliki harapan di atas reruntuhan.

Di tengah hiruk pikuk dunia yang sering kali abai, suara solidaritas harus terus kita gaungkan. Suara yang memberi tahu mereka di Gaza bahwa mereka tidak sendirian.

Tragedi ini adalah pengingat bagi kita semua: betapa berharga setiap kehidupan dan betapa pentingnya menyuarakan keadilan. Mungkin kita hanya bisa melangitkan do’a atau menyuarakan dukungan dari kejauhan, tapi bersama-sama, yang kita lakukan adalah dukungan-dukungan kecil untuk dunia yang lebih damai, lebih adil, dan lebih manusiawi. Untuk Gaza, untuk Palestina, dan untuk kemanusiaan.

MERDEKA PALA LO!

 

Apa yang meski ditulis tentang hari ini? Pertanyaan sederhana itu tiba-tiba langsung mendapatkan jawaban yang berhamburan bak kumpulan fragmen yang lama terpendam dalam hippocampus otak saya. Kilasan-kilasan memori dari berbagai isu sosial, politik, dan ekonomi yang mampir dalam ingatan jangka pendek maupun panjang, berdesakan ingin keluar mengabaikan kecepatan saya mengetikkan semuanya. Pembakaran rumah jurnalis, pembagian jatah tambang, pendidikan tinggi yang dianggap kebutuhan tersier, depresi hingga bunuh diri akibat bully, demo masyarakat adat, keluhan petani tomat, ratusan misteri kematian yang memenuhi media, pencemaran air, udara, dan tanah akibat aktivitas industri, penambangan ilegal dan deforestasi, kekerasan rumah tangga, korupsi 271 triliun, perdagangan manusia, pelecehan seksual, kekerasan pada anak, konflik agraria, pangan yang ketergantungan impor, pemindahan ibukota, narkoba, cuaca ekstrem, perubahan iklim, masalah distribusi pangan, mitigasi bencana yang disepelekan  dan jutaan berita dan cerita yang sempat terbaca lainnya yang silih berganti hadir tak menghiraukan berita dan cerita mana yang duluan atau belakangan.

Lalu ketika orang-orang merayakan kemerdekaan, saya justru bertanya pada diri sendiri, bagaimana saya akan menulis perihal kemerdekaan di hari yang penuh euforia ini, saat menulis sama halnya dengan membuat diri sendiri perih dan meringis. Lalu bagaimana saya bisa ikut merayakan dan merasakan kemerdekaan saat semua fragmen-fragmen ini berhamburan dalam ingatan yang membuat saya mual saat mendengar kata kemerdekaan.

Merdeka apaan? Saat Pasukan Pengibar Bendera Pusaka saja sempat tak bisa mengenakan identitas agama dan cerminan akidahnya? Merdeka apanya, saat kurikulum merdeka diimplementasikan tapi kasus bullying makin menjadi-jadi. Merdeka bagaimana? untuk semua lahan yang kuasai perusahaan, untuk semua ketidakpedulian dan pengabaian pada driver ojol yang mati kelaparan.

--------------

Salah satu fragmen yang menghantui pikiran saya adalah pembakaran rumah jurnalis. Sebuah tindakan yang tidak hanya merusak secara fisik, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Jurnalis, sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki tugas mulia untuk mengawasi, melaporkan, dan mengkritik kebijakan publik. Namun, ketika kebebasan pers diserang, ketika jurnalis diintimidasi atau bahkan dibunuh, kita harus bertanya: di mana letak kemerdekaan kita?

Indonesia, sebagai negara yang mengklaim dirinya demokratis, seharusnya menjamin kebebasan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, realitas di lapangan sering kali berbeda. Insiden-insiden seperti teror dan pembakaran rumah jurnalis menyoroti adanya tekanan besar terhadap kebebasan pers di Indonesia. Ancaman terhadap jurnalis bukan hanya ancaman terhadap individu, tetapi juga ancaman terhadap masyarakat yang bergantung pada informasi yang mereka sampaikan.

Ketika kebebasan pers dihambat, kita kehilangan kemampuan untuk mendapatkan informasi yang objektif dan akurat. Kita menjadi rentan terhadap manipulasi informasi dan propaganda. Dalam konteks ini, apakah kita benar-benar merdeka ketika suara-suara kritis dibungkam? Bagaimana kita bisa merayakan kemerdekaan ketika kebenaran, yang seharusnya menjadi fondasi bagi masyarakat yang bebas, justru diserang?

Kemerdekaan juga sering kali dikaitkan dengan kebebasan untuk mengakses pendidikan hingga ke tingkat pendidikan tinggi.  Namun apa, Menteri Pendidikan sendiri mengatakan pendidikan tinggi hanya sebuah kebutuhan tersier. Ironinya, padahal pendidikan tinggilah yang seharusnya menjadi pintu gerbang untuk keluar dari kemiskinan dan menjadi titik tolak persaingan global.

