Deep Learning: Langkah Baru Pendidikan Menuju Indonesia Emas

 

Baru-baru ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti, kerap menyebut pendekatan Deep Learning. Dalam berita di Tempo, 31 Desember 2024, beliau menyampaikan bahwa Deep Learning akan diintegrasikan ke dalam Kurikulum Nasional. Pertanyaan yang muncul: Apa itu Deep Learning? Apakah ini kurikulum baru? Atau malah tanda akan adanya perubahan kebijakan lagi? Sebelum kita melompat pada kesimpulan, mari kita ulas lebih mendalam. 

Pada 10 Desember 2024 lalu, Prof. Dr. Din Wahyudin, MA, salah satu mentor saya di Universitas Pendidikan Indonesia, membagikan catatannya dari FGD "Deep Learning" di BSKAP Kemdikdasmen (28-30 November 2024). Diskusi ini ditindaklanjuti dengan webinar oleh HIPKIN dan Prodi Pengembangan Kurikulum UPI pada 30 Desember 2024. Setelah itu, saya sempat berdiskusi dengan Dr. Laksmi Dewi, M.Pd, Kepala Puskurjar, yang menjelaskan bahwa Deep Learning bukan kurikulum baru, melainkan pendekatan untuk memperkuat implementasi kurikulum, dan naskah akademik Deep Learning sedang dalam tahap editing.

Memahami Deep Learning

Dalam file final paparan Deep Learning yang dibagikan oleh Purkurjar, dijelaskan bahwa Pendekatan Deep Learning berfokus pada penciptaan suasana belajar yang berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful). Tiga elemen ful ini terintegrasi dalam empat aspek pembelajaran: olah pikir (intelektual), olah hati (etika), olah rasa (estetika), dan olah raga (kinestetik). Hasil akhirnya adalah profil lulusan dengan delapan dimensi esensial, memperkaya 6C dari keterampilan abad 21: Pertama, Keimanan dan Ketakwaan terhadap Tuhan YME. Lulusan adalah individu yang memiliki keyakinan yang kuat akan keberadaan Tuhan dan berpegang pada nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Kewargaan. Lulusan adalah individu yang memilki rasa cinta tanah air, mentaati aturan dan norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat, memiliki kepedulian, tanggung jawab sosial, serta berkomitmen untuk menyelesaikan masalah nyata yang terkait keberlanjutan manusia dan lingkungan. Ketiga, Penalaran Kritis. Profil individu yang mampu berpikir secara logis, analitis, dan reflektif dalam memahami, mengevaluasi, serta memproses informasi untuk menyelesaikan masalah. Keempat, Kreativitas. Menjadi individu yang mampu berpikir secara inovatif, fleksibel, dan orisinal dalam mengolah ide atau informasi untuk menciptakan solusi yang unik dan bermanfaat. Kelima, Kolaborasi. Individu yang mampu bekerja sama secara efektif dengan orang lain secara gotong royong untuk mencapai tujuan bersama melalui pembagian peran dan tanggung jawab. Keenam, Kemandirian. Individu yang mampu bertanggung jawab atas proses dan hasil belajarnya sendiri dengan menunjukkan kemampuan untuk mengambil inisiatif, mengatasi hambatan, dan menyelesaikan tugas secara tepat tanpa bergantung pada orang lain. Ketujuh, Kesehatan Individu yang memiliki fisik yang prima, bugar, sehat, dan mampu menjaga keseimbangan kesehatan mental dan fisik untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin (well-being). Kedelapan, Komunikasi. Individu yang memiliki kemampuan komunikasi intrapribadi untuk melakukan refleksi dan antarpribadi untuk menyampaikan ide, gagasan, dan informasi baik lisan maupun tulisan serta berinteraksi secara efektif dalam berbagai situasi.

Kedelapan profil lulusan ini, dihasilkan dari suasana belajar dan proses pembelajaran yang mindful, meaningful dan joyful (3 Ful). Mindful (Berkesadaran), peserta didik menyadari tujuan belajar, memiliki kesadaran untuk menjadi pembelajar yang aktif dan mampu meregulasi diri dan aktif mengelola proses belajarnya. Meaningful (Bermakna), pengetahuan dapat diaplikasikan dalam konteks nyata. Joyful (Menggembirakan), suasana belajar yang positif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi. Rasa senang dalam belajar membantu peserta didik terhubung secara emosional, sehingga lebih mudah memahami, mengingat, dan menerapkan pengetahuan.

