MERDEKA PALA LO!

 

Apa yang meski ditulis tentang hari ini? Pertanyaan sederhana itu tiba-tiba langsung mendapatkan jawaban yang berhamburan bak kumpulan fragmen yang lama terpendam dalam hippocampus otak saya. Kilasan-kilasan memori dari berbagai isu sosial, politik, dan ekonomi yang mampir dalam ingatan jangka pendek maupun panjang, berdesakan ingin keluar mengabaikan kecepatan saya mengetikkan semuanya. Pembakaran rumah jurnalis, pembagian jatah tambang, pendidikan tinggi yang dianggap kebutuhan tersier, depresi hingga bunuh diri akibat bully, demo masyarakat adat, keluhan petani tomat, ratusan misteri kematian yang memenuhi media, pencemaran air, udara, dan tanah akibat aktivitas industri, penambangan ilegal dan deforestasi, kekerasan rumah tangga, korupsi 271 triliun, perdagangan manusia, pelecehan seksual, kekerasan pada anak, konflik agraria, pangan yang ketergantungan impor, pemindahan ibukota, narkoba, cuaca ekstrem, perubahan iklim, masalah distribusi pangan, mitigasi bencana yang disepelekan  dan jutaan berita dan cerita yang sempat terbaca lainnya yang silih berganti hadir tak menghiraukan berita dan cerita mana yang duluan atau belakangan.

Lalu ketika orang-orang merayakan kemerdekaan, saya justru bertanya pada diri sendiri, bagaimana saya akan menulis perihal kemerdekaan di hari yang penuh euforia ini, saat menulis sama halnya dengan membuat diri sendiri perih dan meringis. Lalu bagaimana saya bisa ikut merayakan dan merasakan kemerdekaan saat semua fragmen-fragmen ini berhamburan dalam ingatan yang membuat saya mual saat mendengar kata kemerdekaan.

Merdeka apaan? Saat Pasukan Pengibar Bendera Pusaka saja sempat tak bisa mengenakan identitas agama dan cerminan akidahnya? Merdeka apanya, saat kurikulum merdeka diimplementasikan tapi kasus bullying makin menjadi-jadi. Merdeka bagaimana? untuk semua lahan yang kuasai perusahaan, untuk semua ketidakpedulian dan pengabaian pada driver ojol yang mati kelaparan.

--------------

Salah satu fragmen yang menghantui pikiran saya adalah pembakaran rumah jurnalis. Sebuah tindakan yang tidak hanya merusak secara fisik, tetapi juga merusak fondasi demokrasi itu sendiri. Jurnalis, sebagai pilar keempat demokrasi, memiliki tugas mulia untuk mengawasi, melaporkan, dan mengkritik kebijakan publik. Namun, ketika kebebasan pers diserang, ketika jurnalis diintimidasi atau bahkan dibunuh, kita harus bertanya: di mana letak kemerdekaan kita?

Indonesia, sebagai negara yang mengklaim dirinya demokratis, seharusnya menjamin kebebasan pers sebagai bagian dari hak asasi manusia. Namun, realitas di lapangan sering kali berbeda. Insiden-insiden seperti teror dan pembakaran rumah jurnalis menyoroti adanya tekanan besar terhadap kebebasan pers di Indonesia. Ancaman terhadap jurnalis bukan hanya ancaman terhadap individu, tetapi juga ancaman terhadap masyarakat yang bergantung pada informasi yang mereka sampaikan.

Ketika kebebasan pers dihambat, kita kehilangan kemampuan untuk mendapatkan informasi yang objektif dan akurat. Kita menjadi rentan terhadap manipulasi informasi dan propaganda. Dalam konteks ini, apakah kita benar-benar merdeka ketika suara-suara kritis dibungkam? Bagaimana kita bisa merayakan kemerdekaan ketika kebenaran, yang seharusnya menjadi fondasi bagi masyarakat yang bebas, justru diserang?