Lalu, Kurikulum Merdeka yang mungkin terdengar menjanjikan di atas kertas. Namun, realitasnya, banyak sekolah yang belum siap, banyak guru yang belum memahami konsep ini sepenuhnya, dan banyak siswa yang merasa terbebani oleh sistem yang seharusnya memerdekakan mereka. Dan kita diajak bertanya lagi: apakah pendidikan kita benar-benar memerdekakan?

Ketika pendidikan tidak merata, ketika hanya sebagian kecil dari masyarakat yang bisa menikmati pendidikan berkualitas, apakah kita benar-benar bisa mengatakan bahwa kita sudah merdeka? Kemerdekaan seharusnya berarti kesetaraan dalam kesempatan, termasuk dalam kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Lalu Isu bullying dan dampaknya terhadap kesehatan mental juga merupakan fragmen lain yang memenuhi pikiran saya. Depresi, kecemasan, bahkan bunuh diri akibat bullying adalah bukti nyata bahwa kita masih jauh dari kemerdekaan yang sejati. Bagaimana bisa kita merasa merdeka ketika masih banyak di antara kita yang terperangkap dalam rasa takut, rendah diri, dan putus asa karena perlakuan kejam dari sesama?

Berapa dokter lagi yang harus menyuntik dirinya sendiri agar kita semua membuka mata, tak abai, dan menganggap bullying sebagai hal yang biasa?

Bullying, baik itu di sekolah, tempat kerja, atau di media sosial, adalah bentuk kekerasan yang merusak jiwa. Ketika kita berbicara tentang kemerdekaan, kita harus memastikan bahwa setiap individu merasa aman dan dihargai, tanpa takut akan intimidasi atau dilecehkan. Ketika masih ada yang menderita akibat bullying, kita belum merdeka!

Petani yang merugi dan pangan yang bergantung pada impor adalah bentuk ketidakmandirian yang akan mengancam kedaulatan bangsa ini. Merdeka apanya jika kita tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri? Merdeka apanya jika para petani kita masih hidup dalam kemiskinan, sementara korporasi besar menguasai tanah ulayat rakyat sendiri.

Pencemaran air, udara, dan tanah akibat aktivitas industri, penambangan ilegal, dan deforestasi adalah masalah yang tidak hanya mengancam kesehatan kita sebagai manusia, tetapi juga kelangsungan hidup ekosistem kita. Apa kita lupa bahwa alam adalah teman dan sumber daya yang tidak bisa tergantikan.

Lalu, mitigasi bencana yang disepelekan. Daerah-daerah yang biasanya tak pernah banjir, sekarang saat hujan turun, jadi langganan banjir, gempa bumi nggak usah dibahas lagi saking seringnya. Lalu apa yang sudah pemerintah lakukan untuk mengedukasi tentang mitigasi bencana-bencana ini? Saat mitigasi masih dianggap sebagai urusan sekunder, kita sedang mempertaruhkan masa depan bangsa kita sendiri.

Jika kemerdekaan hanyalah simbolis dan euforia, maka apa yang akan terjadi pada bangsa ini setelahnya?


*gambar Google Doodle

JUNI



Kami memulai Juni dengan riang gembira. 
Buat saya, banyak hal-hal baik terjadi sepanjang bulan ini. FESTA BTS yang bertabur konten yang menghibur sudah dimulai sejak tanggal 2 sampai 8. Pulangnya Jin dari wajib militer tanggal 12, disambut ulang tahun BTS tanggal 13. Tanggal 8 dan 13 juga ulang tahun Rion dan Rina (adik laki-laki dan adik perempuan uda dan saya). 

Tanggal 15 hingga 20 kami berlibur Idul Adha di kampung halaman saya. Jalan-jalan singkat keliling kampung, memandang gunung, ke pasar dan Rumah Gadang. Dimasakin makanan favorit oleh Umak, kalap belanja di toko organik, jajan buah dan camilan di suzuya, jajan buku di Gramedia, belanja coklat dan brownies di Magenta, makan sushi dan ramen di tempat langganan, dan banyak tempat lainnya yang menguras tabungan. 

Namun puncak kebahagiaan dan kegembiraan itu datang di tanggal 21. 
8 tahun lalu, bagian dari diriku lahir di tanggal itu. Dan 8 tahun ini, hadirnya adalah defenisi dari bahagia itu sendiri. 

Sebelum pulang kampung, kue sudah kami pesan. Kado-kado sudah dibeli sebahagian. Dan hari ini, kami excited membeli lilin, topeng, kertas kado dan balon sambil berkejaran dengan hujan. 