Ada Tiga Tahap Pengalaman Belajar yang didapatkan peserta didik melalui pendekatan ini : Pertama, Memahami. Tahap awal peserta didik pengalaman belajar yang dilalui peserta didik adalah aktif mengkonstruksi pengetahuan agar dapat memahami secara mendalam konsep atau materi dari berbagai sumber dan konteks. Pengetahuan pada fase ini terdiri dari pengetahuan esensial (foundational knowledge), pengetahuan aplikatif (applied knowledge), dan pengetahuan nilai dan karakter (humanistic knowledge).. Kedua, Mengaplikasi. Menghubungkan teori dengan praktik nyata. Pengalaman belajar yang menunjukan aktivitas peserta didik mengaplikasi pengetahuan dalam kehidupan secara kontekstual. Pengetahuan yang diperoleh oleh peserta didik melalui pendalaman pengetahuan (extending knowledge). Ketiga, Merefleksi. Proses di mana peserta didik mengevaluasi dan memaknai proses serta hasil dari tindakan atau praktik nyata yang telah mereka lakukan. Tahap refleksi melibatkan regulasi diri (self regulation) sebagai kemampuan individu untuk mengelola proses belajarnya secara mandiri, meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap cara belajar mereka.

Kerangka Sistem dalam Deep Learning Pendekatan ini dibangun atas empat pilar: Pertama, Praktik Pedagogis, strategi pengajaran yang fokus pada pengalaman autentik. Kedua, Lingkungan Pembelajaran, integrasi ruang fisik, virtual, dan budaya belajar. Ketiga, Pemanfaatan Teknologi Digital, memaksimalkan interaksi dan kolaborasi. Keempat, Kemitraan Pembelajaran, kolaborasi antara guru, siswa, orang tua, dan komunitas.

Mewujudkan Ekosistem yang Mendukung

Untuk mencapai hasil optimal, dibutuhkan ekosistem pembelajaran yang kolaboratif, melibatkan semua pemangku kepentingan: pemerintah, sekolah, keluarga, masyarakat, serta dunia usaha. Guru pun bertransformasi menjadi Activator, Collaborator, dan Culture Builder. Dengan pendekatan ini, kita dapat menciptakan pembelajaran yang lebih mendalam, relevan, dan bermakna bagi generasi penerus bangsa.

Implementasi pendekatan deep learning pada pembelajaran tentunya butuh banyak tahapan. Sosialisasi kepada semua stakeholder, identifikasi dan pemenuhan kebutuhan sumber daya, uji coba dalam lingkup terbatas, evaluasi hasil dan perbaikan sistem, baru kemudian penerapan Deep Learning secara luas. Dan terakhir perlu dilakukan refleksi dan tindak lanjut untuk perbaikan selanjutnya.

Untuk memastikan keberhasilan implementasi, guru sebagai ujung tombak pembelajaran mustilah ditingkatan kompetensinya. Bagaimana caranya? Pertama, dengan malaksanakan program pelatihan terintegrasi, pendampingan, atau pembimbingan tentang pendekatan deep learning. Kedua, dengan penyelenggaraan program pendidikan profesi guru (PPG) untuk memberikan bekal pendidikan dan pelatihan Deep Learning. Ketiga, menambahkan bimbingan konseling, pendidikan nilai, dan pola pikir bertumbuh (growth mindset) dalam muatan kurikulum PPG dan pelatihan guru lainnya.

Bagi perguruan tinggi yang mencetak para pendidik, juga perlu perlu dibuat tes seleksi yang terstandar untuk mengukur kemampuan akademik, minat dan bakat calon mahasiswa yang akan menjadi guru. Mahasiswa calon guru diseleksi secara ketat dengan kriteria minat dan kecintaannya serta kemampuan akademik yang dilakukan secara nasional oleh LPTK yang menyelenggarakan PPG. Kementerian juga perlu menggandeng komunitas-komunitas belajar, dan dewan pendidikan.

Deep Learning dalam Perspektif Global

Secara konsep, pendekatan Deep Learning sangat baik dan telah terbukti secara empiris di beberapa negara. Salah satunya adalah Finlandia, yang dikenal dengan sistem pendidikan unggulnya. Finlandia berhasil menerapkan prinsip pembelajaran mendalam melalui integrasi pendekatan lintas disiplin, penekanan pada kolaborasi, serta penggunaan teknologi digital secara optimal. Hasilnya, peserta didik tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis, berkolaborasi, dan berinovasi yang mumpuni. Hal serupa juga diterapkan di Singapura, di mana Deep Learning membantu siswa membangun koneksi antara teori dan praktik melalui proyek-proyek berbasis masalah.

