Bagi saya,
Desember adalah bulan yang selalu terasa istimewa -lebih seperti sebuah hari
raya. Setiap kali Desember tiba, perasaan saya bercampur aduk. Ada kegembiraan,
harapan, sekaligus keheningan yang mengajak saya merenung. Lahir di akhir
bulan, di penghujung tahun, membuat saya terbiasa melakukan “itung-itungan”
tentang apa saja yang telah terjadi selama setahun ini. Membuat saya merefleksi
dan mengkaleidoskop perjalanan saya kembali.
Rasanya seperti
baru kemarin tahun 2024 menyapa, dan sekarang, hanya menghitung hari hingga
tahun berganti lagi. Tentu saja, saya tidak berani berkata bahwa "tahun
ini berlalu begitu saja." Tidak. Bagaimana mungkin saya mengatakan itu,
ketika setiap dari 356 hari ini terisi dengan begitu banyak cerita, pengalaman,
dan pelajaran? Hari-hari itu tidak sekadar berlalu, mereka adalah perjalanan
yang saya tempuh dengan keberanian, meskipun tidak selalu mudah. Dan Desember
bagi saya bukan sekadar penutup tahun, tetapi sebuah panggung refleksi untuk
melihat kembali bagaimana saya bertahan, tumbuh, dan berbahagia.
Kalianpun akan merasa begitu juga bukan? Siapa bilang
tahun berlalu begitu saja, saat hari-hari kita penuh dengan drama. Bagi ibu
rumah tangga seperti saya, hari-hari itu berlalu dengan padat. Bagun sebelum
seisi rumah terjaga. Nyuci piring yang tak terhitung kalinya. Mabok dengan
cucian, jemuran dan sterikaan. Belanja, foodprep, masak, agar anak bisa makan
enak dan bergizi tiga kali sehari. Nyapu, ngepel, nguras bak mandi, daaaaaaan
”pekerjaan sebanyak bulu kucing” -seperti yang ibu saya dulu katakan- menunggu
penyelesaian dari kita hari demi hari. Status Ibu rumah tangga yang sering kali
dicap ”Tidak Bekerja” itu, aiiiih, kalian lanjutkan saja narasinya!
Ulang tahun saya hanya selisih satu hari dengan hari ibu.
Karena itu refleksi atas usia dan status saya sebagai ibu, membuat air mata
saya merebak sepanjang mengetik tulisan ini.
Sebagai Mita,
yang hari ini genap berusia tiga puluh lima tahun, saya ingin menatap cermin
kehidupan dengan penuh syukur. Saya yang berdiri di depannya hari ini adalah
versi terbaik dari diri saya -bukan karena tanpa cacat atau sempurna, tetapi
karena saya terus berusaha menjadi lebih baik. Bagi saya, ulang tahun artinya
membuka bab selanjutnya dalam buku kumpulan cerita hidup saya. Esok akan ada
hal-hal dan tantangan baru, dan saya tentu saja akan terus mengusahakan untuk
menjadikan Mita di masa depan sebagai versi yang lebih kuat, lebih bijak, dan
lebih bahagia.
Tahun ini telah
menjadi guru terbaik bagi saya, mengajarkan banyak hal berharga tentang hidup
dan kebahagiaan sederhana. Saya belajar untuk mensyukuri hal-hal kecil yang
sering terlewat dalam hiruk-pikuk rutinitas menjalani peran saya -seperti
kehangatan secangkir teh di pagi hari, atau momen-momen sederhana saat hati
saya berbunga dan bahagia ngefansgirl sebagai Army -Oiya, V bias saya di BTS
juga berulangtahun selang seminggu setelah ini. Ada juga kebahagiaan sederhana
dari menonton drama Korea atau drama Cina favorit saya, hingga tawa lepas anak
dan suami saya saat mereka asyik bermain game bersama.
Hal-hal kecil ini mungkin tampak sepele, tetapi mereka adalah pengingat bahwa kebahagiaan tidak selalu harus berasal dari sesuatu yang besar. Kebahagiaan justru sering hadir di sela detik-detik kehidupan yang biasa dan sederhana. Tahun ini, saya belajar bahwa merayakan momen-momen seperti itu adalah cara terbaik untuk mencintai hidup dan diri sendiri. Enjoy the little things, seperti tulisan dihelm saya 😅
Saya juga belajar
merayakan setiap pencapaian, besar ataupun kecil, karena bagi saya, setiap
langkah yang saya tapaki layak untuk dihargai dan dirayakan. Saat gagal, tentu
saja saya harus berdamai. Sebab meskipun gagal, artinya saya sedang berproses.
Berusaha menjadi
Mita yang bahagia, bukan karena segalanya selalu berjalan mulus, tetapi karena
saya memilih untuk fokus pada hal-hal yang bisa saya kendalikan. Hidup, seperti
air yang mengalir, tak selalu jernih atau tenang. Namun, jika masih bisa "baminyak
aia” tentu saya hanya akan menampilkan yang baik-baiknya saja.
Pun tidak semua
hari dipenuhi pelangi. Ada saat-saat di mana hujan deras membasahi hati saya.
Sepanjang tahun ini, saya telah bekerja keras, untuk keluarga, untuk impian,
dan untuk diri saya sendiri. Jadi, di usia ini, saya akan berterima kasih pada
diri sendiri: Sugohaesseo, Mita. Kamu telah melakukannya dengan baik. Terima
kasih sudah bertahan. Terima kasih sudah percaya bahwa hidup ini, meskipun
tidak sempurna, tetap indah untuk dijalani.