Kemerdekaan juga sering kali dikaitkan dengan kebebasan untuk mengakses pendidikan hingga ke tingkat pendidikan tinggi.  Namun apa, Menteri Pendidikan sendiri mengatakan pendidikan tinggi hanya sebuah kebutuhan tersier. Ironinya, padahal pendidikan tinggilah yang seharusnya menjadi pintu gerbang untuk keluar dari kemiskinan dan menjadi titik tolak persaingan global.

Lalu, Kurikulum Merdeka yang mungkin terdengar menjanjikan di atas kertas. Namun, realitasnya, banyak sekolah yang belum siap, banyak guru yang belum memahami konsep ini sepenuhnya, dan banyak siswa yang merasa terbebani oleh sistem yang seharusnya memerdekakan mereka. Dan kita diajak bertanya lagi: apakah pendidikan kita benar-benar memerdekakan?

Ketika pendidikan tidak merata, ketika hanya sebagian kecil dari masyarakat yang bisa menikmati pendidikan berkualitas, apakah kita benar-benar bisa mengatakan bahwa kita sudah merdeka? Kemerdekaan seharusnya berarti kesetaraan dalam kesempatan, termasuk dalam kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak.

Lalu Isu bullying dan dampaknya terhadap kesehatan mental juga merupakan fragmen lain yang memenuhi pikiran saya. Depresi, kecemasan, bahkan bunuh diri akibat bullying adalah bukti nyata bahwa kita masih jauh dari kemerdekaan yang sejati. Bagaimana bisa kita merasa merdeka ketika masih banyak di antara kita yang terperangkap dalam rasa takut, rendah diri, dan putus asa karena perlakuan kejam dari sesama?

Berapa dokter lagi yang harus menyuntik dirinya sendiri agar kita semua membuka mata, tak abai, dan menganggap bullying sebagai hal yang biasa?

Bullying, baik itu di sekolah, tempat kerja, atau di media sosial, adalah bentuk kekerasan yang merusak jiwa. Ketika kita berbicara tentang kemerdekaan, kita harus memastikan bahwa setiap individu merasa aman dan dihargai, tanpa takut akan intimidasi atau dilecehkan. Ketika masih ada yang menderita akibat bullying, kita belum merdeka!

Petani yang merugi dan pangan yang bergantung pada impor adalah bentuk ketidakmandirian yang akan mengancam kedaulatan bangsa ini. Merdeka apanya jika kita tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri? Merdeka apanya jika para petani kita masih hidup dalam kemiskinan, sementara korporasi besar menguasai tanah ulayat rakyat sendiri.

Pencemaran air, udara, dan tanah akibat aktivitas industri, penambangan ilegal, dan deforestasi adalah masalah yang tidak hanya mengancam kesehatan kita sebagai manusia, tetapi juga kelangsungan hidup ekosistem kita. Apa kita lupa bahwa alam adalah teman dan sumber daya yang tidak bisa tergantikan.

Lalu, mitigasi bencana yang disepelekan. Daerah-daerah yang biasanya tak pernah banjir, sekarang saat hujan turun, jadi langganan banjir, gempa bumi nggak usah dibahas lagi saking seringnya. Lalu apa yang sudah pemerintah lakukan untuk mengedukasi tentang mitigasi bencana-bencana ini? Saat mitigasi masih dianggap sebagai urusan sekunder, kita sedang mempertaruhkan masa depan bangsa kita sendiri.

Jika kemerdekaan hanyalah simbolis dan euforia, maka apa yang akan terjadi pada bangsa ini setelahnya?


*gambar Google Doodle

MICROLEARNING DALAM PENDIDIKAN: SOLUSI UNTUK GENERASI DENGAN DAYA PERHATIAN PENDEK

  Makin kesini, sebagai dosen saya makin menyadari mahasiswa sekarang a.k.a GenZ memiliki rentang fokus yang semakin singkat. Awalnya, jadwa...