Sebagai seorang pendidik, saya melihat Deep Learning sebagai pendekatan yang mampu menjawab tantangan pembelajaran abad ke-21. Merujuk pada skor PISA 2018, menunjukkan Kemampuan HOTS siswa Indonesia masih rendah. Rendahnya tingkat keterampilan berpikir HOTS (higher order thinking skills) di kalangan siswa mencerminkan rendahnya kualitas pembelajaran yang dijalankan di sekolah-sekolah. Data PISA mencatat bahwa skor perolehan dalam membaca hanya 371, Matematika 379 dan Sains 396. Masih berada di bawah ambang batas 400, setara dengan level 2-3. Siswa Indonesia hanya bisa menjawab materi Level 1-3 saja (lower order thinking skills = LOTS), sementara siswa negara lain sudah sampai Level 4-6 (higher order thinking skills = HOTS). Dan Pendekatan Deep Learning secara konsep berfokus pada higher-order thinking skills (HOTS). Hal ini menunjukkan bahwa transformasi pendidikan kita yang masih membutuhkan perjalanan panjang dapat kita jalani dengan “mengendarai” deep learning ini.

Filosofi Deep Learning

Pendekatan Deep Learning sejatinya sejalan dengan filosofi pendidikan Indonesia, khususnya filosofi K.H. Ahmad Dahlan dan filosofi Ki Hajar Dewantara. Pendidikan mustilah berlandaskan tujuan hidup, membentuk manusia yang tidak sombong, gigih belajar, dan tuntas berkarya. Membentuk anak bangsa yang dapat mengoptimalkan akal untuk kebenaran sejati, berani menegakkan kebenaran, berbuat untuk kemanusiaan, mengamalkan ilmu agama dengan kualitas tinggi dan menjadikan pendidikan sebagai alat perubahan sosial menuju masyarakat berkemajuan. Filosofi ini juga menggemakan prinsip pendidikan holistik, di mana pembelajaran tidak hanya mengembangkan intelektual, tetapi juga etika, estetika, dan fisik secara terpadu. Dengan demikian, pendekatan ini dapat menghidupkan kembali semangat "sistem among" yang mengutamakan asah, asih, dan asuh dalam proses pendidikan.

Konsep ini menekankan pentingnya pembelajaran yang tidak hanya berpusat pada hasil akademik, tetapi juga membebaskan peserta didik untuk mengeksplorasi potensi diri mereka secara maksimal. Dalam pendekatan Deep Learning, peserta didik diajak untuk tidak sekadar memahami materi, tetapi juga memaknainya dalam konteks nyata dan relevan dengan kehidupan mereka.

Mendukung Indonesia Emas 2045

Dalam konteks Indonesia, implementasi Deep Learning sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045 yang berfokus pada pengembangan sumber daya manusia unggul. Dengan memanfaatkan pendekatan ini, Indonesia dapat mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki keterampilan abad ke-21 seperti berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Profil lulusan berbasis delapan dimensi esensial dari Deep Learning akan memperkuat daya saing bangsa di tengah perubahan global yang cepat. Dengan ekosistem pembelajaran yang didukung teknologi dan kolaborasi lintas sektor, kita optimis visi Indonesia Emas dapat terwujud.

Pendekatan Deep Learning ibarat jembatan menuju impian besar kita: menciptakan generasi yang tidak hanya unggul di atas kertas, tapi juga tangguh menghadapi dunia nyata. Dengan pembelajaran yang mindful, meaningful, dan joyful, kita tidak hanya mencetak lulusan, tetapi manusia seutuhnya, -mereka yang berpikir kritis, kreatif, penuh empati, dan siap menghadapi tantangan global.

Pendidikan adalah "labor" mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Di tangan generasi mendatang, tersimpan harapan kita untuk melihat Indonesia menjadi bangsa yang tak hanya maju, tetapi juga bermartabat di panggung dunia. Dan Dengan Deep Learning, Indonesia dapat melangkah menuju visi Indonesia Emas 2045 dengan optimisme dan percaya diri.

No comments:

Post a Comment

Milkcheese Strawberry: Manis, Creamy, dan Bikin Nagih!

Bulan Ramadhan selalu membawa suasana yang berbeda. Selain ibadah yang lebih khusyuk, momen berbuka puasa juga jadi saat yang paling dinanti...