Sebagai seorang
“ibu”, sering kali saya bertanya pada diri sendiri, "Bagaimana sebenarnya
saya bisa mengukur peran ini?" Apakah ada alat atau metode yang cukup
valid untuk mengevaluasi perjalanan saya sebagai seorang ibu? Atau, lebih jauh
lagi, apakah layak seorang ibu dihakimi dengan label "berhasil" atau
"gagal"? Lalu, apa indikator keberhasilan itu? Apakah ketika anak
makan tiga kali sehari dengan lahap, saya bisa berbangga hati sebagai ibu yang
sukses? Atau mungkin ketika rapor sekolah menunjukkan anak saya jadi sang juara
kelas, saya bisa menyematkan medali tak kasatmata untuk diri saya sendiri?
Refleksi ini
sering kali terasa seperti labirin -berliku dan penuh keraguan. Menjadi ibu
bukanlah soal mencapai standar tertentu, melainkan sebuah perjalanan yang penuh
dengan cinta, dan pembelajaran. Ada saat-saat di mana saya merasa
puas karena telah memberi yang terbaik, tetapi di lain waktu, bayangan keraguan
itu muncul, mempertanyakan apakah yang saya lakukan sudah cukup.
Namun, semakin
saya memikirkannya, semakin saya sadar bahwa menjadi ibu adalah tentang
kehadiran, bukan kesempurnaan. Anak saya mungkin tidak akan mengingat apa saja
yang sudah saya belikan untuknya, tetapi ia akan mengingat kecupan dan pelukan hangat setiap
harinya. Ia mungkin tidak mencatat seberapa sehat menu makannya, tetapi saya
yakin ia akan selalu mengingat kebahagiaan saat saya menyajikan makanan
kesukaannya bahkan kadang menyuapinya.
Mungkin,
menjadi ibu tidak perlu dinilai seperti itu. Tidak ada satu pun anak yang lahir
dengan buku manual, dan tidak ada ibu yang dilengkapi dengan sertifikat
kompetensi. Keibuan adalah perjalanan yang tak memiliki akhir, sebuah hubungan
yang terus berkembang, penuh dengan ketidaksempurnaan yang justru membuatnya
menjadi sempurna.
Di penghujung
tahun ini, saya juga ingin menyematkan harapan sederhana untuk diri saya
sendiri. Tidak perlu yang muluk-muluk, hanya ingin terus menjadi Mita yang
tidak takut mencoba. Mita yang lebih baik, lebih hadir, dan lebih tulus dalam
menjalani setiap peran. Kalau bisa, Mita yang lebih rajin olahraga, lebih
sering menabung, dan lebih kaya sehingga nggak perlu numpuk wishlist tanpa check
out di keranjang belanja online. Tapi, yah, kita lihat nanti, ya! Yang penting,
setiap langkah di tahun depan, saya ingin menjalaninya dengan keberanian yang
sama seperti tahun ini.
Desember selalu
punya tempat istimewa di hati saya. Ada sesuatu yang berbeda dengan bulan ini, suasana
akhir tahun yang tak mampu saya bahasakan dengan baik, seperti teman lama yang
datang membawa cerita-cerita hangat. Meski tidak ada salju di sini, hawa
Desember selalu punya caranya sendiri untuk membuat hati saya penuh. Mungkin
karena di bulan ini, saya selalu diingatkan akan waktu, akan bagaimana saya
bertumbuh, dan bagaimana hidup ini terus berjalan.
Dan, bicara
tentang waktu, saya juga ingin mengangkat topi untuk semua ibu di luar sana.
Peran kita memang sering kali tidak terlihat, bahkan dianggap remeh. Tapi siapa
pun yang pernah menjalani hari-hari penuh pekerjaan rumah tangga, mengurus
anak, dan tetap mencoba waras dan menjadi versi terbaik dirinya pasti tahu, tidak
ada pekerjaan yang lebih berat daripada ini. Jadi, untuk kita semua, ibu-ibu
hebat, mari bertepuk tangan untuk diri kita sendiri. Kita pantas untuk itu!
Anak saya,
tanpa dia sadari, sering kali menjadi guru kehidupan saya. Dari senyum
polosnya, saya belajar bahwa kebahagiaan itu sederhana. Dari pertanyaannya yang
kadang tak terduga, saya diingatkan untuk melihat dunia dengan penuh rasa ingin
tahu. Dan dari celotehan dan argumen-argumennya saat menjawab perkataan saya,
saya belajar bahwa saya harus melembutkan suara, harus masuk akal memberi
jawaban, karena saya sedang berhadapan dengan fotokopi diri saya sendiri. Ia tidak
hanya mengisi hari-hari saya, tetapi juga menguatkan alasan saya untuk terus
maju, belajar dan bertumbuh.
Oh, dan kalau
ada yang berpikir bahwa menjadi ibu rumah tangga itu monoton, percayalah, drama
rumah tangga kami cukup untuk membuat serial Netflix. Ya, hidup ini tidak
pernah membosankan!
Dengan semua
itu, saya tahu, tahun ini bukan hanya tentang apa yang telah saya capai, tetapi
juga tentang bagaimana saya bertahan, tertawa, dan belajar. Sugohaesseo, Mita.
Kamu sudah melakukannya dengan baik. ❤️