Kue ulang tahun bertema Kuromi itu sudah datang sejak pagi. Kado-kado sudah dibungkus. Malam ini perayaan sekali setahun yang Zea nanti-nanti itu akan kami rayakan. 

Tentu saja do'a-do'a sudah kami langitkan. Berharap pada Tuhan agar putri semata wayang kami sehat sejahtera, panjang umur berkah usia, selalu dalam dekapan lindunganNya, sholehah hafizah, santun berakhlaqul karimah, mandiri pemberani, baik rendah hati, sayang pada orang tua, kaya raya, bersyukur, bergembira dan berbahagia. 

Tanggal 22 sepertinya kabar gembira juga akan tiba. Hari penerimaan raport juga hari yang Zea tunggu. Semoga hasil belajarnya seperti yang dia mau. 

Saya tentu saja berharap kebahagiaan dan kegembiraan ini akan runut. Namun liku takdir telah tertulis di Lauh MahfuzNya. Kita hanya bisa menengadah tangan dan berdo'a. Semoga. 

JIN IS BACK

Setiap kali mendengar kata "pulang", ada sesuatu yang terasa menyeruak dan membuat air mata mengambang. Selalu ada kehangatan dan rindu yang mengharu. Itulah yang saya -dan tentu saja jutaan ARMY lainnya di seluruh dunia- rasa saat kabar bahagia ini tiba: Kim Seok Jin kami, akhirnya kembali dari wajib militernya.

Sebagai Army tentu saja saya tak bisa menahan perasaan haru dan bahagia ini. Jin pulang dan langsung mengadakan Live di Weverse saat saya sedang menunggu antrian di sebuah Bank untuk mengurus keperluan kampus. Rasanya ingin sekali berteriak dan menangis melihat Jin dilayar smartphone saya. Jin kami pulang, dan seperti kepergiannya dulu, kami selalu berlinang air mata. Namun kali ini, kami menangis bahagia. Jin akan mengisi kembali hari-hari yang kosong dari keberadaannya. Jin akan kembali memanggil “Amyyyyyyyyy....”, Jin akan kembali mengingatkan kami untuk selalu mencintai diri sendiri terlebih dahulu.

Kepulangan Jin bukan hanya momen penting bagi BTS, tetapi juga bagi seluruh penggemar yang selalu setia menunggu. Saat melihat Jin keluar dan disambut oleh  6 member lainnya – Yoonggi baru terlihat saat Live Weverse 😭– dan menyapa para penggemar, ada keharuan yang tak terbendung. Mata yang berkilauan, senyum yang tulus, dan sosok yang selalu menawan, itulah Jin yang selalu kami cintai.

Ketika keenam anggota lainnya menyambut Jin dengan pelukan hangat, kami tau pasti bahwa ikatan itu begitu kuat. Semua member bukan hanya rekan satu grup, tapi mereka adalah keluarga yang saling menguatkan dan saling percaya. 

Wajib militer di Korea Selatan bukanlah tugas yang ringan. Butuh pengorbanan besar bagi setiap laki-laki muda, termasuk Jin, yang harus meninggalkan kehidupan publik mereka. Namun, Jin telah menunjukkan ketangguhan dan dedikasi yang luar biasa. Dia menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan kini kembali pasti dengan sosok yang baru.

Oiya, Yoongi akhirnya muncul dan bergabung dengan yang lain saat Live Weverse. Senang melihatmu lagi Min PD kesayangan. Kami akan menunggumu juga.

ARMYdeul, mari kita rayakan momen istimewa ini dengan penuh sukacita. Kepulangan Jin bukan hanya sekedar kembalinya seorang idola, tetapi juga simbol dari ketangguhan, dedikasi, dan kasih sayang. Jin telah menginspirasi kita semua dengan keteguhannya, dan sekarang saatnya kita menunjukkan betapa kita menghargainya.

Jin, kami menyambutmu dengan tangan terbuka dan hati yang penuh kebahagiaan dan kerinduan. Terima kasih telah menjadi panutan yang luar biasa bagi kami semua. Semoga perjalananmu ke depan penuh dengan kebahagiaan dan kesuksesan.

Selamat datang kembali, Our World Wide Hansome. Dunia telah begitu merindukanmu.

Amyyyyyy...Jin telah kembali..!!

Apobangpo

Borahaeeee....


----------------------------------------------
PS : Semua foto by Dispatch Korea


Milkcheese Strawberry: Manis, Creamy, dan Bikin Nagih!

Bulan Ramadhan selalu membawa suasana yang berbeda. Selain ibadah yang lebih khusyuk, momen berbuka puasa juga jadi saat yang paling dinanti...